Tingkat Toleransi Terhadap Korupsi

Baru-baru ini seorang peneliti UGM mengumumkan hasil penelitiannya yang amat mencengangkan. Hasilnya, ternyata rakyat sangat toleran dengan praktek korupsi. Rakyat, setidaknya yang terpilih menjadi responden penelitian, lebih memilih pelayanan yang lebih cepat dan pasti daripada mempersoalkan praktek korupsi yang dihadapi. Bahkan beberapa responden mengatakan bahwa adanya praktek korupsi dalam bentuk deal suap-menyuap merupakan salah satu jaminan kepastian urusan bakal beres.

Hasil penelitian memang tidak sampai kepada kesimpulan bahwa rakyatlah sebenarnya yang paling tidak siap memberantas korupsi. Namun, hasil penelitian Deny JA, Direktur Lembaga Survey Indonesia (LSI) tentang materi kampanye Pilkadasung yang paling ditunggu-tunggu rakyat ternyata juga bukan isu korupsi. Rakyat, menurut LSI tidak terlalu pusing dengan praktek-praktek korupsi. Isu-isu tentang ekonomi, penanggulangan kemiskinan dan pengangguran menjadi perhatian rakyat yang utama.

Kedua hasil penelitian ini nampaknya memiliki esensi yang relatif saling mendukung, persepsi rakyat tentang korupsi berbeda dengan hipotesis yang dibangun para peneliti serta persepsi para pakar. Korupsi tidak dipersepsikan oleh rakyat sebagai ancaman bagi masa depan bangsa ini. Yang penting bagi rakyat ialah bagaimana mereka mendapat kepastian meneruskan hidup, mengentaskan mereka dari pengangguran dan kemiskinan, syukur-syukur bisa meretas masa depan yang lebih baik.

Penyebab korupsi kolektif
Kita ingin mengatakan sekarang, ternyata hambatan pemberantasan korupsi tidaklah semata-mata datang hanya dari perilaku dan mental para pejabat yang korup melainkan juga datang dari rakyat yang telah lama melakukan penyesuaian diri dengan praktek korupsi yang sudah membudaya. Telah tercapai semacam keseimbangan dalam keseharian kehidupan rakyat kita berteman akrab dengan korupsi dalam kurun waktu yang lama. Sehingga korupsi sudah bisa ditoleransi dan menjadi bagian dari hidup sehari-hari.

Hasil kedua penelitian itu sungguh-sungguh merisaukan kita. Pemberantasan korupsi yang kini tengah intensif dilakukan berbagai pihak menyahuti tuntutan yang telah lama disuarakan oleh rakyat dan lalu kemudian dipertegas oleh tekad pemerintahan SBY-JK, tentu akan berhadapan langsung dengan tingkat toleransi rakyat yang tinggi terhadap korupsi itu sendiri. Ini menjadi sebuah paradoks yang akan membuat pemberantasan korupsi itu sendiri akan menjadi sulit. Sebab asumsi yang terjadi di masyarakat, korupsi itu sungguh-sungguh memang dilakukan secara kolektif. Meminjam istilah Amien Rais, korupsi berjamaah. Bahkan sebagian anggota masyarakat sudah terlanjur menikmati itu.

Menurut Jeremy Pope (2000) dalam bukunya Strategi Memberantas Korupsi yang diterbitkan oleh Transparancy International Indonesia, definisi korupsi adalah menyalahgunakan kekuasaan dan kepercayaan untuk keuntungan pribadi. Namun korupsi dapat pula dilihat sebagai perilaku tidak mematuhi prinsip mempertahankan jarak. Itu artinya, dalam pengambilan keputusan di bidang ekonomi, apakah itu dilakukan oleh perorangan di sektor swasta atau oleh pejabat publik harus mengindarkan diri dari hubungan pribadi atau kedekatan keluarga.

Sekali prinsip mempertahankan jarak ini dilanggar dan keputusan dibuat berdasarkan hubungan pribadi atau keluarga, korupsi akan timbul. Contohnya, konflik kepentingan dan nepotisme. Prinsip mempertahankan jarak ini adalah landasan untuk organisasi untuk mencapai efisiensi. Namun praktek yang terjadi, korupsi memiliki dimensi yang jauh lebih luas. Di Indonesia, korupsi dapat ditolerir dan bahkan dilakukan secara kolektif berakar kepada soal kesejahteraan.

Sebagian besar orang yang mentolerir korupsi beranggapan, hal itu terjadi karena masalah kesejahteraan. Ukuran tingkat kesejahteraan itu secara sederhana dideskripsikan secara sederhana yaitu jumlah nominal gaji yang tidak mencukupi. Gaji aparatur pemerintah (PNS, Polisi, Tentara, Hakim, Jaksa dan aparatur pelayanan publik lainnya) serta karyawan swasta hanya cukup membiayai hidup 15 hari setiap bulan. Sisanya harus tambal sulam, melalui berbagai cara. Sebagian lainnya beranggapan penyebab korupsi sudah merupakan bagian sisi gelap daripada watak bangsa ini.

Namun hasil survei Transparancy International Indonesia menunjukkan lain. Korupsi kolektif semakin sistematis dan sistemik antara lain karena adanya beberapa faktor persepsi, yang merefleksikan tingkat toleransi masyarakat terhadap korupsi. Didalamnya termasuk sejauhmana hubungan antara mengambil tindakan dan sejauhmana suatu perilaku dianggap merugikan, tercela atau tidak dapat dibenarkan.

Hal ini kemudian diperparah oleh apatisme orang untuk melawan korupsi dan mengambil tindakan yang diakibatkan oleh, pertama, keyakinan bahwa perilaku korupsi dapat dibenarkan dalam situasi tertentu, kedua, keyakinan, tidak ada gunanya melaporkan korupsi, karena tidak ada tindakan apa pun yang diambil, ketiga, keyakinan, perilaku korupsi itu ditafsirkan bukan praktek korupsi, keempat, takut akan mendapat balasan, secara pribadi dan dalam pekerjaan, kelima, kedudukan yang rendah dalam organisasi, keenam, persepsi pegawai terhadap perilaku atasan dan ketujuh, adanya keraguan apakah bukti-bukti korupsi telah mencukupi.

Perlu lebih banyak penjara
Keyakinan bahwa hampir semua praktek korupsi tidak tersentuh hukum secara memadai telah menyebabkan persepsi rakyat turut bergeser. Praktek korupsi dianggap tidak lebih sebagai bagian tidak terpisahkan dari organisasi publik. Dan itu bukan sesuatu yang salah, setidaknya karena terlalu banyak praktek korupsi tidak tersentuh hukum. Apabila Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK atau KPK) bisa menangkap Ketua KPU Nazaruddin Syamsuddin yang diawali oleh penyuapan Mulyana W. Kusuma terhadap penyidik dari BPK, maka KPK mulai hari ini perlu menyiapkan lebih banyak penjara.

Sejauh ini publik hanya mengetahui , Nazaruddin Syamsuddin dan anggota KPU lainnya didakwa korupsi atas pengadaan logistik Pemilu. Yang unik pada kasus ini ialah, sampai kini pihak yang menyerahkan fee atau uang sogok atau komisi yang dituduhkan tersebut belum diakui oleh para rekanan. Penyidik KPK melalui debutnya pun justru dari kasus yang lain, yaitu penyuapan penyidik BPK oleh anggota KPU Mulyana W. Kesuma.

Bila kita mengambil analogi itu, bayangkan betapa banyak Pemimpin Proyek, Direksi BUMN/BUMD, Kepala Dinas, Bupati, Walikota dan Gubernur yang dapat diseret ke penjara. Semuanya pasti pernah bahkan mungkin mengandalkan komisi proyek dalam kepemimpinannya. Dalam banyak kesempatan sudah kita ungkapkan bahwa perilaku korupsi terhadap anggaran setiap instansi, baik itu APBD dan APBN terus berlangsung. Selain karena nilainya yang sangat besar, dimensinya pun begitu luas.

Banyak Kepala Daerah
hanya berkutat mengelola dan menangani APBD/APBN sehingga lupa bahwa tugas-tugas kreatif-produktif sebagai pejabat publik (Bupati/Walikota/Gubernur) masih sangat banyak dan beragam. Pada beberapa kasus, penanganan atau rebutan pengelolaan dana APBD/APBN (baca: proyek) seringkali menjadi sumber silang sengketa antara para pejabat publik, melupakan kewajiban yang utama mengentaskan kemiskinan, menanggulangi masalah pengangguran serta mensejahterakan rakyat.

Setiap rekanan yang mengerjakan pemborongan atau pengadaan barang dan jasa yang bersumber dari anggaran pembangunan di instansi pemerintah, sudah menjadi rahasia umum harus menyetorkan antara 10 hingga 20 persen fee atau komisi proyek, seperti yang terjadi pada kasus KPU. Dan, sekali lagi sudah menjadi rahasia umum juga, para kepala daerah menghitung dengan cermat perolehan dari komisi proyek sebagai pos yang sangat penting.

Lebih jauh lagi, bahkan di beberapa tempat terjadi persekongkolan jahat menjarah uang negara, uang rakyat bahkan sebelum APBD disetujui oleh DPRD. Atau malah mengubah struktur anggaran yang telah disetujui oleh DPRD dengan yang direalisasikan dilapangan. Menjelang Pilkadasung yang kini tengah bergulir, banyak mantan pejabat di berbagai daerah melakukan pemotongan uang belanja rutin dari dinas dan badan bagi setiap pencairan pendahuluan sambil menunggu DPRD mengetukkan palu persetujuannya. Isu seperti itu, misalnya merebak sangat luas terjadi di Tapsel. Dan rakyat sepertinya sudah terbiasa dengan hal-hal seperti itu.

Apabila kita mengacu kepada kondisi itu, bayangkan betapa banyak aparatur yang seharusnya bisa dipenjara. Jadi menjadi lebih rumit bila itu juga kita biarkan. Sebab menurut para ahli hukum, empat puluh lima tahun yang lalu gejala ini telah diramalkan sebagai penyakit yang akan terus berjangkit. Pada tahun 1971 diterbitkan UU no. 3 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Namun pasca undang-undang tersebut yang terjadi bukan menghambat penularan penyakit korupsi tersebut melainkan justru berkembang luas dan lebih parah.

Gerakan terintegrasi
Tiga langkah simultan yang perlu dilakukan dengan demikian ialah, pertama, gerakan nasional pemberantasan korupsi yang komprehensif, terintegrasi dan terkoordinir, baik antara lembaga-lembaga pemerintah yang berada di bawah kewenangan Presiden seperti BPKP, Kejaksaan dan Kepolisian serta lembaga-lembaga lainnya yang tidak berada dibawah kewenangan Presiden seperti BPK dan KPK.

Kedua, pemerintah harus membuat target yang jelas memperbaiki sistem penggajian aparatur pemerintah pada semua instansi pemerintah, memperbaiki sistem rekrutmen dan penjenjangan karir seluruh aparatur pemerintah. Seluruh aparatur pemerintah sipil dan militer lebih-lebih yang menempati pos-pos pelayanan publik harus menerima gaji yang layak, tidak hanya sekedar cukup membiayai hidup sehari-hari melainkan juga harus tersedia cukup bagi membiayai belanja pendidikan, kesehatan dan tabungan keluarga.

Ketiga, harus ada gerakan yang masif secara nasional bagi menekan persepsi masyarakat yang keliru tentang praktek korupsi. Toleransi masyarakat terhadap praktek korupsi dan para koruptor tentu berasal dari persepsi yang salah. Bila persepsi yang keliru itu tidak segera diubah, maka rakyat tentu saja akan memberikan toleransi, sehingga pemberantasan korupsi akan mendapat perlawanan diam-diam dari rakyat.

Bahkan gerakan pemberantasan korupsi bisa saja dituding hanya sekedar memenuhi agenda politik rezim yang tengah berkuasa. Apalagi bila anggota KPU bisa dipenjarakan KPK sedangkan koruptor sejenis yang lain tidak. Itu hanya akan makin memperkuat keyakinan yang hidup di masyarakat , korupsi dan koruptor itu adalah bagian normatif dari birokrasi dan itu pula yang akan membuat rakyat tetap memelihara toleransi yang tinggi bagi tindak pidana korupsi dan koruptor itu sendiri.(Ir. H. Chaidir Ritonga, MM, adalah Ketua Kadin Sumatera Utara dan Peserta Program Doktor Perencanaan Wilayah, Pasca Sarjana USU. Email:Chaidir_Ritonga@Plasa.com)

Tulisan ini diambil dari Waspada, 22 Juni 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan