Transparansi Survei Politikus Muda

”Politikus muda yang banyak terekspose di media lebih berkesan sedang terlibat masalah, atau setidaknya diduga terlibat"

HASIL survei yang dirilis Lingkaran Survei Indonesia (LSI) beberapa waktu lalu antara  lain menunjukkan hanya sekitar 24% masyarakat yang menilai politikus muda itu baik. Data lain menunjukkan penilaian masyarakat yang menganggap bahwa tidak ada bedanya antara politikus yunior dan senior. Hasil survei lembaga lain pun menunjukkan belum munculnya politikus muda yang popularitasnya mampu bersaing dengan politikus senior.

Hasil survei itu sebenarnya tidak mengejutkan. Akhir-akhir ini, politikus muda yang banyak terekspose di media lebih berkesan sedang terlibat masalah, atau setidaknya diduga terlibat. Kasus Nazaruddin yang menyita perhatian publik, pembangunan wisma atlet SEA Games, dan suap di Kemenakertrans setidak-tidaknya menyeret dua nama politikus muda. Namun ada politikus muda yang bagus kiprahnya seperti Rieke Diah Pytaloka, Budiman Sudjatmiko, Nurul Arifin, Ganjar Pranowo, dan Maruarar Sirait, yang banyak memperjuangkan kepentingan rakyat, justru kurang terekspose media.

Dilihat dari Teori Kultivasi ala George Gebner, persepsi masyarakat terkait politikus muda tampaknya lebih berkorelasi dengan mereka yang bermasalah dan sering terekspose sehingga ingatan utama masyarakat tertuju pada mereka. Akuratkah hasil survei terkait dengan penilaian terhadap politikus muda itu? Apa yang perlu dilakukan oleh politikus yunior agar bisa melanjutkan estafet kepemimpinan nasional?

Melihat sejumlah komplain dari beberapa politikus muda terhadap hasil suvei, utamanya dikaitkan dengan dugaan ada tendensi maka sudah waktunya lembaga-lembaga survei mulai membuka diri. Sinyalemen Pramono Anung yang menyebut hasil survei itu digunakan untuk kampanye pihak tertentu, demikian pula pernyataan senada sebagaimana diungkapkan Priyo Budi Santosa atau Didi Irawadi Syamsudin, tentu tidak bisa diabaikan.

Dalam bahasa metodologi penelitian, keterbukaan yang selama ini rata-rata hanya ditunjukkan oleh metode baku seperti jumlah sampling, standard error dan lainnya, tidaklah cukup. Di AS, bahkan siapa sponsornya, apa tujuan survei itu, selalu dibuka ke publik.

Demikian pula lembaga surveinya terbuka pula untuk diaudit. Dilihat dari sisi metodologi penelitian, keakurasian sebuah penelitian akan sangat bergantung dari keakurasian (validitas) data yang dikumpulkan, dan untuk itu reliabilitas alat ukurnya pun perlu diuji. Karena itu, selain pertanyaan apakah alat ukur yang dipakai telah mengukur apa yang seharusnya diukur maka situasi saat pengukuran, bahkan sikap dan perilaku pengukur sebelum dan ketika pengukuran itu dilakukan, akan memengaruhi validitas data yang dikumpulkan.

Demikian pula pemetaan sampling secara benar, juga akan mempengaruhi akurasi generalisasi simpulannya. Singkatnya, metodologi penelitian kuantitatif yang objektif itu memerlukan kecermatan dan keakurasian dalam tiap langkahnya sehingga tidak menimbulkan bias yang sangat memengaruhi keakurasian data. Ini perlu perhatian serius karena penelitian kuantitatif perlu dilakukan secara rigid mengingat sangat berbeda dari penelitian kualitatif yang sifatnya subjektif spekulatif.

Audit terhadap lembaga survei oleh mereka yang kompeten di bidangnya pun penting. Melalui cara itu, semua hal baik yang terkait dengan metodologi penelitiannya maupun motivasi survei itu menjadi jelas. Ini penting karena saat ini ada lembaga survei terkemuka yang bahkan memonopoli survei terhadap ratingmedia penyiaran misalnya, selalu mengatakan rahasia bila ditanya terkait pemetaan sampling-nya misalnya.

Padahal pemetaan sampling akan memengaruhi keakuratan karakter populasinya, utamanya generalisasi simpulannya. Belum lagi kelemahan teknis alat ukur yang digunakan. Kondisi riil itulah yang menyebabkan sejumlah akademisi mempertanyakan keakurasian hasil survei tersebut.

Ke depan, lembaga-lembaga survei sebaiknya makin terbuka. Bila memang metodologi penelitian yang digunakan sesuai dengan standar akademis maka audit bukanlah hal yang tabu. Demikian pula terkait sponsor, selama hanya ingin mengetahui kondisi partai, elite, bahkan bisnisnya secara objektif, juga tidak ada masalah, kecuali bila memang terbukti memengaruhi hasil, misalnya dengan mengubah data demi tujuan tertentu. (10)

Drs Gunawan Witjaksana MSi, dosen Metodologi Penelitian Komunikasi Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (Stikom) Semarang dan Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Semarang (USM)
Tulisan ini disalin dari Suara Merdeka, 15 November 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan