Staf Ahli Dewan

IRONI selalu muncul di negeri ini. Ketika lawatan DPR yang dikemas sebagai studi banding mengundang kritik, maka Anggota Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR pun menyatakan akan segera merealisasikan 5 orang staf ahli dewan. Mereka inilah yang diharapkan akan meringankan beban tugas para anggota Dewan.

Tentu saja ini menjadi ironi. Di tengah lantang mengupayakan peningkatan penghasilan, tetapi soal kerja makin diringankan. Bahkan ‘hasil’ studi banding itupun disebut sebagai bukan belajar soal institusi kedewanan yang lebih maju, namun belajar kepada sistem yang lebih maju. Hanya, sistem yang lebih maju seperti apa yang dengan banyak staf ahli itu, tidak dijelaskan.

Yang menarik sekaligus memprihatinkan adalah, pembebanan biaya operasional staf ahli tersebut dibebankan kepada negara. Sehingga secara ekonomis dapat dihitung, jika terdapat 560 anggota DPR RI yang setiap anggota memiliki 5 staf ahli, maka akan terdapat 2.800 staf ahli ditambah 560 sekretaris pribadi (karena rata-rata anggota DPR memiliki sekretaris pribadi). Andai saja, setiap staf ahli mendapatkan honor Rp 10 juta setiap bulan, maka diperlukan dana Rp 28 miliar. Belum lagi honor yang diberikan untuk sekretaris pribadi. Berapa beban tambahan anggaran yang dikeluarkan negara untuk semua ini?

Adalah ironi ketika hasil pajak yang dibayarkan setiap warga negara ini hanya digerogoti dan dinikmati segelintir orang saja? Lantas bagaimana dengan kondisi negara yang perlu mendapat perawatan? Ribuan sekolah yang rusak bahkan hancur, jalan-jalan yang berlubang bahkan menjadi kubangan dan putus, warga yang perlu bantuan karena bencana yang melanda wilayah mereka dan lainnya termasuk mereka yang menerima beras miskin (raskin) yang tidak layak konsumsi? Adakah para wakil rakyat yang terhormat melihat fakta yang terjadi di dalam masyarakat yang diwakili? Bukan hanya infrastruktur namun juga banyak warga yang tidak sejahtera? Pantaskah semua ini kemudian diwacanakan di tengah kesulitan hidup?

Belum lagi jika dihubungkan dengan hasil kerja selama ini, sudah seimbangkah? Mungkin bisa kita tengok kembali dan kita telaah apa yang sudah terjadi pada tahun 2000 lalu. Dari rencana penyelesaian 70 rancangan undang-undang (RUU) ternyata hingga awal 2011 hanya dapat menyelesaikan 17 RUU tersebut menjadi undang-undang (UU). Dengan demikian menjadi tidak keliru jika kita menyitir pendapat Ronald Dworking yang menyatakan bahwa orang yang berjiwa sentimental yang percaya bahwa undang-undang buatan wakil rakyat merupakan produk legislasi murni dan punya niat bersih, jika dibandingkan dengan mekanisme pembentukan undang-undang yang benar. Sementara jika dilihat secara fakta, ketidakjelasan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) staf ahli DPR makin membuat mereka bekerja sesukanya. Ironis bukan, ketika hasil kerja mereka justru kerap digunakan untuk memenuhi tong sampah di ruang kerja anggota parlemen. Mengapa?

Pertama, hasil kerja staf ahli kurang didukung fakta dan data akurat. Karena data yang diperoleh bukan berdasar kajian lapangan melainkan dari informasi media massa. Dalih untuk klarifikasi lapangan perlu dana operasional yang memadai (menurut ukuran mereka) adalah hal yang selalu dilontarkan. Kedua, mekanisme rekurtmen staf ahli, terkadang kurang profesional. Karena banyak staf ahli yang diajukan ke sekretariat DPR hanya kader partai yang belum mendapat kue kekuasaan. Bahkan yang lebih memprihatinkan, yang diajukan adalah anggota keluarga sendiri. Ketiga, tak ada lembaga pengontrol atas kerja dan kinerja staf ahli. Sehingga masuk atau tidak mau kerja tidak ada yang tahu dan itu tergantung kebutuhan anggota DPR.

Jika ini yang terjadi, apakah bisa diharapkan kerja maksimal? Apakah keberadaannya tidak akan menambah beban ruang kerja anggota parlemen, sehingga merasa perlu meminta gedung baru? Yang menjadi pertanyaan, apakah 5 staf ahli tidak akan membuat penafsiran negatif masyarakat yang menganggap bila menjadi anggota parlemen tidak perlu memiliki kemampuan, keahlian, pendidikan yang memadai karena semua sudah diurus staf ahli dan sekretaris pribadi.
(Achiel Suyanto MBA, Penulis adalah Wakil Ketua Umum DPN Peradi, praktisi hukum di Yogya)-a
Tulisan ini disalin dari Kedaulatan Rakyat, 20 Mei 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan