SOS Aktivis Antikorupsi

Saat-saat terkelam dalam pemberantasan korupsi mulai melanda elemen-elemen pemberantas korupsi. Padahal belum terlalu lama bangsa ini menikmati indahnya atraksi yang dipertontonkan pemberantas korupsi dalam meringkus para koruptor. Sepertinya bulan madu pemberantasan korupsi mulai mendekati ending-nya. Kecurigaan yang sempat hinggap di masyarakat akan adanya serangan balik dari para koruptor tampaknya mulai mendekati kebenaran.

Invisible hand para koruptor berada di balik rentetan penggembosan aktivis antikorupsi tidak bisa dikesampingkan begitu saja. Kemunduran upaya pemberantasan korupsi semakin nyata dengan dilansirnya berita mengenai pertemuan tersembunyi antara oknum penegak hukum dan buron kasus korupsi di luar negeri. Andaikata berita pertemuan itu adalah suatu fakta, hal tersebut semakin memperkuat sinyalemen di masyarakat bahwa ada sebagian dari aparat penegak hukum--yang seharusnya berada di barisan pemberantas korupsi--justru bermain api dengan koruptor.

Tangan-tangan tersembunyi yang berpamrih dalam memperlemah gerakan pemberantasan korupsi tidak dapat dinafikan begitu saja, contoh--yang masih menjadi tanda tanya publik--pada kasus kriminalisasi dua komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi, Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Rianto, menyangkut dugaan penyalahgunaan wewenang, kemudian "direvisi" menjadi isu menerima suap yang dilakukan keduanya. Skenario untuk menjebloskan Chandra dan Bibit ke terali besi setidaknya dimulai dari testimoni mantan Ketua KPK Antasari Azhar dan testimoni yang dilakukan pihak Anggoro Widjojo, Direktur Utama Masaro Radiokom, selaku tersangka kasus korupsi perihal pemberian uang suap ke beberapa komisioner di KPK.

Faktanya kedua pihak pemberi testimoni sekarang sudah menyangkal dan mencabut testimoninya. Mengapa pihak Kepolisian justru kelihatan bersemangat dan terkesan memaksakan diri untuk menyeret Chandra dan Bibit ke pengadilan? Rakyat menjadi bertanya-tanya, apakah gerangan yang sedang terjadi? Setelah menyeret dua petinggi KPK, upaya lain yang bisa menyebabkan tersendatnya aktivitas pemberantasan korupsi adalah memperkarakan para aktivis antikorupsi yang berada di Indonesia Corruption Watch (ICW). Kali ini dalil yang dipakai pencemaran nama baik. Konon dua aktivis ICW--Illian Detha Artasari dan Emerson Yuntho--telah mencemarkan nama baik kejaksaan terkait dengan pemberitaan selisih uang sitaan dari koruptor dengan yang disetorkan ke kas negara oleh pihak kejaksaan. Padahal, menurut ICW, mereka tidak asal-asalan mengungkapkan hal tersebut ke media, melainkan berdasarkan data dari berbagai pihak, termasuk Badan Pemeriksa Keuangan. Keanehan juga muncul dalam kasus ICW versus kejaksaan, karena kasus tersebut sejatinya telah usang (sekitar sembilan bulan yang lalu). Namun, mengapa kejaksaan mengangkatnya kembali sekarang? Masyarakat memerlukan penjelasan, apakah dulu kejaksaan menemui kesulitan teknis dalam menyelesaikan kasus tersebut? Ataukah kejaksaan baru menemukan momentumnya sekarang ini?

Civil society
Menyikapi bombardemen bertubi-tubi dari berbagai pihak terhadap aktivis antikorupsi tersebut, diharapkan munculnya kekuatan baru yang mampu terus memompa semangat para aktivis antikorupsi untuk tidak pantang menyerah terhadap penggerusan yang terjadi. Tumpuan dukungan terhadap kelanjutan upaya pemberantasan korupsi di negeri ini setidaknya tinggal berada di dua pihak.

Mereka, antara lain, kekuatan intelektual kelas menengah, termasuk lembaga swadaya masyarakat dan mahasiswa yang ada di negeri ini. Anasir intelektual kelas menengah tak hanya terbatas pada kalangan akademisi kampus, tapi juga semua pihak yang masih concern pada pembabatan korupsi di negeri ini. Kalangan menengah jangan terperdaya oleh pihak-pihak tertentu yang mencoba secara sistematis dan terselubung ingin memisahkan kelanjutan aksi pemberantasan korupsi dengan kriminalisasi para aktivis antikorupsi itu sendiri. Gejalanya tampak jelas dengan dibangunnya berbagai wacana di media massa maupun dengan serangkaian kebijakan yang lebih menyokong--dengan terbuka maupun samar-samar--terhadap penggembosan aktivis antikorupsi.

Sayangnya, dari analisis wacana yang dibangun, sejumlah intelektual telah terjebak bahkan terkooptasi oleh penggembos aktivis antikorupsi. Mereka bermain di wilayah aman, grey area, dengan sejumlah alasan pragmatis, antara lain karena bidang pekerjaannya masih terkait erat dengan aparat penegak hukum mainstream. Mereka cenderung berpura-pura tidak tahu dan menafikan bahwa telah terjadi polarisasi di ranah pemberantasan korupsi. Ajakan konsolidasi kepada semua elemen penegak hukum dalam pemberantasan korupsi tanpa melihat terjadinya korosi integritas di aparatur penegak hukum itu sendiri jelas tidak memberikan manfaat bagi kelanjutan upaya pemberantasan korupsi.

Selain itu, dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tanpa melihat dengan cermat latar belakang permasalahan secara runtut dengan berbagai perspektifnya jelas menguntungkan pihak-pihak tertentu yang selama ini dicurigai tengah menggembosi aktivis pemberantas korupsi. Pihak lain di luar kelas menengah yang bisa diharapkan mendukung perang terhadap pemberangusan aktivis antikorupsi adalah pers. Sebagai pilar keempat demokrasi, sekarang inilah pers menemukan momentumnya kembali untuk mengasah kejelian dalam menyikapi setiap permasalahan bangsa, termasuk masalah upaya pemadaman sistematis terhadap semangat memberantas korupsi. Sebagai watchdog yang baik, pers sangat berkompeten untuk terus-menerus menyuarakan "stop" terhadap pemberangusan aktivis antikorupsi. Ini setidaknya sejalan dengan apa yang dikatakan Jalaluddin Rakhmat, bahwa pers bukan hanya sebagai pencatat, pengamat, maupun peneliti realitas, pers juga harus berperan sebagai pengubah realitas. Mengubah pelemahan aktivis antikorupsi menjadi penguatan penggiat antikorupsi tersebut. Jika selama ini dikatakan suara rakyat adalah suara Tuhan, pada momen yang genting seperti sekarang ini rakyat mendambakan "suara Tuhan" melalui pers.

Dukungan rakyat
Sinergi kekuatan pers dan kelas menengah (civil society) niscaya mampu membendung usaha pendongkelan terhadap pemberantasan korupsi. Pada pundak dua kekuatan yang tersisa itulah rakyat berharap banyak korupsi di negeri ini bisa dikikis secara massif dalam tempo yang sesingkatnya. Rakyat tidak bisa berharap banyak kepada para wakilnya di parlemen, melihat rekam jejak koruptif para wakilnya di waktu yang lalu. Sayangnya, wakil rakyat yang baru saja dilantik hingga saat ini geliatnya belum jelas kelihatan. Tampaknya mereka masih merasakan euforia terhadap status barunya. Mudah-mudahan mereka segera mengakhiri bulan madu status barunya untuk segera bergandengan tangan bersama elemen kelas menengah dan pers dalam penyelamatan aktivis antikorupsi, yang tengah sekarat dihajar bertubi-tubi, sekaligus memulihkan upaya pemberantasan korupsi itu sendiri. Yakinlah rakyat ada di belakang upaya tersebut.

Danang Probotanoyo, ALUMNUS UNIVERSITAS GADJAH MADA, PEMERHATI SOSIAL

Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 27 Oktober 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan