Susno dan Harapan Perubahan

SUSNO Duadji membuat geger Mabes Polri. Kamis lalu (18/3) dia melapor ke Satgas Pemberantasan Mafia Hukum tentang (sejumlah) perwira yang diduga menjadi makelar kasus (markus) pajak senilai Rp 24 miliar. Karena itu, polisi mengancam balik Susno (Koran Tempo, 31 Maret 2010). Dalam khazanah hukum, persoalan tersebut harus diposisikan belum tentu benar dan perlu dibuktikan.

Terkait dengan hukum pidana, tindakan Susno memang memenuhi unsur tindak pidana pencemaran nama baik -pasal 310 ayat (1) KUHP- atau tindak pidana fitnah -pasal 311 KUHP. Hal itu juga menjadi materi pengaduan oleh para perwira tersebut sebagai bentuk reaksi hukum terhadap laporan Susno. Namun, dalam praktik penegakan hukum, khususnya yang menyangkut sangkaan seseorang melakukan tindak pidana korupsi, penegakan hukum untuk pasal-pasal tersebut tidak dapat didahulukan sebelum perkara sangkaan tindak pidana korupsi diproses hukum lebih dahulu.

Mengapa prinsip proses penegakan hukumnya demikian? Sebab, itu bagian dari perlindungan hukum kepada seseorang yang ingin membantu pengurangan tindak pidana korupsi. Pengungkapan tindak pidana korupsi -atau tindak pidana yang lainnya- sangat tergantung pada peran atau bantuan masyarakat. Peran itu akan lebih bernilai dari sisi hukum pembuktian jika yang mengungkap, menyampaikan, atau melapor adalah "orang dalam" seperti Susno.

Hukum perlu memberikan perlindungan -yang sifatnya sementara- bagi orang-orang seperti Susno. Sebab, kalau tidak, orang seperti dia tidak akan mau membantu. Pasalnya, di depan matanya, sudah jelas dia diancam hukuman penjara karena tindak pidana pencemaran nama baik atau fitnah, sedangkan kasus yang dilaporkan belum berproses. Aparat penegak hukum pun harus memperhatikan ayat ke (3) pasal 310 KUHP. Yakni, bukan merupakan pencemaran nama baik dan fitnah kalau tindakan dilakukan demi kepentingan umum atau pembelaan. Tindakan Susno kali ini dapat dikategorikan dilakukan demi kepentingan umum.

Orang-orang seperti Susno sangat diperlukan sebagai upaya membantu proses percepatan dan pemudahan proses penegakan hukum dalam kasus-kasus tindak pidana korupsi. Orang-orang di luar dari lembaga yang ada sangat sulit diharapkan bisa membantu mengungkap kasus seperti itu. Sebab, para pelaku, baik secara vertikal -atasan bawahan- atau horisontal -sesama rekan- telah terikat "kontrak sampai mati" dengan yang lainnya untuk menutupi masalah tersebut serta melindungi satu dan lainnya.

Jika salah seorang di antara orang-orang tersebut berani "buka mulut", tidak tertutup kemungkinan dia akan dimintai pertanggungjawaban hukum. Sebab, dia menjadi bagian dari "rantai" kesalahan yang ada. Dia seakan-akan memasang "jerat untuk lehernya sendiri". Di sinilah, akar persoalan sulitnya melaksanakan reformasi di suatu lembaga.

Meski seseorang memegang bukti yang sangat kuat dan tidak terbantahkan tentang pelanggaran hukum di dalam suatu lembaga, baik sipil maupun militer, mendengar nama lembaga atau institusinya saja, orang luar pun akan ketakutan dan enggan mempermasalahkan. Walaupun sering didengar dari ucapan pimpinan lembaga-lembaga tersebut yang menyatakan memberikan jaminan "Jangan khawatir, jangan takut, dan jangan jangan yang lainnya".

Karena itu, mengapa perlu orang seperti Susno, orang dalam dengan pangkat tinggi, berani menyampaikan kepada lembaga yang berkompeten untuk mengetahui dan menerima laporan atas apa yang diketahui. Memang benar bahwa "Satgas kan bukan penegak hukum" seperti yang disampaikan La Ode, anggota Komisi Kepolisian Nasional (Susno Duadji Dianggap Liar, Koran Tempo, 31 Maret 2010). Tapi, harus dipahami pula bahwa Satgas Anti Mafia Hukum adalah lembaga yang berwenang mengetahui dan menerima laporan tentang kemungkinan adanya mafia hukum.

Perlukah dalam kasus ini melibatkan lembaga internal? Masalah tersebut sudah keluar dari lembaga dan dua lembaga yang kemungkinan akan terlibat untuk menangani kasusnya, yaitu Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta Satgas Anti Mafia Hukum. Sehingga apa peran yang akan melibatkan divisi profesi dan pengamanan khususnya dan kepolisian umumnya?

Karena sudah masuk ranah proses penegakan hukum, meski Divisi Profesi dan Pengamanan dan lembaga Kepolisian adalah lembaga penegak hukum, peran yang dapat diambil adalah membuka pintu selebar-lebarnya atas setiap permintaan bukti dan kepentingan pembuktian atas laporan Susno kepada lembaga Satgas Anti Mafia Hukum. Juga sekaligus membuktikan laporan itu benar atau fitnah. Biarkan persoalan klarifikasi -kalau klarifikasi diartikan adalah membuktikan benar dan tidaknya- dilaksanakan di forum sidang.

Tindak pidana korupsi dan atau mafia hukum bukan tindak pidana atau peristiwa hukum dengan kualifikasi extraordinary. Namun, tindak pidana korupsi atau mafia hukum adalah tindak pidana atau peristiwa hukum yang memerlukan penanganan secara extraordinary atau peristiwa yang extraordinary seperti yang dilakukan oleh Susno.

Selamat kepada Susno Duadji yang telah nekat. Selamat juga kepada Polri yang memiliki momentum terbaik yang dapat diharapkan sebagai modal awal perubahan berarti. Kita berharap ada Susno-Susno lain yang akan muncul setelah Anda. (*)

Rudy Satriyo Mukantardjo, staf pengajar hukum pidana FH UI
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 23 Maret 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan