Syarat Parsel Antikorupsi

PEJABAT di lingkungan Provinsi Jateng tak dilarang menerima parsel alias bingkisan pada masa Lebaran. Sebab, tradisi memberikan parsel sudah ada sejak zaman nenek moyang. Demikan disampaikan Gubernur Bibit Waluyo (SM, 16/08/11). Masih kata Gubernur, sifat parsel hanyalah sebuah pemberian. Jika ada yang memberi maka harus diterima dan tak boleh ditolak. Apa yang dia utarakan benar adanya. Pemberian tak boleh ditolak. Dalam kepercayaan agama pun, sesama umat, kita diwajibkan saling memberi dan tolong-menolong. Islam misalnya mengajarkan, ’’hendaklah kamu tolong-menolong dalam kebaikan dan ketakwaan, dan janganlah tolong-menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan...’’ (QS Al-Maidah: 2).

Dalam konteks saling membantu, pejabat yang memberi atau menerima parsel dibolehkan. Parsel itu menjadi bentuk tolong-menolong yang memang dianjurkan oleh agama dan demi kemaslahatan umat. Di samping sebagai tanda kuatnya hubungan baik antarpejabat, serta antara pejabat dan rakyat. Apalagi jika parsel diberikan pemimpin kepada bawahan atau rakyatnya. Tetapi, pemberian parsel itu tidak serta merta menjadi tradisi yang mesti dilestarikan jika dikaitkan dengan pegawai negeri sipil (PNS) atau pejabat negara. Mengapa? Dalam pandangan saya, ada dua masalahnya.

Pertama; karena dalam diri seorang PNS dan pejabat negara melekat kewenangan atas kekuasaan negara. Agak susah membaca pemberian sesuatu kepada PNS atau pejabat negara tidak didasari atas kewenangan dan kekuasaan yang disandangnya. Contohnya, siapa yang mau melirik seorang kepala dinas perizinan apabila dia —atas kewenangan dan kekuasaannya— tak memberi izin pengusaha untuk membangun swalayan. Boleh jadi, jika bukan karena kewenangan atas kekuasaannya, tidak akan ada parsel yang mampir ke rumahnya.

Kedua; bagi PNS atau pejabat negara diberlakukan ketentuan khusus. Aturan hukum, UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 12B Ayat (1), mengatakan, ’’Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan dengan kewajiban atau tugasnya...’’

Menjaga Keistimewaan

PNS atau pejabat negara yang menerima pemberian, termasuk parsel —yang dalam bahasa aturan hukum pemberantasan korupsi disebut gratifikasi— jika berlawanan dengan kewenangan atau kekuasaannya, berpotensi disangka melakukan tindak pidana suap. Ketentuan demikian diberlakukan karena hanya PNS atau pejabat negara yang memiliki keistimewaan atas kewenangan dan kekuasaan untuk mengubah atau tidak mengubah, melakukan atau tidak melakukan sesuatu sehingga menguntungkan orang lain dengan cara melawan hukum. Orang biasa tak memiliki keistimewaan yang hebat seperti ini.

Bahkan untuk menjaga keistimewaan PNS atau pejabat negara, hukum mengancam PNS atau pejabat negara yang membandel menerima gratifikasi yang mengarah ke suap dengan ancaman hukuman pidana seumur hidup, atau pidana penjara paling sedikit 4 tahun paling banyak 20 tahun, dan denda paling sedikit Rp 200 juta paling banyak Rp 1 miliar (Pasal 12B Ayat (2) UU Nomor 20 Tahun 2001).

Dua pendapat saya tersebut bukan berarti menghalangi PNS atau pejabat negara atas hak untuk memberi atau menerima sesuatu. Tetapi pendapat itu untuk menjaga keistimewaan diri PNS atau pejabat negara. Agar pemberian atau penerimaan parsel tak mengarah ke gratifikasi, dan supaya menjadi parsel yang antikorupsi, minimal harus diberlakukan dua syarat yang ketat.

Pertama; memastikan bahwa parsel tersebut tidak berkaitan dengan jabatan yang melekat pada diri PNS atau pejabat negara yang berlawanan dengan tugasnya.

Kedua; memilah siapa yang pemberi parselnya. Jika parsel tersebut diberikan oleh orang yang bermasalah, pengusaha hitam, cukong, politikus busuk, preman anggaran, mafia kasus, pejabat korup, dan semacam itu, alangkah baiknya jika parsel itu ditolak. Kelompok itu tak akan memberikan dengan cuma-cuma. Tentu ada motif di baliknya. Akhirnya, hanya nurani dirilah yang bisa membuat sebuah parsel menjadi wujud kebaikan antarsesama atau malah menjadi benih korupsi. (10)

Hifdzil Alim, peneliti dari Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM
Tulisan ini disalin dari Suara Merdeka, 20 Agustus 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan