Titik Krusial DAK Pendidikan

AKHIR Mei, Presiden SBY mengesahkan UU No 2 Tahun 2010 tentang Perubahan APBN 2010. Lahirnya UU tersebut tidak saja punya pamrih mengamankan jalannya APBN, tapi juga menata ulang pokok-pokok kebijakan fiskal seiring perubahan asumsi dasar ekonomi makro, sehingga APBN menjadi lebih realistis.

Namun, lahirnya UU No 2 Tahun 2010 justru membuat posisi Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) serbasulit. Sebab, seperti yang tertuang dalam pasal 18 ayat 5b,''...untuk menjamin efisiensi, efektivitas, dan akuntabilitasnya, pelaksanaan DAK pendidikan harus menggunakan metode pengadaan barang dan jasa yang mengacu pada mekanisme sesuai peraturan perundang-undangan dan tidak berbentuk block grant (hibah) ke penerima manfaat atau sekolah''.

Meski hanya satu pasal, UU tersebut sangat hebat. Bahkan, satu pasal itu bisa ''mementahkan'' semua produk perundangan di bawahnya. Implikasinya, DAK pendidikan baru bisa dijalankan manakala Kemendiknas telah mengubah atau menerbitkan peraturan baru.

Perubahan itu mutlak karena pada Februari 2010 Kemendiknas telah menerbitkan petunjuk teknis DAK pendidikan. Yakni, Permendiknas No 5 Tahun 2010 dan SE Dirjen Mendikdasmen No 698/C/KU/2010. Karena DAK pendidikan bukan lagi hibah ke sekolah, dua peraturan tersebut menjadi tidak relevan. Dengan begitu, gugur demi hukum.

Lalu, bagaimana nasib 24.000 SD dan 20.000 SMP penerima DAK pendidikan? Sekolah tetap menerima barang-barang DAK. Tapi, sekolah tak lagi menerima transfer langsung dari pemerintah. Selama ini, penyaluran DAK pendidikan selalu berbentuk block grant/langsung ke rekening sekolah. Mekanisme seperti itu juga berlaku untuk BOS serta dana dekonsentrasi. Meski banyak sekolah yang jera jika menerima DAK pendidikan, model block grant sesungguhnya sangat sesuai dengan desentralisasi anggaran dan semangat manajemen berbasis sekolah.

Kini, sesuai UU No 2 Tahun 2010, pengadaan DAK pendidikan harus melalui pelelangan. Inilah kali pertama DAK pendidikan akan dilelang hampir berbarengan di 491 kabupaten/kota seluruh Indonesia.

Dus, dinas pendidikan sebagai leading sector akan mengambil alih peran sekolah. Dengan demikian, sekolah tetap bisa memperoleh barang-barang DAK tanpa dibebani proses pelelangan yang memang bukan kompetensinya.

Standar v Waktu

Meski telah menginjak tahun kelima, program DAK pendidikan belum optimal. Bahkan, masih banyak sekolah yang tidak bisa membelanjakan DAK pendidikan. Kondisi seperti itu bisa saja terulang. Celakanya, hingga kini perubahan petunjuk teknis DAK pendidikan tak kunjung terbit, entah sampai kapan. Padahal, waktu yang tersisa tidak lebih panjang dari tahun-tahun sebelumnya.

Jika Kemendiknas tidak cepat, target waktu maupun target pencapaian bisa meleset. Kemendiknas tinggal punya waktu tak lebih dari lima bulan. Itu pun dengan catatan segera mengubah dan menyosialisasikan peraturan baru. Jika terlambat sedikit saja, bisa-bisa dana sebesar itu akan hangus. Sebab, DAK pendidikan memuat dana pendamping APBD 10 persen yang harus closing Desember nanti.

Bisa dibayangkan jika terjadi pelelangan, dinas pendidikan tidak bisa melakukan langkah short cut, tapi harus tunduk pada tahap-tahap yang fixed. Bagaimana pula jika pelelangan gagal atau retender? Pastilah waktu semakin tidak cukup. Ujung-ujungnya, sekolah tidak memperoleh barang-barang DAK meski anggaran tersedia.

Padahal, DAK pendidikan merupakan program andalan Kemendiknas, khususnya untuk memenuhi standar sarana dan prasarana pendidikan. Begitu pentingnya standar itu hingga kegagalan hasil ujian nasional (unas) kemarin dikait-kaitkan dengan minimnya sarana dan prasarana pendidikan. DPRD Jawa Tengah, misalnya, menilai kegagalan hasil unas di daerahnya disebabkan minimnya sarana dan prasarana sekolah.

Meski Mendiknas Mohammad Nuh berkali-kali menegaskan bahwa unas bukan penentu kelulusan dan masih ada kesempatan mengulang, tetap saja hasil unas mencerminkan bahwa masih ada standar nasional pendidikan yang belum bisa terpenuhi.

Untuk itu, Ketua BSNP Djemari Mardapi menganjurkan: ''Pemerintah mesti punya komitmen untuk menjadikan setiap sekolah memenuhi standar nasional. Karena itu, standar sarana dan prasarana pendidikan minimal yang sudah ditetapkan harus bisa dipenuhi.''

Sebenarnya, pemerintah telah memiliki delapan standar nasional pendidikan. Lalu, standar itu dijabarkan ke beberapa peraturan. Di antaranya, Permendiknas No 24 Tahun 2007 tentang Standar Sarana dan Prasarana Pendidikan. Permendiknas tersebut sangat lengkap dan detail. Saking detailnya sampai mengatur, antara lain, berapa soket listrik yang harus dimiliki per kelas, berapa bak sampah di tiap sekolah, buku apa saja yang harus dimiliki, dan berapa ruang perpustakaan per sekolah.

Walhasil, jika Kemendiknas benar-benar mengubah Permendiknas No 5 Tahun 2010 dan SE Dirjen Mendikdasmen No 698/C/KU/2010, hal itu harus tetap sesuai dengan asas efisiensi, efektivitas, dan akuntabilitas seperti yang diamanatkan UU No 2 Tahun 2010. Artinya, substansi maupun proses petunjuk teknis DAK pendidikan tidak boleh tercerabut atau bahkan bertentangan dengan standar sarana dan prasarana pendidikan seperti yang tertuang dalam Permendiknas No 24 Tahun 2007.

Siapa pun menterinya, tidaklah gampang mengimplementasikan DAK pendidikan tahun ini. Semua berpulang pada komitmen, kerja keras, akselerasi, serta koordinasi antarsemua lini. Dengan demikian, pemenuhan standar sarana dan prasarana pendidikan tidak jauh panggang dari api. Semoga! (*)

*) Mursyid Burhanuddin , general manager PT JePe Press Media Utama
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 14 Juni 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan