Sulitnya Memiskinkan Koruptor

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan tengah menyelidiki kemungkinan Gayus H. Tambunan, terdakwa suap pajak, telah melarikan harta kekayaannya ke luar negeri. Dugaan ini mencuat setelah publik kembali dihebohkan oleh kepergian Gayus ke Makau, Singapura, Kuala Lumpur, dan Hong Kong selama ia menjadi tahanan di Rutan Markas Komando Brimob Depok, setelah ia juga kedapatan "berlibur" ke Nusa Dua, Bali, untuk tujuan yang hingga kini belum bisa diketahui.

Upaya melarikan harta kekayaan yang diduga dari tindak kejahatan (korupsi) merupakan sebuah praktek berulang-ulang dan telah menjadi masalah klasik di Indonesia. Dalam kasus korupsi BLBI, sebagai contoh, sudah ratusan miliar hingga triliunan rupiah uang negara telah dibawa oleh pelakunya ke berbagai negara di luar negeri, meskipun yang paling dijadikan target adalah Singapura. Tak mengherankan jika Singapura dikenal sebagai negara yang menyimpan paradoks.

Di satu sisi, Singapura oleh Transparency International selalu dinobatkan sebagai negara bersih di tingkat Asia, tapi di sisi lain menjadi tempat penampungan harta haram dari tindak kejahatan, khususnya yang berasal dari Indonesia. Bahkan ada dugaan jika harta korupsi yang ditanamkan di Singapura telah menjadi sumber investasi yang strategis. Dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi yang tinggi di Singapura tidak bisa dilepaskan dari praktek pencucian uang koruptor Indonesia di negara tersebut.

Kemungkinan besar Gayus juga menyimpan harta yang diperolehnya dari praktek suap-menyuap dengan wajib pajak ke negara lain mengingat, dalam proses penegakan hukum kasus Gayus, Markas Besar Kepolisian RI sangat lamban dalam melakukan upaya asset tracing. Terlebih ada fakta hukum bahwa lolosnya Gayus ke luar negeri tidak bisa dilepaskan dari bantuan orang dalam di kepolisian, yang notabene seharusnya mengawasi dengan ketat tahanan seperti Gayus.

Sikap tidak profesional aparat penegak hukum dalam mengantisipasi kemungkinan tersangka atau terdakwa korupsi melarikan harta kekayaannya telah mengesankan adanya praktek pembiaran yang luar biasa, bukan sekadar kelengahan. Definisi pembiaran berarti secara sadar sengaja memberikan kesempatan bagi pelaku atau pihak yang diduga kuat melakukan kejahatan untuk menyiasati proses hukum yang tengah berjalan atas dia, sehingga dia mendapatkan kesempatan untuk memanipulasi, menghilangkan, melenyapkan, dan membawa lari barang bukti yang penting.

Pelacakan aset
Upaya asset tracing dalam kejahatan finansial seperti korupsi menjadi sesuatu yang sangat vital bagi terpenuhinya tujuan penegakan hukum, yakni asset recovery. Jika penegak hukum hanya bisa menyeret pelaku ke persidangan dan menjebloskannya ke penjara tanpa bisa mendapatkan kembali harta dari tindak kejahatan korupsi, sesungguhnya aparat penegak hukum tidak bisa dikatakan berhasil dalam melakukan pemberantasan korupsi. Masalahnya, dalam konteks penegakan hukum kasus korupsi di Indonesia, fokus pada pemenjaraan lebih diprioritaskan daripada usaha untuk mengamankan dengan cepat harta korupsi. Tak aneh jika akuntabilitas dan transparansi aparat penegak hukum dalam pengelolaan serta pengembalian harta kejahatan korupsi bisa dikatakan sangat rendah.

Ada satu risiko besar jika isu mengenai pengembalian dan penyelamatan harta negara yang dikorupsi tidak menjadi perhatian serius, yakni terulangnya kembali praktek kejahatan serupa serta berkembangnya praktek pencucian uang. Dengan harta yang masih dikuasainya, pelaku korupsi yang tengah dipenjara dapat menyuap aparat penegak hukum, membayar joki tahanan sebagaimana yang kita lihat di Jawa Timur, memelihara jaringan kejahatan yang ia miliki, serta memperkuat mesin kejahatan itu sendiri.

Demikian halnya, uang yang disembunyikan dapat diolah sedemikian rupa dengan teknik rekayasa keuangan canggih yang kemudian melahirkan "dana bersih" untuk kepentingan yang legal maupun yang ilegal. Pendek kata, lemahnya negara (baca: penegak hukum) dalam melakukan upaya asset tracing dan asset recovery akan membuka peluang bagi reproduksi kejahatan yang terus membangun jejaringnya.

Kelemahan paradigma
Di luar integritas penegak hukum yang buruk, faktor penghambat bagi gagalnya upaya asset recovery hasil kejahatan korupsi adalah lemahnya paradigma undang-undang pemberantasan korupsi yang kita anut. Dalam perspektif Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, yang dimaksud dengan kerugian negara adalah jumlah kerugian yang dialami negara dari tindak pidana korupsi sesuai dengan nilai an sich korupsi yang dilakukannya. Sederhananya, jika koruptor telah mencuri uang senilai Rp 5 miliar dari kas negara, nilai kerugian negaranya adalah Rp 5 miliar.

Paradigma di atas mengandung kelemahan yang mendasar karena pada prinsipnya kerugian dari sebuah kejahatan tidak hanya sebatas sesuatu yang material sifatnya. Belum lagi jika kita memperhitungkan waktu dan nilai aktual dari sebuah praktek korupsi yang telah terungkap. Maksudnya, jika korupsi terjadi pada 2007 sebesar Rp 5 miliar sementara penegak hukum baru mengungkapnya pada 2010, secara riil nilai kerugian itu sudah berubah karena nilai Rp 5 miliar pada 2007 akan berbeda dengan nilai Rp 5 miliar pada 2010.

Masalah lain yang terkandung dalam UU Tipikor: pengembalian nilai kerugian negara hanya bisa dilakukan untuk kasus-kasus korupsi yang dijerat dengan pasal 2 dan 3. Sementara itu, untuk praktek korupsi lainnya, seperti suap-menyuap, yang bisa disita buat negara hanyalah nilai suap yang bisa diungkap serta uang denda yang jumlahnya sudah diatur secara pasti. Jika dalam sebuah kasus suap-menyuap yang dijadikan target adalah penguasaan secara melanggar hukum hutan milik negara beserta isinya, sesungguhnya nilai kerugian negara tetap ada.

Demikian pula jika kita contohkan pada kasus suap-menyuap untuk mengurangi nilai pajak sebagaimana dalam kasus Gayus, nilai kerugian negara dari kejahatan suap-menyuap itu bisa dibilang sangat besar. Kalkulasinya, suap senilai Rp 20 miliar tentunya untuk menyelamatkan hal lain yang jauh lebih besar, karena nilai suap sangat tidak mungkin setara dengan nilai keuntungan yang diperoleh dari sisi pemberi suap.

Pada intinya, usaha menyelamatkan dan mengembalikan harta tindak kejahatan korupsi bukan sekadar dimaksudkan untuk mendapatkan kembali kekayaan negara yang telah diambil oleh pelaku, tapi juga ditujukan buat melumpuhkan organisasi kejahatan korupsi yang telah terbangun. Hal ini karena organisasi kejahatan korupsi bisa terus terpelihara jika hanya ada sumber finansial besar yang menyokong kehidupannya.

Karena itu, sudah waktunya pemerintah Indonesia serius mengadopsi dan menjalankan prinsip konvensi UNCAC 2003, yang telah diratifikasi pada 2006. Dengan bantuan komunitas internasional, upaya untuk memperkuat legal framework dalam pemberantasan korupsi, khususnya pada aspek penyelamatan kekayaan negara, lebih dapat dioptimalkan. Kita tentu tidak ingin melihat lagi tersangka atau terdakwa korupsi masih bisa mengikuti pemilihan kepala daerah dan menang karena sumber keuangannya tidak pernah disentuh oleh otoritas penegak hukum.
 
Adnan Topan Husodo, Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch
Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 17 Januari 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan