Tindak Lanjut Gugatan Korupsi Bansos: Korban Daftarkan Memori Kasas

credit: Tim Advokasi Korban Korupsi Bansos

Pada hari ini, Senin, 9 Agustus 2021, korban korupsi bansos yang diwakili oleh Tim Advokasi Korban Korupsi Bansos mendaftarkan Memori Kasasi yang ditujukan terhadap Mahkamah Agung melalui kepaniteraan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Sebelumnya pada 26 Juli 2021, Tim Advokasi telah menyatakan upaya hukum kasasi terhadap Penetapan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (PN Tipikor) Jakarta perkara nomor: 29/Pid.Sus-TPK/2021/PN.JKT.Pst. Penetapan tersebut menolak permohonan penggabungan perkara gugatan ganti kerugian dalam pemeriksaan perkara korupsi mantan Menteri Sosial, Juliari P Batubara.

Sebagaimana diketahui, pertengahan Juni lalu 18 orang warga Jabodetabek yang menjadi korban korupsi bansos mengajukan penggabungan perkara gugatan ganti kerugian. Alas hukum yang digunakan secara terang benderang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan dan kesepakatan internasional, yakni Pasal 98 KUHAP dan Pasal 35 Konvensi PBB Melawan Korupsi (UNCAC). Tak lama berselang, majelis hakim pun memberikan akses bagi Tim Advokasi untuk melengkapi dokumen. Namun, pasca itu, permohonan penggabungan perkara gugatan ganti kerugian malah ditolak dengan alasan yang sangat janggal. Hakim berpandangan gugatan lebih tepat diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan menggunakan argumentasi domisili Juliari.

Ada beberapa hal penting yang disampaikan Tim Advokasi dalam Memori Kasasinya sebagai berikut:

Pertama, penetapan majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta mengandung penerapan hukum yang salah tentang persyaratan penerimaan penggabungan perkara gugatan ganti kerugian. Berdasarkan Pasal 98 KUHAP, syarat gugatan ganti kerugian korban tindak pidana dapat digabungkan dan diperiksa pokok gugatannya dalam pemeriksaan pidana adalah diajukan kepada majelis hakim sebelum Jaksa membacakan tuntutan, yang mana telah dipenuhi syaratnya oleh para korban bansos. Namun, hakim justru menggunakan syarat-syarat yang diatur Pasal 99 KUHAP yang sejatinya ditujukan sebagai kriteria untuk memeriksa pokok perkara gugatan setelah perkara digabungkan. Pertimbangan hukum ini dikuatkan dengan cukup banyak preseden putusan penggabungan gugatan yang hanya menerapkan syarat waktu di Pasal 98 KUHAP untuk dapat menerima penggabungan.

Kedua, majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta salah menerapkan hukum acara yang digunakan. Hakim menggunakan alasan dalam hukum acara perdata tentang domisili Tergugat yang berbeda dengan Pengadilan sebagai alasan menolak penggabungan. Padahal Pasal 101 KUHAP telah mengatur bahwa ketentuan KUHAP adakah Lex Specialis dari hukum acara perdata dalam hal penggabungan perkara ini. Penggabungan perkara ganti kerugian hanya dapat diajukan di pengadilan yang memeriksa perkara pidananya, dalam hal ini yang memeriksa perkar Juliari Batubara adalah Pengadilan Tipikor Jakarta. Ada cukup banyak preseden putusan yang diajukan yang menerima penggabungan perkara ganti kerugian, meskipun domisili Terdakwanya berbeda dengan domisili pengadilan yang memeriksa.

Ketiga, hakim telah melanggar asas-asas kekuasaan kehakiman yang diatur di UU N0. 48 Tahun 2009. Hal ini dikarenakan hakim tidak pernah memberikan ruang kepada para korban bansos untuk menyampaikan pembelaan kepentingannya dalam permohonan, padahal diwajibkan sebagai pelaksanaan asas peradilan yang adil. Selain itu, hakim sejatinya sadar betul permohonan penggabungan perkara tidak akan dapat diajukan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Penolakan hakim dalam penetapan ini telah mempersulit para korban bansos sebagai pencari keadilan untuk tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan berbiaya ringan yang tidak sesuai dengan asas-asas. Kehakiman yang diatur dalam Pasal 4, Pasal 5 (1) dan Pasal 10 (1) UU No. 48 Tahun 2009.

Tim Advokasi dan korban korupsi bansos sangat berharap Mahkamah Agung mengoreksi kesalahan penerapan hukum oleh majelis Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta dan memerintahkan peradilan di bawahnya untuk dapat membuka kembali pemeriksaan penggabungan gugatan ganti kerugian. Hal ini sangat penting untuk mempertahankan konsistensi penerapan Pasal 98 KUHAP dan juga melindungi kepentingan pencari keadilan, khususnya kepentingan korban-korban korupsi yang hingga kini masih dipinggirkan dalam sistem penegakan hukum korupsi.

Jakarta, 9 Agustus 2021
TIM ADVOKASI KORBAN KORUPSI BANSOS

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan