Transparansi Bisnis Batu Bara

Membaca berita utama Kompas, Senin (25/01), tentang buruknya tata kelola bisnis pertambangan di Kalimantan, bukanlah hal yang sangat mengejutkan. Setelah kayu, bahan tambang dan mineral— khususnya batu bara— adalah bisnis yang menggiurkan dan mengundang minat banyak pihak.

Terbukti, setelah desentralisasi, industri ini berkembang pesat. Sebagai contoh, data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menunjukkan antara tahun 2001 dan 2008 terdapat 2.513 izin baru untuk pertambangan skala kecil dan 10 persen di antaranya ada di Kalimantan Selatan. Saat ini, 750 tambang batu bara berskala kecil teridentifikasi di provinsi tersebut.

Ada beberapa hal yang melatarbelakangi hal tersebut. Pertama, cadangan sumber daya tersebut sangatlah besar di Kalimantan. Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan adalah daerah penghasil batu bara terbesar kedua dan ketiga di Indonesia (Kementerian ESDM, 2008). Kedua, bisnis batu bara adalah bisnis yang berkembang pesat dan menguntungkan. Miranti (2008) menunjukkan, dalam lima tahun terakhir produksi batu bara terus meningkat 90,3 persen hingga mencapai volume 215 juta ton pada tahun 2008 dengan 79 persen mengalir ke pasar ekspor.

Data Price Waterhouse Coopers pada tahun 2009 menunjukkan, margin keuntungan neto bisnis ini selalu berada di atas 22 persen sejak tahun 2006 dengan margin penerimaan sebelum bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi (EBITDA) yang hanya turun sedikit meskipun terhadang krisis global. Ketiga, bisnis ini menyumbang peran yang cukup besar bagi perekonomian di tingkat nasional dan lokal. Pada tahun 2009, ekspor batu bara bersama dengan ekspor bahan tambang lain membantu mendongkrak kinerja ekspor nasional di tengah ancaman krisis (BPS, 2009). Di tingkat provinsi, kontribusi bisnis ini juga dominan dalam nilai tambah dan output perekonomian, seperti di Kalimantan Selatan (Fatah, 2008).

Sangat wajar jika banyak pihak kemudian berkepentingan untuk memastikan bisnis ini terus tumbuh. Yang menjadi masalah adalah kenyataan bahwa pertumbuhan bisnis tersebut tidak dibarengi dengan piranti yang memadai untuk menjaga transparansi dan akuntabilitasnya.

Sengketa pembayaran tunggakan royalti Rp 7 triliun antara pemegang konsesi perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B) dengan Kementerian Keuangan pada tahun 2008 menunjukkan kronisnya masalah transparansi tersebut. Bukan karena besarnya tunggakan atau lemahnya posisi tawar terhadap para pemegang konsesi yang memprihatinkan, tetapi lebih karena masalah tersebut telah terjadi berlarut-larut sejak tahun 2001 tanpa diketahui luas oleh publik.

Banyak yang menengarai bahwa sengketa ini adalah puncak dari gunung es yang hanya mencerminkan sebagian kecil dari masalah tata kelola bisnis batu bara yang lebih luas, seperti transparansi perizinan, tata relasi antara pemerintah dan pemegang konsesi, serta pembagian manfaat dari hasil produksi.

Penambangan ilegal
Rendahnya transparansi itulah yang menyebabkan maraknya masalah dalam bisnis batu bara di tingkat lokal, seperti sengketa wilayah, kerusakan lingkungan, ataupun korupsi. Sebagai contoh, Kementerian ESDM menyatakan bahwa hanya 30 persen dari pertambangan batu bara skala kecil di Kalimantan Selatan yang memiliki izin resmi.

Fatah (2008) juga menyatakan bahwa semua kabupaten/kota penghasil batu bara di Kalimantan Selatan memiliki sejumlah pertambangan ilegal dan jumlahnya semakin bertambah dari 157 tahun 1997 menjadi 842 tahun 2004. Berbagai laporan jurnalistik di tingkat lokal juga telah membuka banyak kasus korupsi dan penyalahgunaan wewenang oleh pejabat daerah dalam pengalokasian izin ataupun penarikan pungutan dan pajak daerah.

Pengundangan UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara, seperti yang disampaikan Singgih Widagdo (Kompas, 25/1/2010), bisa menjadi momentum awal untuk mendorong reformasi tata kelola bisnis batu bara agar lebih transparan dan bertanggung gugat. Namun, seperti diuraikan Widagdo, diperlukan instrumen-instrumen akuntabilitas alternatif yang bisa mendukung proses reformasi selagi perangkat perundang-undangan dan instrumen makro masih disempurnakan.

Penerapan skema extractive industries transparency initiatives (EITI) secara terpadu di tingkat nasional ataupun lokal adalah salah satu hal yang bisa dipertimbangkan. Secara umum, merujuk pada Moberg in Darby et al (2008), skema ini memfasilitasi diseminasi informasi kepada publik (public disclosure) dan verifikasi independen terhadap aliran pembayaran royalti oleh pemegang konsesi dan aliran penerimaan benefit oleh pemerintah serta mekanisme distribusinya dalam bisnis batu bara, termasuk faktor yang memengaruhi, seperti proses perizinan.

Pengalaman di negara lain, seperti Ghana, dalam kasus pertambangan emas, menunjukkan bahwa penggunaan skema ini di tingkat subnasional atau lokal bisa digunakan untuk mengidentifikasikan sumber masalah tata kelola dengan tepat dan mendorong proses peningkatan akuntabilitas dengan metode yang paling efektif.

Darmawan Triwibowo Peneliti Senior pada Perkumpulan Prakarsa

Tulisan ini disalin dari Kompas, 27 Januari 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan