Timbunan Korupsi Republik

Sejarah korupsi dan kolusi penguasa-pengusaha di Indonesia rupanya telah berlangsung sejak sebelum berdirinya Republik Indonesia 65 tahun lalu.

Sesudah kemerdekaan, hanya berganti aktor saja. Dari bentang kekuasaan politik ini muncul sejumlah kelompok yang di dalamnya berlangsung praktik penimbunan korupsi.

Timbunan korupsi
Pada 1950, setelah kembalinya kedaulatan Republik, pemerintahan parlementer dan sistem multipartai juga diwarisi. Para pejabat pemerintah mengusung program Ekonomi Benteng guna membentuk lapisan pengusaha nasional yang kuat sebagai reaksi atas dominasi pengusaha Belanda dan Tionghoa.

Persoalannya, program itu ditandai dengan kolusi pejabat dan pengusaha sehingga relasi patronasi bisnis (business patronage) menjadi bibit pokok bagi penimbunan korupsi. Program ini lebih banyak gagal karena banyak pemilik lisensi ekspor-impor menjualnya ke pihak asing dan Tionghoa.

Sejak 1957 terjadi ”nasionalisasi” atau pengambilalihan perusahaan Belanda oleh sejumlah serikat buruh. Tapi, pengambilalihan ini justru beralih tangan lagi ke kelompok perwira militer Angkatan Darat. Pemupukan patronasi bisnis menguat dan penimbunan korupsi mulai tak terhindarkan.

Setelah 1965, pengaruh militer dalam politik dan bisnis pun meningkat. Orde Baru menikmati tiga sumber uang: utang luar negeri, modal asing, dan ”uang minyak” (petrodollar). Dugaan korupsi sukar disembunyikan ketika Pertamina dililit utang 10,4 miliar dollar AS pada 1975.

Tren perusahaan negara sebagai ”sapi perahan” korupsi dan kolusi para pejabat dan pengusaha mencapai puncak timbunannya pada era Orde Baru. Selain Pertamina, juga perusahaan tambang lainnya, Bulog, PLN, dan bank-bank pemerintah menjadi ladang penimbunan korupsi yang berkerumun di sekitar Istana Cendana.

Sejumlah pejabat yang berlatar militer mempunyai semacam ”kewenangan” untuk mengeluarkan ”surat sakti” atau katebeletje, baik kredit raksasa tanpa agunan atau tender proyek triliunan rupiah. Keterlibatan pejabat politik seperti ini gagal menciptakan kepercayaan bisnis dalam jangka panjang.

Pengurasan sumber-sumber kekayaan Republik diiringi dengan penimbunan korupsi dan kolusi, bahkan juga nepotisme Orde Baru. Ketika diterpa krisis moneter pada paruh akhir 1997, skandal keuangan (BLBI) sebesar Rp 144,5 triliun pun terkuak. Krisis ini pula yang berdampak terhadap tumbangnya rezim Soeharto.

Reformasi telah mengubah format politik dan menggeser beberapa kelompok bisnis domestik. Format ini menaikkan peran parlemen dan partai politik, juga meningkatnya independensi pengadilan dan aparat penegak hukum. Tapi, terjadi pula perluasan timbunan korupsi. Salah satu yang terpenting, belakangan adalah kasus Bank Century Rp 6,7 triliun.

Republik juga menggelar hajatan politik desentralisasi atau otonomi daerah. Sejak 1999, telah mekar 7 provinsi, 164 kabupaten, dan 34 kota sehingga total menjadi 524 pemerintah daerah. Tetapi, dari pemekaran ini juga tercatat sedikitnya tertimbun 1.891 kasus korupsi. Bahkan Presiden Yudhoyono menyebut 80 persen daerah pemekaran mengalami kegagalan.

Hukum dan peradilan
Kendati persoalan itu tak lepas dari kepentingan politik-ekonomi yang beroperasi, tetapi meningkatnya peran parlemen tetap masih belum cukup menyetujui dan memberlakukan sebuah UU Antikorupsi yang menganut prinsip pembuktian terbalik.

Begitu juga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dibentuk pada 2002, pengadilannya masih terbatas, belum menyebar ke seluruh provinsi. Timbunan korupsi dalam Republik tak hanya melalui jalur pemerintah dan parlemen, tetapi juga melalui jalur peradilan.

Aparat penegak hukum dan kehakiman mewarisi jaringan mafia peradilan. Mereka menyelewengkan jabatan atau wewenang dan melakukan tindak pemerasan, atau menerima suap dari pihak yang tersandung kasus. Dan tak jarang, suatu perkara mempunyai harga tertentu untuk diselesaikan. Karena perkara bisa didagangkan sebagai ”komoditas hukum”, bermekaran mereka yang disebut makelar kasus (markus). Dengan ini, rantai jaringan mafia peradilan pun bertambah. Kegerahan orang atas keberadaan mafia ini menyajikan guyonan KUHP (kasih uang habis perkara/give me money and that is that).

Realitas kondisi Republik dengan timbunan korupsi yang tersebar di berbagai tingkat tata negara ataupun meluas ke berbagai daerah, boleh jadi cermin dari wajah dan tubuh kita yang buruk berkaca di dalamnya.

Dari refleksi ini pula diharapkan muncul inspirasi dan aspirasi yang menghidupkan moralitas dan komitmen antikorupsi yang tak merasa khawatir dengan gugatan atau tuntutan yang mengatasnamakan ”nama baik”.

Hendardi Ketua Badan Pengurus SETARA Institute
Tulisan ini disalin dari Kompas, 23 Agustus 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan