SKPP Bibit-Chandra; Kejaksaan, Cepatlah Bertindak!

Optimisme itu berbanding terbalik dengan kenyataan. Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dalam putusannya menetapkan surat ketetapan penghentian penuntutan atas perkara Bibit Samad Rianto dan Chandra Martha Hamzah tidak sah. Setali tiga uang dengan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Bahkan, PT DKI Jakarta dalam amar putusannya mewajibkan kejaksaan untuk melanjutkan penuntutan perkara dua unsur pimpinan KPK, Bibit dan Chandra, dalam kasus dugaan melakukan pemerasan dan penyalahgunaan wewenang, yang dimohonkan Anggodo Widjojo.

Padahal, saat mengajukan banding, kejaksaan sangat optimistis. Jaksa Agung Hendarman Supandji pernah menyatakan, ”Kalau jaksa mengajukan banding bahwa SKPP itu kuat, kami optimis.”

Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus saat itu, Marwan Effendy, bahkan mengingatkan soal SKPP perkara korupsi dana yayasan dengan tersangka mantan Presiden Soeharto (almarhum). ”Kami banding, dimenangkan. Itu pengalaman yang paling berharga,” kata Marwan.

Kini saatnya kejaksaan memikirkan langkah berikutnya menyikapi putusan itu. Mengutip pernyataan Taufik Basari, salah seorang anggota tim penasihat hukum Bibit dan Chandra, bahwa bola di tangan kejaksaan. ”Kejaksaanlah pihak dalam putusan praperadilan ini. Kami masih menunggu sikap dan langkah kejaksaan,” kata Taufik.

Hingga Jumat (4/6), sehari setelah putusan banding dibacakan, kejaksaan belum bersikap. Alasannya, masih menunggu salinan putusan. Setelah itu dipelajari, dibahas, baru ditentukan langkahnya. Kebiasaan selama ini, selalu butuh waktu lama bagi kejaksaan untuk memutuskan segala sesuatu.

Meski demikian, menjawab pertanyaan wartawan pada Jumat lalu, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus M Amari menyampaikan tiga opsi yang tengah dipikirkan kejaksaan, yakni kasasi atas putusan banding, melanjutkan perkara ke pengadilan, atau mengesampingkan perkara.

Sebagian masyarakat berpendapat, langkah pengesampingan perkara demi kepentingan umum dapat dilakukan jaksa agung sesuai kewenangannya. Hal itu diatur dalam Pasal 35 Huruf c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. Mengutip penjelasan, kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas. Mengesampingkan perkara tersebut merupakan pelaksanaan asas oportunitas yang hanya dapat dilakukan Jaksa Agung setelah memerhatikan saran dan pendapat dari badan- badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah itu.

Eddy OS Hiariej, pengajar hukum pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, termasuk yang menyarankan penggunaan hak oportunitas itu. Kemungkinan lain, kata Eddy, adalah digunakannya hak abolisi oleh presiden. Abolisi adalah peniadaan tindakan pidana. ”Saat menerbitkan SKPP, kejaksaan tidak sungguh-sungguh, hanya setengah hati. Jika memang ingin menghentikan, gunakan saja Pasal 35 Huruf c UU No 16/2004,” kata Eddy, Sabtu lalu.

Eddy berpendapat, pengesampingan perkara dapat dilakukan meskipun sudah ada putusan PT yang mewajibkan kejaksaan melanjutkan perkara Bibit-Chandra. Untuk menggunakan asas oportunitas itu, tak perlu meminta pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat, Mahkamah Agung, dan Presiden. ”Bunyinya kan badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah itu. Nah, yang mesti dimintai saran adalah kepolisian dan KPK,” kata Eddy.

Mengenai langkah mengesampingkan perkara itu, Hasril Hertanto, Ketua Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia, bertanya-tanya. ”Apakah Jaksa Agung mau mengorbankan egonya untuk mengesampingkan perkara? Sejak awal, perintah Presiden adalah diselesaikan di luar pengadilan. Sejak awal, Jaksa Agung bisa menggunakan hak oportunitas, tetapi dia memilih SKPP,” kata Hasril.

Pengajar hukum pidana Universitas Indonesia, Indriyanto Seno Adji, berpendapat, upaya hukum biasa berupa kasasi memang sudah tertutup. Akan tetapi, Mahkamah Agung pernah melakukan terobosan hukum dengan menerima permohonan peninjauan kembali (PK) dari penyidik Markas Besar Kepolisian Negara RI sebagai upaya hukum luar biasa terhadap putusan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada kasus penyidikan Newmont. ”Pertimbangan MA menerima PK itu adalah keadilan masyarakat,” kata Indriyanto.

Oleh karena itu, Indriyanto yang juga Guru Besar Hukum Universitas Krisnadwipayana itu menambahkan, untuk kasus Bibit-Chandra, kejaksaan dapat mempertimbangkan upaya hukum luar biasa berupa pengajuan PK kepada MA.

Mengenai putusan banding yang mewajibkan kejaksaan melanjutkan penuntutan perkara, menurut Indriyanto, sebaiknya hal itu menjadi pilihan terakhir kejaksaan. Menurut Hasril, bisa saja kejaksaan mengambil langkah melimpahkan perkara Bibit-Chandra ke KPK jika ingin perkara jelas ujungnya di pengadilan.

Namun, satu hal yang pasti. Apa pun langkah yang akan dilakukan kejaksaan, sepertinya semua orang berpendapat sama. Kejaksaan, sebaiknya bertindak cepat! [Dewi Indriastuti]
Sumber: Kompas, 8 Juni 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan