Uang dan Politik

Pengakuan Nazaruddin dari tempat pelariannya bahwa dia mengalirkan uang ke orang penting partai dan bahkan menteri dapat dimengerti. Hal itu bisa jadi merupakan fenomena wajar atau gejala umum di tengah endemi money politic.

Namun,keadaan ini diukur dengan nilai yang standar, terutama perlunya mengelola jabatan publik dengan integritas yang tinggi tentu saja cacat. Masalahnya adalah jika sakit bersifat umum, orang akan bisa cenderung menerimanya sebagai keadaan yang wajar.

Dan apabila sakit sudah endemik, maka obatnya juga harus berskala umum. Dengan demikian, Partai Demokrat baru bernasib sial karena kebutuhan partai akan uang memang besar dan itu terjadi di semua partai. Biaya konsolidasi menjadi mahal karena luas wilayah Indonesia yang membentang sedemikian besar.

Untuk menghindari ketersanderaan partai, misalnya, sudah dibuat aturan mengenai sumbangan terhadap partai. Peraturan itu cukup sehat dan diinspirasi negara demokrasi maju,tetapi sulit dilaksanakan di lapangan karena perbedaan budaya, sosio-ekonomi, dan hukum.

Endemi Politik
Di tingkat pusat kebutuhan akan uang yang besar adalah untuk rapat dan terutama kongres yang harus menghadirkan anggotanya mulai tingkat kabupaten,akomodasi, dan success fee, biaya kampanye, transportasi ke seluruh pelosok negeri saat menggalang daerah,kadang sampai menyewa pesawat, dana menggalang massa, dan yang paling signifikan adalah biaya iklan, baik di TV dan media lainnya.

Disebut sebagai endemi karena kebutuhan uang yang besar yang tidak mungkin ditutup dengan cara yang wajar tersebut merupakan gejala umum di pusat dan daerah. Sebagai contoh, di daerah seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat menanggung potongan wajib sekitar 20% gajinya untuk iuran partai, membiayai kegiatan untuk konstituen di daerah pemilihannya, untuk kampanye, dan turut membiayai calon yang diusung dari partai.

Masih ada lagi yang harus dibiayai yang merupakan ciri khas budaya kita yaitu menyumbang untuk pesta hajatan. Pesta hajatan merupakan pengeluaran signifikan karena pentingnya dalam struktur pengeluaran masyarakat, pos ini masuk sebagai salah satu komponen survei sosial ekonomi nasional BPS.

Politisi daerah memiliki kiat macam-macam untuk mendekati rakyat, ada yang aktif menghadiri hajatan, menyumbang dengan mendirikan kelompok musik, sampai menjadi juru nasihat pengantin. Sebagai konsekuensi dari kebutuhan di atas,partai menjadi tergadai.

Kader-kader murni yang mengandalkan idealisme dan materi kaderisasi bagaimana merealisasi negara yang baik yang menyejahterakan menjadi tergeser kepada kebutuhan pragmatis dan bahkan praktis. Banyak orang potensial ditawari mencalonkan diri tidak berani menanggung beban keuangan yang sangat besar tersebut.

Pengusaha menjadi pemimpin instan di sebagian besar daerah dan juga pusat.Angkanya perlu disurvei dan mungkin mencapai 80%. Sistem yang baik akan menghasilkan variabilitas sampel yang kurang lebih sama dengan variabilitas populasinya.

Apabila variabilitas populasi tidak terwakili dalam variabilitas kepemimpinan sebagai subpopulasi, baik dari sisi etnis, strata ekonomi, strata sosial, dan profesi, maka sistem perekrutan boleh disebut gagal.

Hal tersebut akan menimbulkan oligarki baru, yaitu sangat dominannya sekelompok orang dalam waktu yang lama, dalam hal ini sangat dominannya pemilik kapital.Negara akan menuju kepada kapitalis muda atau kapitalis naif yang timpang di mana kekuasaan politik dan ekonomi dikuasai sekelompok orang.

 Akhirnya, para pemimpin murni yang mungkin direkrut dari organisasi ekstra kemahasiswaan dan kepemudaan dan yang sudah meniti karier panjang harus melibatkan diri di dunia bisnis yang murni atau yang terkait dengan proyek pemerintah. Di sinilah Nazaruddin dan petinggi Partai Demokrat tersandung.

Bagaimana Memperbaikinya?
Percobaan demokrasi langsung jelas menyebabkan efek samping yang tidak dikehendaki ini,yaitu terlalu dominannya “uang”. Naiknya ke panggung kepemimpinan para pengusaha mengalahkan tokoh-tokoh yang mungkin lebih concern kepada idealisme kenegaraan merupakan keadaan seratus delapan puluh derajat dibanding Orde Baru.

Pada waktu itu hanya para birokrat yang sudah lulus jenjang pengetahuan administrasi pemerintahan tertentu bisa menempati kepemimpinan di pemerintahan.Kepemimpinan pemerintahan menjadi monopoli birokrat. Sekarang keadaan terbalik, menjadi hanya monopoli pengusaha atau orang beruang.

Bentuk kepemimpinan yang mestinya random yang berlatar belakang berbagai ragam sesuai dengan watak demokrasi ternyata tidak terjadi. Dua alternatif kesimpulan dapat diajukan.

Pertama, menganggapnya sebagai penyimpangan sementara yang akan menghilang dalam perjalanan waktu tentu saja dapat dipercepat dengan kontrol pers dan gerak penegak hukum yang ada. Demokrasi tumbuh secara natural dan reguler.

Kedua, menilainya sebagai sistemik karena sistem yang dibangun tidak kompatibel dengan budaya dan keadaan bangsa, sehingga perlu reamendemen. Apabila reamendemen dipilih, kelemahan ini jangan sampai kembali melahirkan sistem intervensi yang dirasakan selama era orde baru.

Derajat demokrasi terutama kebebasan berekspresi dan kebebasan berkumpul ternyata sangat bermanfaat untuk memperbaiki bangsa. Kita harus mengakui bahwa di samping penyimpangan berupa virus money politic yang sebenarnya sangat gawat, terdapat sangat banyak kebaikan dalam era kebebasan ini.

Indonesia ke depan akan menjadi negara yang maju, baik ekonomi dan kualitas bernegara seperti hak asasi dan mobilitas sosial di mana dimungkinkan semua orang yang berkualitas atau bekerja keras melakukan mobilitas vertikal.

Hal ini merupakan barang luks jika dibanding dalam sesama negara di dunia Islam, Malaysia, Timur Tengah serta China. Kata bijaknya adalah mengambil ikan tetapi jangan mengeruhkan airnya.
PROF BAMBANG SETIAJI Rektor Universitas Muhammadiyah Surakarta
Tulisan ini disalin dari Koran Sindo, 18 Juli 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan