Stop Sampah Plastik dan Politik
Antikorupsi.org. Jakarta, 23 April 2018 – Koalisi Masyarakat Sipil Alam Lestari menyuarakan penolakan terhadap sampah plastik dan ‘sampah politik’. ‘Sampah politik’ yang dimaksud adalah para politisi yang mengumbar janji kampanye dengan memperdagangkan alam, hingga melakukan korupsi terhadap sumber daya alam.
Penolakan ini disuarakan dalam aksi teatrikal memperingati Hari Bumi Internasional, Minggu (22/4), kemarin. Aksi dilakukan di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta. Koalisi masyarakat sipil alam lestari terdiri dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Komisi Untuk Orang Hilang Dan Korban Tindak Kekerasan, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air, Jaringan Advokasi Tambang, Publish What You Pay, Indonesian Center for Environmental Law, Konsorsium Pembaruan Agraria, AURIGA, Transparansi Internasional Indonesia, PATTIRO, Forest Watch Indonesia, BINA DESA, YOUTH PROACTIVE, dan Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia.
Dalam aksi ini koalisi mengusung jargon “Stop Sampah Plastik, Stop Sampah Politik. Jaga Ibu Bumi, Bumi Lestari Tanpa Korupsi”. Jargon ini didasarkan pada kondisi di Indonesia saat ini yang mana bumi atau alam dan segala isinya diperdagangkan secara bebas oleh para politisi dan penguasa daerah. Praktek ini menempatkan alam sebagai objek perebutan kekuasaan yang mewarnai kontestasi politik.
“Pemilu di Indonesia masih merupakan ajang obral izin perusakan alam, bukan kontestasi demokrasi yang sesungguhnya untuk kemakmuran orang banyak”, kata Siti Juliantari, biasa dipanggil Tari, Koordinator Divisi Kampanye Publik ICW.
Menurut Tari, koalisi sepakat menggunakan jargon “Stop Sampah Plastik-Politik” karena sampah plastik yang hanya digunakan sebentar akan berdampak lama pada alam. Begitu juga dengan waktu beberapa menit di bilik suara akan berdampak lama pada kebijakan sumber daya alam di suatu daerah.
Koalisi menilai, tahun 2018 adalah tahun politik karena akan diadakan Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) secara serentak di 171 daerah di Indonesia. Oleh karena itu, penting untuk memilih orang yang dapat memastikan tidak adanya penyalahgunaan wewenang dalam pengelolaan bumi beserta segala isinya. Jangan sampai malah mendapatkan kepala daerah yang memperdagangkan dan menjadikan bumi sebagai “lahan basah” korupsi.
“Dengan begitu proses Pilkada – baik dari tahapan kampanye yang sekarang sedang hingar-bingar hingga saat kepala daerah menjabat – tidak akan menjadi sampah politik”, imbuh Tari.
Iqbal Damanik dari AURIGA juga menambahkan aksi “Stop Sampah Plastik-Politik” sebagai bentuk mengajak masyarakat untuk peduli terhadap bumi. Lebih dari sekedar peduli dan perilaku masyarakat yang sadar lingkungan, wacana ini diharapkan juga akan sampai kepada para pengambil kebijakan seperti Presiden, kepala daerah, dan menteri, agar memilih kebijakan yang pro terhadap lingkungan.
“Dan yang paling penting lagi masyarakat menjadikan gagasan kelestarian lingkungan dalam memilih calon kepala daerah, calon legislatif, bahkan Presiden”, kata Iqbal.
Data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun 2013 menyebutkan bahwa dalam satu dekade terakhir kerugian negara akibat kejahatan kehutanan, khususnya pembalakan liar sekitar Rp 30 triliun. Sedangkan potensi korupsi dalam setiap perizinan hak kelola dapat mencapai Rp 200 miliar.
KPK selain melakukan pembenahan sektor perizinan kehutanan, juga melakukan pengawasan dalam setiap pengeluaran izin usaha pertambangan (IUP) di kawasan hutan yang bermasalah.
Data KPK ini selaras dengan salah satu tuntutan aksi Koalisi Masyarakat Sipil Alam Lestari dalam memperingati Hari Bumi Internasional. “Tuntutan koalisi yakni bagi seluruh pihak yang terlibat sebagai calon kepala daerah dalam pilkada serentak untuk tidak menjadikan alam sebagai komoditas politiknya”, tutup Tari.
Penulis: Dewi
Editor: Emerson