Tatkala Hakim Bisa Dibeli

THEMIS, Dewi Keadilan dalam mitologi Romawi dikenal sebagai simbol universal lembaga peradilan di dunia. Digambarkan membawa timbangan dengan mata tertutup dan sebilah pedang bermata dua nan tajam, hakim dan pula lembaga kehakiman dituntut bertindak seperti sang Dewi: memutus perkara yang dihadapkan padanya dengan sebenar-benar dan seadil-adilnya tanpa memandang pihak-pihak yang berperkara.

Hanya dengan ketidakberpihakanlah putusan hakim akan dihormati dan diterima, kendati putusannya bisa jadi tidak selalu memenuhi harapan para pihak yang bersengketa. Pengadilan imparsial akan menjadi lembaga pengakhir sengketa yang berwibawa, yang putusannya ditaati, bahkan menjadi hukum baru (yurisprudensi) yang akan diikuti oleh hakim lain atau masyarakat manakala menghadapi permasalahan yang sama.

Sedemikian besar power yang ada padanya membuat hakim dan kekuasaan kehakiman rawan kooptasi dan goda korupsi. Pada masa lalu, dikenal Departemen Kehakiman menempatkan hakim secara administratif di bawah presiden, yang membuat hakim tak bebas memutus kasus berkaitan dengan kekuasaan pemerintah. Aadakalanya para pihak yang berperkara tak segan melakukan apa saja asalkan vonisnya sesuai dengan yang diinginkan.

Tidak saja dengan suap, upayanya bahkan dengan men-setting konstelasi hakim yang akan memutus perkara. John Grisham dalam bukunya Pelican Brief (1992) menggambarkan dengan apik pembunuhan seorang hakim Supreme Court Amerika karena pandangan hukum sang hakim diprediksi akan merugikan pihak tertentu dalam sebuah perkara uji konstitusionalitas sebuah undang-undang.

Setelah sang hakim terbunuh, pihak-pihak yang berkepentingan akan berusaha menggolkan hakim yang berpihak kepada mereka sebagai hakim pengganti.

Begitu kencangnya angin korupsi dan intimidasi yang mengadang seorang hakim sehingga integritas moral, profesionalitas, dan dedikasi tinggi untuk  menegakkan hukum adalah syarat mutlak yang harus dimiliki hakim, selain syarat kecakapan dalam bidang hukum.

Lebih Besar
Seorang hakim yang tak tahan godaan atau tekanan, tak akan mampu memutus dengan benar dan adil karena ia akan berpihak, baik secara sukarela maupun terpaksa. Ketika hakim dapat dibeli, ia menjadi tak lebih dari sekadar tukang yang bisa memutus apa saja sesuai pesanan asal ada kesepakatan harga.

Menyedihkannya, fenomena  ini tengah melanda dunia peradilan kita, setidaknya seperti tergambar dari drama penangkapan Syarifuddin Umar, Hakim Pengawas Kepailitan pada PN Jakarta Pusat oleh KPK, awal Juni ini.
Tertangkap tangan oleh KPK diduga tatkala sedang menerima uang suap dari pihak yang berperkara, Syarifuddin bahkan disinyalir oleh Indonesian Corruption Watch (ICW) memiliki rekam jejak buruk sebagai hakim yang membebaskan tak kurang dari 39 terdakwa kasus korupsi. Sesungguhnyalah kasus suap terhadap Syarifuddin ini hanya menguatkan sinyal yang selama ini telah terdeteksi akan parahnya penyimpangan di aparat penegak hukum.

Setelah sebelumnya lembaga kejaksaan diguncang suap yang melibatkan jaksa Urip Tri Gunawan (belakangan jaksa Cyrus Sinaga kaitannya dengan kasus mafia pajak Gayus Tambunan), lembaga kepolisian dengan rekening gendut perwira tinggi yang hingga kini tak ada kejelasannya, kini pengadilan sebagai benteng terakhir pencari keadilan ternyata mengalami kebangkrutan kredibilitas akut.

Tulisan ini pula mengamini bahwa terungkapnya Syarifuddin hanyalah fenomena gunung es mafia hukum di tubuh lembaga peradilan, karena kasus yang sebenarnya terjadi lebih banyak dan besar dari itu. Bertolak dari kasus ini, sanksi administratif ataupun penal yang tegas dan maksimal sudah sepantasnya mulai dijatuhkan pada aparat penegak hukum yang korup.
Revisi UU Komisi Yudisial dan UU Mahkamah Agung pula menemukan relevansinya untuk segera diagendakan dalam rangka menyempurnakan sinergi pengawasan internal oleh MA dan pengawasan eksternal oleh KY.

Jika momentum terungkapnya kasus Syarifuddin tidak dijadikan titik tolak membersihkan lembaga kehakiman dari hakim yang nakal, kredo ”kasih uang habis perkara” (KUHP) akan makin diyakini kebenarannya, meneguhkan keberadaan pengadilan sebagai tempat jual-beli perkara, dan bukannya pelabuhan terakhir pencarian keadilan. (10)

Manunggal K Wardaya SH LLM, dosen Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto
Tulisan ini disalin dari Suara Merdeka, 7 Juni 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan