Strategi Mengatasi Involusi Reformasi Birokrasi
Laporan Daya Saing Global 2017-2018 yang baru-baru ini diumumkan Forum Ekonomi Dunia membersitkan harapan baru pada pemerintah agar mengakselerasi pembangunan aparatur sipil negara yang profesional, berintegritas, dan berkinerja tinggi.
Menurut Laporan Daya Saing Global 2017-2018 yang diluncurkan pada 23 September tahun ini, pada kurun 2016- 2017 Indonesia mencapai kemajuan yang cukup membanggakan dan menimbulkan harapan baru. Antara 2016 dan 2017, Indonesia naik lima tingkat dalam daya saing nasional, naik 19 tingkat dalam kemudahan berusaha, naik 19 tingkat dalam Indeks Persepsi Korupsi, dan naik 23 tingkat dalam efektivitas pemerintah. Indeks Efektivitas Pemerintah (IEP) adalah salah satu ukuran dari kemampuan birokrasi publik dalam menjalankan tugas dan fungsinya.
Naiknya Indeks Efektivitas Pemerintah sebesar 23 tingkat—dari peringkat ke-121 menjadi ke-98—terjadi karena skor IEP Indonesia naik dari 46 pada 2016 menjadi 53,37 pada 2017. Tentu saja ini suatu kenaikan cukup tinggi, yaitu 7,37, karena tingkat kepercayaan publik yang besar kepada pemerintah dan karena membaiknya pelayanan publik. Kalau momentum pertumbuhan tinggi tersebut dapat dipertahankan selama empat tahun berturut-turut, pada 2022 aparatur sipil negara (ASN) Indonesia akan seperti aparatur negara-negara maju dengan skor IEP 80 dan peringkat ke-50 atau lebih baik yang telah dicapai negara-negara BRIC (Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan) dan negara-negara maju ASEAN.
Untuk menjaga dan mempertahankan pertumbuhan tinggi efektivitas pemerintah, Indonesia harus memfokuskan program reformasi birokrasi pada 4-5 tahun mendatang untuk memperkuat dan membangun model kelembagaan aparatur negara dan reformasi birokrasi kelas dunia. Beberapa pilar ASN pusat dan daerah yang lemah adalah (a) mutu SDM ASN; (b) model kelembagaan pengelolaan ASN meritokratik yang mampu melawan intervensi politik; dan (c) meningkatkan relevansi rumusan dan implementasi kebijakan pemerintah di tingkat nasional dan daerah.
Involusi dan reformasi
Involusi pertanian adalah tesis antropolog Amerika Serikat, Clifford Geertz, untuk menjelaskan kemunduran sektor pertanian Indonesia yang pernah jaya sebelum masa penjajahan Belanda. Sejak reformasi diluncurkan, gejala involusi mulai melemahkan reformasi birokrasi walaupun, dalam Nawacita ataupun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), program reformasi birokrasi merupakan salah satu bidang prioritas nasional yang bertujuan mewujudkan ASN yang berhasil dicapai negara-negara di kawasan ASEAN dan negara-negara BRICS. Walau sudah cukup banyak kemajuan yang dicapai hingga saat ini, aparatur sipil negara dengan kekuatan 4,35 juta pegawai nyatanya belum mampu mencapai sasaran-sasaran bidang aparatur yang ditetapkan dalam RPJMN.
Dalam Laporan Daya Saing Global 2017-2018 yang dikeluarkan Forum Ekonomi Dunia (2017), Indonesia memang mencapai kenaikan peringkat cukup baik. Namun, itu belum cukup untuk menjadikan ASN Indonesia sekelas dengan negara-negara maju ASEAN dan BRIC. Selama tiga tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wapres M Jusuf Kalla, pelaksanaan beberapa quick-wins dalam subbidang aparatur negara berjalan sangat lamban. Belum tampak adanya perubahan signifikan mentalitas pegawai ASN, yang masih bersemangat ”business as usual”, ataupun dalam sistem perbendaharaan keuangan yang tetap mengutamakan ”realisasi anggaran”. Hal inilah yang menyebabkan inefisiensi dalam penggunaan APBN/APBD.
Kebijakan zero growth selama tiga tahun berturut-turut dan moratorium pengangkatan pegawai selama tiga tahun yang diterapkan pemerintah telah menimbulkan dua masalah baru dalam bidang ASN. Pertama, terjadinya penuaan pegawai ASN yang akan mengganggu kelancaran suksesi pada 440.000 jabatan pimpinan ASN. Kedua, ancaman tsunami pensiunan karena lebih dari 40 persen pegawai ASN berusia di atas 51 tahun. Kalau dalam lima tahun mendatang jumlah pensiunan pegawai mencapai 1,5 juta orang, beban anggaran akan sangat besar.
Kebijakan pemerintah mengurangi pengangkatan pegawai negeri sipil (PNS) selama enam tahun berturut-turut tanpa disadari menyebabkan memburuknya rasio pegawai/penduduk Indonesia ke salah satu level terendah di Asia. Pada 2017, rasio pegawai per penduduk Indonesia hanya 1 per 61, jauh di bawah rasio normal 1 per 50 penduduk.
Beberapa waktu lalu, Mendikbud Muhadjir Effendy menyatakan, saat ini Indonesia kekurangan 465.000 guru dan tenaga pendidikan. Untuk mengatasi sementara kekurangan guru dan tenaga pendidikan, pemda mengangkat guru non-PNS dengan gaji yang jauh di bawah gaji pegawai ASN, yang menyebabkan mutu pendidikan lulusan SD dan SLTP sangat rendah. Ditengarai kondisi SDM kependidikan yang seperti ini sangat berpengaruh terhadap mutu lulusan SD-SLTP Indonesia, sebagaimana ditunjukkan nilai tes Programme in International Student Assessment (PISA) yang dicapai murid SD Indonesia masih di bawah skor rerata murid negara-negara Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD).
Strategi penguatan kelembagaan manajemen ASN
Indonesia berhasil mencapai lonjakan tinggi dalam IEP karena pemerintah yang dipimpin Joko Widodo dan Jusuf Kalla telah menunjukkan prestasi nyata dalam layanan publik dan kepercayaan publik yang tinggi kepada pemerintah nasional, seperti ditunjukkan Survey Gallup (2016). Dua faktor pendorong tersebut plus pertumbuhan ekonomi cukup tinggi ternyata berdampak positif terhadap daya saing nasional Indonesia.
Sementara tiga faktor pendorong efektivitas pemerintah, yaitu (1) mutu SDM 4,3 juta ASN; (2) derajat intervensi politik dalam manajemen SDM ASN, dan (3) kemampuan pejabat ASN dalam mempertahankan konsistensi dan relevansi kebijakan publik, tampaknya akan menjadi titik lemah ASN Indonesia pada beberapa tahun mendatang. Untuk itu, pemerintah harus melakukan perubahan mendasar guna mewujudkan ASN yang responsif dan kolaboratif, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), dan bebas dari intervensi politik.
Untuk mewujudkan ASN yang bebas intervensi politik, pemerintah yang dipimpin Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla pada sisa masa jabatannya serta pemerintahan baru pada 2019-2024 perlu menempuh strategi kelembagaan berikut. Pertama, memisahkan dengan tegas jabatan politik dengan jabatan administrasi.
Kedua, menempatkan profesional yang memiliki kualifikasi dan prestasi tinggi setidaknya untuk jabatan Menko Ekonomi, Menteri Keuangan, Menteri PPN/Kepala Bappenas, Menkumham, Menpan dan RB, Menlu, Mendikbud, serta Menristek dan Dikti.
Ketiga, seperti di beberapa negara maju di Asia Tenggara dan Asia Timur, urusan pembinaan sumber daya ASN dilakukan oleh sebuah lembaga negara, yaitu civil service commission (komisi aparatur sipil negara). Bentuk lembaga negara yang dibentuk dengan UUD atau UU dianggap dapat menjaga netralitas pegawai ASN dan stabilitas administrasi pemerintahan. Sebagai lembaga negara, komisi tersebut dianggap mencakup semua pegawai ASN pada instansi di seluruh cabang pemerintahan.
Jepang, Malaysia, dan Thailand adalah contoh negara parlementer yang menggunakan komisi aparatur sipil negara. Filipina yang menerapkan sistem presidensial bahkan membentuk dua komisi independen, yaitu The Philippines’ Civil Service Commission untuk mengelola jabatan pimpinan tinggi, dan The Philippines’ Career Service Commission untuk mengelola semua pegawai negeri selain senior executive service. Anggota komisi aparatur sipil negara dipilih dan diangkat oleh presiden selaku kepala negara, bukan sebagai kepala pemerintahan. Di banyak negara, komisi tersebut merupakan gabungan dari kementerian, civil service agency, dan civil service training agency.
Sofian Effendi Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara
Tulisan ini disalin dari Kompas, 4 Januari 2018