Tuntutan Reformasi Kejaksaan

SILANG pendapat tentang suksesi jaksa agung dari internal (karir) atau eksternal (nonkarir) tidak penting dipertajam. Jelasnya, entah dari karir atau nonkarir, yang didambakan masyarakat saat ini adalah jaksa agung yang memiliki nyali dan kapabilitas untuk melaksanakan reformasi di tubuh kejaksaan. Yakni, berani menolak intervensi, berani menindak tegas bawahan yang tidak profesional, berani mengambil alih tanggung jawab, dan berani membela bawahan yang benar tapi teraniaya.

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) juga menyisakan persoalan-persoalan prospektif kejaksaan secara keseluruhan. Artinya, terlepas dari dipatuhi-tidaknya putusan MK oleh presiden, persoalan yang tidak kalah penting adalah penggantian jaksa agung menuntut kaitan dengan reformasi kejaksaan. Reformasi kejaksaan menjadi niscaya karena sampai berakhirnya kepemimpinan Hendarman Supandji kejaksaan masih dilumuri praktik-praktik penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Setidak-tidaknya dalam ''kasus Artalyta'', ''kasus Anggodo'', dan ''kasus Gayus'', selain kasus di daerah-daerah yang menandai citra buruk kejaksaan.

Sebagai representasi kepentingan publik, baik pada tataran penyidikan untuk tindak pidana tertentu (khusus) maupun penuntutan untuk tindak pidana umum, citra buruk kejaksaan tersebut menjadi sinyal adanya problem jaminan keadilan dan persamaan dalam hukum bagi masyarakat itu sendiri. Meski citra buruk tersebut lahir dari tindakan individu jaksa, tidak bisa diingkari institusi telah terseret dan setiap orang menjadi gamang untuk berurusan dengan kejaksaan.

Reformasi dan Instrumentasi

Melakukan reformasi kejaksaan harus bermuara pada sumber daya manusia di dalamnya, mulai seleksi jaksa agung sampai para jaksa yang baru memulai karir. Proses seleksi yang tidak melibatkan atau dipilih oleh publik itulah yang sangat berpotensi mengakibatkan rendahnya akuntabilitas pada masyarakat yang kepentingannya diwakili.

Jaksa agung yang diangkat presiden berdasar keppres dan tidak dipilih melalui seleksi yang terbuka, dengan demikian, juga dapat menjelaskan bahwa dia sulit menolak intervensi presiden dalam proses penegakan hukum kendati secara normatif penyidikan tindak pidana khusus atau penuntutan tindak pidana umum sepenuhnya menjadi wewenang kejaksaan. Berbeda dari pengisian jabatan ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Meski seleksi awal dilakukan melalui panitia seleksi (pansel) yang dibentuk oleh pemerintah, proses berikut juga melibatkan DPR sebagai wakil rakyat.

Bila dibanding perspektif instrumentalisme, pengisian jabatan jaksa agung dan ketua KPK akan menuntun pada harapan instrumentalisasi hukum oleh masing-masing institusi secara berbeda. Jaksa agung yang diangkat presiden dan ketua KPK (bahkan komisioner KPK secara keseluruhan) yang dipilih melalui seleksi terbuka bisa menghasilkan warna penegakan hukum yang berbeda. Tidak mengherankan jika selama ini dalam penyidikan kasus korupsi KPK terkesan mendayagunakan hukum lebih keras daripada kejaksaan, meski UU Antikorupsi-nya sama. Bukan karena KPK diberi kewenangan lebih daripada kejaksaan, namun karena persoalan beban akuntabilitas publik yang berbeda.

Mengikuti teori Donald Black, variasi hukum berdasar organisasi, stratifikasi, morfologi, maupun budaya lebih kecil ketika hukum digerakkan KPK daripada oleh Kejaksaan Agung. Artinya, diferensiasi hukum oleh KPK lebih kecil dibanding oleh kejaksaan. Karena itu, KPK terkesan lebih dapat mewujudkan hukum yang lebih kuat, namun bersandar pada prinsip persamaan dalam hukum (equality before the law) dan keadilan.

Persoalannya, bagaimana kejaksaan menggerakkan hukum tanpa dibebani kekhawatiran tekanan dari presiden yang mengangkat jaksa agung? Karena itu, dalam penggantian jaksa agung, presiden niscaya memilih orang yang tidak saja memiliki kapabilitas (kemampuan/pengetahuan) yang memadai. Namun, yang tidak kalah penting adalah memiliki akseptabilitas publik dan kredibilitas.

Tanpa syarat akseptabilitas, kapabilitas, dan kredibilitas tinggi dalam pengangkatan jaksa agung, reformasi kejaksaan tidak dapat diharapkan muncul dari dalam kejaksaan. Padahal, reformasi yang diusung dari luar lazimnya memperoleh resistansi.

Persoalan lebih jauh yang akan dihadapi jaksa agung baru adalah masih munculnya praktik penyidikan atau penuntutan oleh jaksa-jaksa dengan menjadikan hukum sebagai instrumen individu. Alih-alih kepentingan penegakan hukum secara adil dan tidak berpihak, penyidikan atau penuntutan tidak juga dilakukan untuk kepentingan institusi.

Ada dua hal yang menjadi pekerjaan rumah serius bagi jaksa agung yang baru. Yaitu, lemahnya sistem pengawasan dan minimnya anggaran, baik kesejahteraan personel maupun operasional lapangan.

Jaksa Agung Progresif

Penggantian jaksa agung sebenarnya juga dibebani tuntunan progresivitas hukum melalui kerja kejaksaan. Mendinamisasi hukum dalam ruang progresif masih sering hanya dialamatkan untuk pengadilan. Seakan-akan, kejaksaan tidak memiliki porsi untuk melakukan penyidikan atau penuntutan dengan konsep-konsep hukum progresif.

Itu berarti, tumpuan pada kejaksaan untuk dapat menggerakkan hukum progresif masih juga problematis. Hal tersebut terkait dengan kapasitas argumentasi hukum ketika jaksa penuntut umum menangani perkara, baik dalam hubungan dengan hakim maupun advokat (penasihat hukum).

Model argumentasi hukum yang menjelaskan sikap progresif dengan keluar dari nalar ortodoks justru dapat menjadi risiko tugas bagi jaksa. Dengan demikian, perkembangan hukum melalui argumentasi yang progresif jarang diharapkan lahir dari jaksa selaku penyidik atau penuntut umum. Sebenarnya, kejaksaan memiliki satu contoh baik, yaitu ketika terbit SKPP dalam kasus Bibit-Chandra yang menunjukkan bahwa progresivitas kejaksaan yang tampak melalui argumentasi sosiologis justru dapat menjadi eksperimentasi dalam proses-proses peradilan pidana atas pemenuhan kepentingan-kepentingan atau kebutuhan-kebutuhan sosial (social interesis). Terlepas dari apakah dipaksakan atau tidak, argumentasi itu seakan-akan menjungkirbalikkan paradigma yang selama ini melingkupi nalar para jaksa pada umumnya, terutama di daerah-daerah.

Kondisi tersebut hanya dapat tumbuh subur dalam kasus-kasus lain bila jaksa agung memiliki perspektif instrumental yang progresif. Yaitu, kejaksaan mendayagunakan hukum untuk memenuhi kepentingan-kepentingan sosial yang selalu dinamis dan menawarkan kategori-kategori keadilan yang selalu bergerak. (*)

*) Dr KPHA Tjandra Sridjaja Pradjonggo SH MH , praktisi dan akademisi hukum

Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 25 September 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan