"Tak Gendong ke Mana-mana"

Saya iba kepada jajaran kepolisian dan kejaksaan serta keluarga mereka yang ikut merasa setelah terbongkarnya praktik mafia hukum di Mahkamah Konstitusi. Seperti kata pepatah, ”akibat nila setitik, rusak susu sebelanga”.

Jika diriset secara benar, jumlah yang menyaksikan siaran langsung dari MK mungkin lebih banyak dibandingkan dengan yang menyaksikan final Piala Dunia sepak bola. Belum lagi yang mengikutinya lewat radio dan situs berita yang sempat crashed karena padatnya pengunjung.

Sukar mencari perbandingan peristiwa serupa yang menampar wajah kita yang pernah terjadi dalam sejarah siaran langsung di sini.

Siaran langsung dari MK menimbulkan akibat yang multidimensional. Sudah pasti reaksi awal rakyat langsung terperangah karena drama terbongkarnya praktik mafia hukum yang berlangsung sekitar enam jam itu.

Anda pasti pernah—mungkin sering—mendengar cerita tentang praktik mafia hukum atau bahkan mengalaminya langsung. Namun, ketika persekongkolan itu digelontorkan di MK, fiksi menjadi fakta.

Masyarakat tak begitu peduli detail yang menyangkut orang, tempat, maupun isi pembicaraan. Hal terpenting, terbongkarnya praktik mafia hukum telah merasuki political psyche kita.

Setelah terperangah, hati nurani langsung terkoyak karena hukum dipermainkan aparat yang justru wajib menegakkannya. Semua gemas saat kata yang mengerikan, ”dipateni”, terucap dari mulut orang yang di atas kertas sanggup melakukan perbuatan keji itu.

Setelah hati nurani terkoyak, timbul rasa marah. Seperti sering saya kemukakan di rubrik ini, ”Jangan tunggu sampai rakyat marah.”

Bagaimana menghindarinya? Maka wajib hukumnya bagi pemerintah menemukan cara mengobati kemarahan itu dengan segera menuntaskan pengusutan skandal-skandal megakorupsi, termasuk Bank Century.

Tak ada manfaat lagi membela pimpinan aparat hukum, heads will roll (harus ada yang dipecat) sebagai hukuman karena mereka membuat kesalahan. Saya khawatir taktik-taktik penundaan atau pembelokan hanya akan membuat rakyat makin marah.

Apalagi wadah menyalurkan aspirasi melalui DPR sudah lama mampat. Maka wajar unjuk rasa makin hari kian marak di mana-mana, yang dilakukan lewat berbagai cara, mulai dari aksi solidaritas sampai happening arts.

Salah satu buktinya, solidaritas masyarakat mencapai lebih dari 800.000 orang di jaringan sosial Facebook yang mendukung Bibit-Chandra. Jumlah itu setara dengan dua kursi di DPR.

Akibat lain siaran langsung dari MK, pembuktian dari hasil rekaman efektif memperkuat pengawasan terhadap akuntabilitas pemerintah. Di negara-negara demokrasi, setiap percakapan di telepon di kantor-kantor pemerintahan wajib direkam dan pada saat dibutuhkan dapat dijadikan alat bukti untuk mengoreksi penyalahgunaan kekuasaan.

Presiden Amerika Serikat Richard Nixon mengundurkan diri sebelum menyelesaikan masa jabatan kedua 1972-1976 sebelum dimakzulkan Kongres karena penyalahgunaan kekuasaan. Watergate terungkap berkat ancaman pembuktian lewat rekaman konversasi telepon Nixon dengan aparat hukum saat mereka coba menghalangi proses penyidikan skandal itu.

Penyadapan oleh KPK mesti berlanjut hanya karena satu sebab: kini saatnya bagi kita bersama-sama memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya. Saya khawatir, jika kewenangan KPK disunat, kita kehilangan momentum lagi untuk once and for all membasmi penyakit korupsi.

Jika gagal memanfaatkan momentum ini, kita, dalam istilah bahasa Inggris-nya, back to square one. Selama 11 tahun sejak Reformasi kita lebih pandir daripada keledai karena terjebak terus ke jurang pemberantasan korupsi yang tebang pilih, yang membuat koruptor tak pernah jera mengulang tabiat buruknya.

Pujian patut dilayangkan kepada DPR periode 2004-2009 yang tak meloloskan RUU Rahasia Negara yang antidemokrasi karena berniat melindungi korupsi, menutup kebebasan memperoleh informasi, dan berpotensi menciptakan rezim otoriter. Jika RUU itu lolos, kita gagal menyaksikan siaran langsung dari MK.

Akibat lain siaran langsung dari MK, sebagai warga bangsa besar, wajah buruk kita makin tampak. Ternyata, kita belum mampu mengurus diri sendiri.

Lihat yang terjadi beberapa bulan belakangan ini. KPU gagal bekerja sesuai tugas, daftar pemilih tetap kisruh, hasil Pemilu/Pilpres 2009 dipertikaikan sampai ke MK dan Mahkamah Agung, gaji menteri yang belum lagi bekerja sudah dinaikkan, dan mobil dinasnya pun berharga lebih dari Rp 1 miliar.

Mereka pura-pura hidup gemah ripah loh jinawi. Padahal, imajinasi itu tak simetris dengan kondisi utang lebih dari Rp 1.700 triliun, impor pangan Rp 50 triliun per tahun, ekspor turun, kemiskinan meningkat, dan seterusnya.

TNI belum dipersenjatai semestinya untuk menjaga kedaulatan, terutama di perbatasan dan pulau-pulau terdepan. Nasionalisme masih taraf ”kibarkan bendera dan kobarkan perang”.

Bukan bernostalgia atau romantis, tetapi kita pernah besar alias tak kerdil. Kini seperti daun putri malu yang makin lama makin menutup diri.

Kita mengalami krisis moral, yang ingin diselesaikan dengan ”sirkus hukum” yang mengandalkan prosedur, pembentukan tim, dan aneka ayat serta pasal. Konstitusi diobrak-abrik, jumlah kertas sudah setinggi gunung, semua ahli berceloteh tentang hukum.

Setelah terbongkarnya praktik mafia hukum di Gedung MK, ada saja yang bertanya, ”Mau dibawa ke mana bangsa ini?” Saya asal jawab memelintir hit ”Tak Gendong ke Mana-mana” karya Mbah Surip. ”Mereka mau menggendong kita ke mana-mana, enak dong, mantep dong…”.[Oleh Budiarto Shambazy]

Tulisan ini disalin dari Kompas, 7 November 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan