Tidak Jera untuk Korupsi
Seakan-akan tidak ada jeranya, kepala daerah kembali ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada awal tahun ini karena terlibat korupsi. Kepala daerah yang baru saja terjaring operasi tangkap tangan KPK pada Rabu pekan lalu adalah Bupati Mesuji, Khamami.
Khamami ditangkap bersama tujuh orang lainnya karena diduga melakukan transaksi suap terkait dengan proyek-proyek infrastruktur di Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Kabupaten Mesuji, Lampung. Dari tangan pelaku, KPK menyita uang suap sebesar Rp 1 miliar.
Dalam catatan KPK, Khamami adalah kepala daerah ke-106 yang ditetapkan sebagai tersangka dan kepala daerah ke-29 yang tertangkap tangan menerima suap. Penangkapan kepala daerah yang tersangkut korupsi ini pada awalnya mengejutkan, tapi karena sering terjadi, masyarakat pun mulai terbiasa dengan peristiwa ini.
Banyaknya kepala daerah yang tersangkut korupsi setidaknya menunjukkan terjadi krisis pemimpin yang berintegritas di daerah. Ironisnya, banyak di antara kepala daerah yang ditangkap KPK tersebut pernah menandatangani pakta integritas atau menyatakan tidak akan melakukan korupsi ketika menjabat.
Berdasarkan pantauan Indonesia Corruption Watch (ICW), bentuk korupsi kepala daerah adalah pemerasan, penerimaan suap atau gratifikasi, dan penyalahgunaan jabatan yang menyebabkan kerugian keuangan negara atau daerah. Area rawan korupsi ada di sektor pengelolaan anggaran daerah, proses perekrutan pejabat atau pegawai daerah, pemberian izin-izin sektor ekonomi dan sumber daya alam, pengadaan barang dan jasa, serta pembuatan kebijakan.
Faktor pendorong korupsi kepala daerah dipengaruhi sejumlah hal. Di antaranya besarnya kewenangan kepala daerah yang kemudian dimanfaatkan untuk memperkaya diri secara tidak sah. Kewenangan yang dimaksudkan adalah membuat regulasi, mengangkat pegawai, menyusun anggaran, dan memberi perizinan. Kewenangan yang besar tersebut sering kali tidak diimbangi dengan efektivitas fungsi pengawasan, baik dari internal pemerintah daerah maupun parlemen daerah.
Inspektorat pada pemerintah daerah acap kali tidak berfungsi efektif karena umumnya ditempati oleh orang-orang yang pro sang kepala daerah. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang diharapkan dapat menjadi pengawas kinerja pemerintah daerah, justru terlibat kongkalikong dengan kepala daerah melalui pemberian suap atau mendapat jatah pengerjaan proyek tertentu yang didanai anggaran daerah.
Faktor lain pendorong korupsi kepala daerah adalah beban biaya politik yang tinggi, baik sebelum maupun setelah menjabat kepala daerah. Untuk menjadi calon kepala daerah dan terpilih sebagai pemenang dalam pemilihan kepala daerah, seorang kandidat bisa mengeluarkan dana yang sangat besar, bahkan hingga ratusan miliar rupiah. Setelah menjabat, kepala daerah pun masih harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk menyuap sejumlah elite partai politik atau anggota parlemen daerah agar pemerintah daerah bisa berjalan tanpa gangguan.
Selain itu, hukuman yang ringan untuk koruptor mempengaruhi kepala daerah tetap nekat melakukan korupsi. Dalam pantauan ICW, rata-rata vonis untuk koruptor kepala daerah yang ditangani KPK masih tergolong ringan, yaitu 6 tahun 4 bulan penjara. Dengan adanya remisi dan pembebasan bersyarat, biasanya pelaku hanya menjalani setengah dari waktu yang ditetapkan hakim.
Penangkapan kepala daerah harus menjadi momentum perbaikan bagi tata kelola pemerintah daerah yang baik dan bebas dari korupsi. Langkah ini sekaligus mencegah kepala daerah lainnya kembali ditangkap KPK.
Demi mencegah penyalahgunaan wewenang oleh kepala daerah dan mempersempit peluang korupsi, fungsi pengawasan internal dari pemerintah dan parlemen daerah harus diperkuat. Kementerian Dalam Negeri perlu mewajibkan setiap daerah membangun zona antikorupsi dan sistem pencegahan korupsi dalam proses anggaran, perizinan, serta pengadaan barang dan jasa. Jika diperlukan, KPK sebaiknya dilibatkan dalam program pencegahan korupsi yang dilakukan oleh tiap pemerintah daerah.
Partai politik juga harus ambil bagian dalam pencegahan korupsi dengan mengawasi kadernya yang menjadi kepala daerah dan melakukan seleksi yang ketat bagi kadernya yang akan maju menjadi kepala daerah. Cara lain adalah mengutamakan aspek integritas dan kualitas kandidat dan menghapus mahar politik.
Terakhir, hakim sebaiknya menjatuhkan hukuman maksimal bagi kepala daerah yang masih nekat melakukan korupsi. Misalnya dengan menghukum pelaku minimal 10 tahun penjara atau bahkan seumur hidup dan menyita hartanya yang berasal dari hasil korupsi. Kepala daerah yang korup juga diberi hukuman pidana tambahan berupa pencabutan hak mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat. Agar pelaku tidak lagi punya kesempatan untuk menjabat sebagai kepala daerah, perlu ada terobosan pencabutan hak politik koruptor selama seumur hidup.
Emerson Yuntho, Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch
Versi cetak artikel ini terbit di harian Tempo edisi 30 Januari 2019, dengan judul "Tidak Jera Untuk Korupsi".