Taring Baru Komisi Pemberantasan Korupsi

Kondisi bangsa ini, yang sulit keluar dari persoalan korupsi sejak reformasi bergulir, membenarkan pendapat J.E. Sahetapy bahwa korupsi sudah menjadi hallmark reformasi—sebab, publikasi-publikasi tentang korupsi pun bermunculan dengan berbagai argumentasi, terutama sosio-politis (Kompas, 23 November 2010). Ketika tulisan ini dibuat, Komisi III DPR baru saja memilih Busyro Muqoddas sebagai salah satu unsur pimpinan KPK. Kita berharap Komisi Pemberantasan Korupsi, walaupun dibentuk dengan sistem hukum yang kurang tepat, melalui momen ini harus terus berperang untuk memberantas “penyakit kronis” (korupsi) yang satu ini.

Terpilihnya Busyro Muqoddas merupakan angin segar bagi KPK dan elemen antikorupsi lainnya—tentunya bukan karena beliau berhasil mengalahkan Bambang Widjojanto, melainkan karena KPK memiliki “taring” baru untuk melangkah lebih baik ke depan. Dengan komposisi yang komplet, KPK diharapkan akan terus “berburu” koruptor untuk dikirim ke penjara.

Tentang polemik masa jabatan Busyro Muqoddas yang hanya setahun, dan alasan yuridis yang kuat tentang perlunya KPK mengambil alih kasus Gayus, tulisan ini tidak bersinggungan dengan hal tersebut. Bagi penulis, dengan taring baru ini KPK lebih perlu memfokuskan diri pada persoalan korupsi dan mafia hukum yang dilakukan Gayus namun belum ditangani oleh pihak kepolisian. Beberapa catatan penulis yang dapat dikemukakan antara lain:

Pertama, KPK perlu menangani kasus kepemilikan rekening Gayus sebesar Rp 28 miliar, yang diduga berasal dari Grup Bakrie. Aroma kongkalikong tercium ketika beberapa petinggi kepolisian, seperti Edmon Ilyas, Pambudi Pamungkas, Eko Budi Sampurno, dan Raja Erizman, masih kebal hukum. Padahal, dalam kesaksiannya, Gayus pernah menyatakan pernah mengeluarkan uang sebesar US$ 500 ribu untuk perwira tinggi kepolisian melalui Haposan--agar blokir rekening uang miliknya dibuka. Bandingkan dengan Kompol Arafat Enanie dan AKP Sri Sumartini, yang sudah divonis bersalah.

Kedua, safe deposit milik Gayus Tambunan sebesar Rp 75 miliar yang disita polisi—dan perkembangan kasus ini tidak jelas sampai saat ini. Patut diduga uang sebesar ini telah digunakan untuk kepentingan-kepentingan koruptif lainnya, baik oleh Gayus maupun aparat kepolisian.

Ketiga, KPK harus menaikkan status tersangka bagi jaksa Cirus Sinaga dan Poltak Manulang. Sebab, perbuatan kedua jaksa itu tidak hanya mencoreng aparat penegak hukum kita, lebih dari itu mereka merupakan “pemain” inti dalam kasus mafia pajak yang merugikan negara. Jika kedua jaksa ini dijadikan tersangka dan dihukum berat, contoh ini dapat memberi efek jera bagi aparat hukum kita dan merupakan pijakan lain bagi KPK untuk menangkap mafia hukum lain, terutama yang berasal dari (petinggi) Kejaksaan dan (petinggi) Kepolisian.

Keempat, kasus suap terakhir yang dilakukan Gayus agar dapat pelesir ke Bali. Walaupun Polri menolak kasus ini diambil alih oleh KPK, komidi antikorupsi ini dan mungkin Satgas Mafia Hukum bentukan Presiden dapat terus berkoordinasi dan melakukan supervisi terhadap Polri sebagai instansi yang sedang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap kasus tersebut. Namun dalam perjalanannya, bila kasus ini masih berlarut-larut, KPK dapat mengambil alih (secara paksa) kasus tersebut sesuai dengan Pasal 8 ayat (2) UU Nomor 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Public Distrust
Dengan hadirnya Busyro menggantikan Antasari, diharapkan lini depan KPK akan semakin tajam. Tugas pertama yang cukup berat adalah mengembalikan kepercayaan publik. Sebab, KPK masih dianggap sebagai komisi yang paling ampuh untuk membongkar kasus-kasus korupsi sepeninggal Antasari. Kemudian, untuk mengantisipasi agar tidak terjadi kriminalisasi terhadap KPK, perbaikan regulasi--khususnya tentang mempermanenkan KPK dan solidnya tiap lini di lingkup internal KPK--akan sangat bermanfaat untuk menyelesaikan kasus-kasus besar seperti skandal Century dan lainnya. Khusus untuk mafia pajak Gayus Tambunan, hukuman berat perlu dijatuhkan terhadapnya—sebab, tindakannya tidak hanya merugikan keuangan negara tetapi juga meresahkan masyarakat dan aparat penegak hukum. Korupsi di Indonesia belum diperangi dengan serius dan berani. Bahkan korupsi telah berwujud dalam bentuk persekongkolan jahat kelembagaan. Selama lembaga Kejaksaan dan Kepolisian serta Kehakiman belum menjadi garda terdepan untuk memerangi korupsi, KPK dengan taringnya yang baru menjadi satu-satunya harapan.
 
Bill Nope, Mahasiswa MIH UGM; anggota diskusi pada Pusat Kajian Anti-Korupsi UGM
Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 30 November 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan