"Taring" KPK dan Whistle Blower

SUDAH agak lama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tak lagi menangkap basah pelaku korupsi. Sebagai rakyat yang berharap banyak pada kinerja dan gebrakan KPK, saya termasuk yang menunggu "aksi mengesankan" tersebut.

Di antara kita mungkin masih ingat, bagaimana "aksi mengesankan" KPK ketika berhasil menangkap basah Mulyana W. Kusumah, anggota KPU yang saat itu menyuap auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada April 2005. Selanjutnya, kasus Mulyana menjadi awal terkuaknya korupsi di KPU.

"Aksi mengesankan" KPK juga terjadi ketika mereka berhasil menangkap basah jaksa Urip Tri Gunawan. Saat ditangkap pada Maret 2008, Urip baru saja menerima uang USD 660 ribu dari Arthalyta Suryani alias Ayin. Ayin adalah orang kepercayaan taipan Syamsul Nursalim yang sedang terjerat kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Selanjutnya, anggota DPR pun tertangkap basah. Dia adalah Al Amin Nur Nasution dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan. Mantan suami penyanyi dangdut Kristina itu diringkus di sebuah hotel di Jakarta Selatan bersama seorang pejabat yang menyuapnya (Sekda Bintan Azirwan). Al Amin dituduh telah menerima suap terkait dengan alih fungsi hutan lindung untuk pembangunan hutan lindung. Ini adalah kasus pertama KPK yang mengungkap suap di parlemen.

Sejak saat itu nama KPK semakin harum dan taringnya semakin tajam dirasakan. Tapi kini, kita merasakan bau yang harum itu lama-lama semakin berkurang. Taring yang tajam itu kian lama kian terasa tumpul.

Bisa jadi, itu merupakan dampak dari pukulan yang seakan bertubi-tubi diarahkan ke KPK. Mulai tertangkapnya Antasari Azhar (saat itu ketua KPK), hingga kontroversi cicak versus buaya yang berbuntut pada penahanan dua pimpinan KPK: Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah.

Ketika taring KPK berkurang ketajamannya, dan ketika KPK agak lama tak lagi beraksi menangkap basah para pelaku korupsi, muncullah "nyanyian" Susno Duadji. Mantan Kabareskrim itu mengungkap adanya mafia pajak yang melibatkan beberapa jenderal dan beberapa perwira pertama di Mabes Polri.

Dari nyanyian "Susno" pula terungkap adanya permainan makelar kasus dalam penanganan tindak pidana yang terkait dengan PT Salmah Arowana Lestari (SAL), sebuah perusahaan penangkaran ikan arwana di Pekanbaru, Riau. Untuk kasus yang juga terus bergulir ini, Susno menengarai keterlibatan seorang mantan petinggi di Mabes Polri.

***

Bagaimanapun, Susno adalah sang peniup peluit (whistle blower). Jika dia tak kencang "meniup", mungkin dua kasus yang tergolong kakap itu tak akan pernah terungkap ke permukaan.

"Tiupan peluit" Susno juga semakin menegaskan kepada kita bahwa reformasi di bidang penegakan hukum di negara ini masih jauh panggang dari api.

Sayang, Susno harus membayar mahal tindakannya. Sudah seminggu ini dia ditahan Mabes Polri karena diduga ikut terlibat dalam kasus penanganan tindak pidana terkait PT SAL, kasus yang dia ungkap sendiri.

Di Indonesia, nasib sang whistle blower kebanyakan tak pernah menggembirakan karena malah menjadi korban dari "senjata makan tuan".

Selain Susno, lihat saja yang dialami Agus Condro. Anggota DPR periode 1999-2004 ini suatu ketika "meniup peluit" bahwa dia telah menerima cek perjalanan senilai total Rp 500 juta dari Miranda S. Goeltom, yang saat itu berhasil terpilih menjadi deputi gubernur senior Bank Indonesia (Juni 2004). Agus bahkan menyebut nama-nama elite di partainya (PDIP) yang juga menerima uang "pelicin" seperti dirinya.

Mereka, antara lain, Tjahyo Kumolo (saat ini Sekjen DPP PDIP), Emir Moeis, dan Panda Nababan. Dalam perkembangannya, yang "babak belur" dalam kasus itu adalah Agus Condro. Sementara, nama-nama yang dia sebut sejauh ini aman-aman saja. Kasus itu pun sampai sekarang juga belum kunjung tuntas.

Kisah "peniup peluit" yang juga bernasib malang dialami Endin Wahyudin. Suatu ketika dia melaporkan dugaan tindak pidana beberapa hakim. Tapi, dia malah diserang balik oleh orang-orang yang dia laporkan. Endin diadukan ke polisi karena telah melakukan tindak pidana pencemaran nama baik. Dia kemudian dihukum oleh pengadilan, sedangkan hakim yang dia laporkan bebas dari hukuman.

***

Di Amerika Serikat, ada Sarbanes-Oxley Act (SOA) 2002. SOA ini lahir setelah kasus skandal akuntansi keuangan yang menggegerkan bursa saham akibat manipulasi yang dilakukan dua perusahaan raksasa, WorldCom dan Enron. SOA 2002 inilah yang menjadi payung hukum yang melindungi para whistle blower. Di salah satu pasalnya disebutkan bahwa perusahaan tidak akan menurunkan pangkat, melakukan skorsing, mengintimidasi, atau melakukan diskriminasi terhadap karyawan yang melaporkan penyimpangan yang terjadi.

Di Korea Selatan, para whistle blower bahkan diberi hadiah uang USD 2 juta. Selain itu, para whistle blower dijamin tak akan diberhentikan dari pekerjaannya dan akan memperoleh perlindungan khusus bila ada ancaman.

Di Indonesia, jaminan hukum dan keamanan bagi para whistle blower sebenarnya sudah diatur dalam UU No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Bahkan, merujuk pada UU tersebut, sudah ada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Tapi, dalam pelaksanaannya, keberadaan lembaga itu terkesan masih diterima setengah hati oleh aparat penegak hukum.
Kurniawan Muhammad, wartawan Jawa Pos
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 28 Mei 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan