Tugas Puteh Dialihkan ke Wagub NAD [20/07/04]

Presiden Megawati Soekarnoputri sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah tidak dapat menon-aktifkan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam Abdullah Puteh. Namun, untuk memperlancar proses pemeriksaan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap kasus korupsi yang melibatkan Puteh sebagai tersangka, Presiden dalam pekan ini akan menerbitkan tiga instruksi presiden.

Instruksi presiden (inpres) tersebut, menurut Sekretaris Negara/Sekretaris Kabinet Bambang Kesowo, akan berisi pengambilalihan pelaksanaan tugas Abdullah Puteh sebagai Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Penguasa Darurat Sipil Daerah (PDSD).

Pengambilalihan tugas itu ditetapkan sebagai jawaban terhadap permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar Puteh, tersangka kasus korupsi pembelian helikopter MI-2 buatan Rusia seharga 1,25 juta dollar AS, dinon-aktifkan.

Bambang menjelaskan, inpres pertama adalah perintah kepada Gubernur NAD Abdullah Puteh untuk menaati dan memenuhi jadwal pemeriksaan KPK. Kedua adalah perintah kepada Wakil Gubernur (Wagub) NAD untuk melaksanakan tugas gubernur selama Puteh menjalani pemeriksaan KPK. Jadi, selama Gubernur mematuhi dan memenuhi jadwal pemeriksaan KPK, maka tugas Gubernur dilakukan oleh Wakil Gubernur, yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri, tuturnya, Senin (19/7) di Istana Negara Jakarta, seusai rapat kabinet terbatas.

Instruksi ketiga diberikan kepada Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menko Polkam) ad interim Hari Sabarno selaku Ketua Badan Pelaksana Harian Darurat Sipil Pusat. Pelaksanaan tugas dan kewenangan gubernur selaku PDSD sehari-hari langsung dilaksanakan Menko Polkam, ujarnya.

Untuk tugas itu, Menko Polkam dapat menunjuk seorang pejabat anggota tim asistensi darurat sipil. Tiga inpres tersebut merupakan jawaban atas permintaan KPK agar presiden menon-aktifkan Puteh sebagai Gubernur NAD, agar pemeriksaan KPK dapat berjalan baik. Sebab, menurut UU (Undang- Undang) Nomor 22 Tahun 1999, presiden tidak bisa menon-aktifkan gubernur. Presiden hanya bisa memberhentikan atau mengangkat gubernur, kata Bambang.

Menjawab pertanyaan, bukankah pengambilalihan tugas itu secara tidak langsung juga berarti Puteh dinon-aktifkan, Bambang hanya mengatakan, Cerdas.

Hal senada dikatakan Ketua KPK Taufiequrrahman Ruki. Keputusan yang diambil Presiden adalah solusi cerdas untuk menjawab permintaan KPK. Diberhentikan atau tidak, yang penting proses hukum tidak terganggu, katanya, seusai bertemu Presiden kemarin.

Hari menambahkan, apa pun keputusan presiden yang terpenting adalah pemeriksaan KPK dapat berjalan baik. Pengalihan tugas akan dilakukan segera setelah inpres keluar. Sampai saat ini saya belum ditunjukkan surat itu, mungkin masih diproses, katanya.

Taufiequrrahman menjelaskan, permintaan KPK agar Puteh dinon-aktifkan didasarkan pada pertimbangan proses pemeriksaan yang dilakukan oleh KPK akan menyita waktu lama. Bagaimana pemerintahan bisa berjalan baik kalau gubernurnya empat hingga lima hari dalam seminggu tidak di tempat. Akan tetapi, apakah harus diberhentikan atau tidak, itu terserah pemerintah, ujarnya.

Puteh siap

Menanggapi kebijakan Presiden itu, Abdullah Puteh menyatakan siap menerimanya. Ia menyatakan masih menunggu pemberitahuan resmi atas kebijakan yang telah diambil Presiden. Pernyataan ini diucapkannya seusai diperiksa tim penyidik KPK kemarin.

Puteh menjalani pemeriksaan keempat, dari pukul 09.00 hingga pukul 18.00. Hari ini Puteh masih akan diperiksa lagi.

Kuasa hukum Abdullah Puteh, Eggi Sudjana, mengatakan, kebijakan Presiden itu merupakan langkah yang tergesa-gesa. Menurut Eggi, dilihat dari proses yang mengganggu kerja gubernur, sebenarnya tidaklah beralasan karena pemerintahan daerah bisa dijalankan oleh wakil gubernur. Penon-aktifan Puteh ini sudah bergeser dari urusan hukum ke urusan politik.

Gugatan Puteh disidangkan

Kemarin Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mulai menyidangkan gugatan praperadilan yang diajukan Abdullah Puteh sehubungan dengan penetapan status tersangka yang dilakukan oleh KPK. Dalam gugatannya, kuasa hukum Puteh yang diwakili kantor pengacara OC Kaligis menyatakan bahwa proses penyidikan KPK terhadap Puteh tidak sah.

Menurut Puteh, hal itu terjadi karena sampai saat ini berdasarkan UU No 30/2002 tentang KPK, pengadilan korupsinya sendiri belum terbentuk.

Puteh juga merasa dirugikan karena tanpa melalui proses penyidikan, KPK tiba-tiba menyatakan dirinya sebagai tersangka lewat pemberitaan di media massa.

Dalam sidang yang dipimpin Hakim Cicut Sutiarso itu juga langsung disampaikan jawaban KPK. Kuasa hukum KPK yang diwakili Khaidir Ramli, Warih Sadono, Wisnu Baroto, dan Tumpak Simanjuntak meminta majelis hakim menyatakan penyidikan KPK sah. Belum terbentuknya pengadilan korupsi bukan berarti KPK melanggar UU. Berdasarkan UU itu, tidak ada kewajiban harus menunggu terbentuknya pengadilan konstitusi.

Mengenai penetapan Puteh sebagai tersangka, hal itu merupakan kewenangan KPK sebagaimana diatur UU No 30/2002. Adapun mengenai pengumuman ataupun penetapan status tersangka melalui media massa, menurut KPK, hal itu juga tidak menyalahi aturan UU. Hasil penyidikan serta jalannya penyidikan menjadi hak dan kewenangan KPK untuk menyebarluaskan melalui media massa.

Sidang dilanjutkan Selasa pagi ini untuk mendengarkan tanggapan dari pihak Puteh atas jawaban KPK. (ely/son/VIN)

Sumber: Kompas, 20 Jui 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan