Tren Korupsi 2017: Objek Penyalahgunaan APBD Paling Banyak Dikorupsi oleh Kepala Daerah
Pemilu merupakan salah satu cara agar sirkulasi kepemimpinan berjalan dengan baik. Bila tidak pemerintahan akan berpotensi masuk dalam pemerintahan yang otoritarianisme dan cenderung korup. Perhelatan pemilu perlu dilakukan di negara yang demokratis, baik di tingkat nasional (pemilihan Presiden) hingga di tingkat lokal (pemilihan kepala daerah).
Selama ini setiap pesta demokrasi diselenggarakan selalu memakan anggaran yang cukup besar. Pada tahun 2017 anggaran yang dibutuhkan mencapai Rp 4,2 triliun, bahkan pada tahun 2018 anggaran melonjak sekitar Rp 20 triliun. Oleh sebab itu muncul gagasan tentang pilkada serentak. Ada tujuh fase gelombang pilkada serentak yang akan dilakukan mulai dari tahun 2015 hingga terakhir di tahun 2027. Di tahun 2017 saja daerah yang menyelenggarakan pilkada sebanyak 101 daerah dari tingkat provinsi, kabupaten, kota. Tujuan pilkada serentak ialah untuk menciptakan efektivitas dan efisiensi terkait dengan anggaran.
Pilkada tak jarang menimbulkan persoalan salah satunya korupsi. Sebab, akar korupsi pertama kali ada dalam ranah politik. Indonesia Corruption Watch (ICW) menginventarisir setidaknya ada 10 permasalahan yang membayangi proses pilkada, seperti politik uang, politisasi birokrasi hingga pengumpulan modal ilegal untuk kepentingan dana kampanye. Hal ini tentu merupakan titik rawan terjadinya korupsi yang sangat besar.
Berdasarkan data Litbang Kementerian Dalam Negeri terkait dengan dana kampanye menunjukkan setiap pasangan calon kepala daerah di tingkat kabupaten atau kota perlu mengeluarkan biaya sekitar Rp 30 miliar. Padahal gaji yang diterima oleh kepala daerah tidak mencapai ... dalam lima tahun masa kepemimpinannya. Artinya patut diduga sumber dana kampanye yang diperoleh oleh calon kepala daerah berasal dari pihak-pihak lain yang berburu rente.
Untuk menjawab fenomena tersebut, ICW membuat kajian deskriptif terkait dengan penindakan kasus korupsi yang terjadi di seluruh Indonesia selama tahun 2017. Ada beberapa aspek yang dilihat, seperti : jumlah kasus korupsi, aktor yang paling banyak ditindak berdasarkan jabatan, modus yang digunakan, korupsi berdasarkan sektor, lembaga tempat terjadinya korupsi, institusi penegak hukum yang menangani, kerugian negara yang ditimbulkan dan nilai suap yang diberikan.
Dalam proses pemantauan yang dilakukan, ICW mengalami hambatan salah satunya terkait dengan data penanganan kasus korupsi yang ditangani oleh institusi penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan, KPK). Ketiga institusi yang berwenang untuk menangani kasus korupsi masih belum transparan dalam mempublikasikan hasil kerja-kerja terkait dengan proses penegakan hukum terkait korupsi. Sekalipun ada hanya berupa statistik dan tidak menggambarkan secara detil kasus korupsi yang terjadi, bagaimana peta aktor, tipologi korupsi yang dilakukan hingga nilai kerugian negara yang timbul.