Skandal Century dan Pemakzulan Wapres

SETELAH menggelar rapat paripurna dua hari (2-3 Maret 2010), akhirnya mayoritas anggota DPR (325 suara atau 60 persen) menyatakan sikap bahwa penalangan dana Bank Century (2008) bermasalah. Sejumlah pejabat pun harus bertanggung jawab. Sikap ini dipilih kelompok "oposisi plus", yaitu PDI Perjuangan, Partai Hanura, dan Partai Gerindra, bekerja sama dengan Partai Golkar, PKS, dan PPP.

Tiga hal perlu dikemukakan di sini. Pertama, DPR bersikap sama dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bahwa dana pinjaman jangka pendek dan penalangan kepada Bank Century termasuk keuangan negara. Kedua, DPR mengulang temuan BPK. Proses akuisisi-merger Bank Century, pengawasan Bank Indonesia (BI) terhadap Bank Century, keputusan penalangan Bank Century oleh Komite Stabilitas Sektor Keuangan (Menkeu dan gubernur BI) serta pengaliran dana talangan oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dinilai bermasalah dan melanggar hukum. Karena itu, kasusnya harus diproses menurut mekanisme penegakan hukum administrasi, perbankan, maupun tipikor. Ketiga, DPR mengakui kegagalan Pansus Kasus Bank Century mengungkap bukti aliran langsung dana talangan Bank Century ke pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono dan Partai Demokrat pada pemilihan presiden 2009.

Sebaliknya, sekitar 40 persen anggota DPR (212 suara) menyatakan bahwa kebijakan penalangan itu tak bermasalah dan justru untuk mencegah agar tsunami finansial tak melanda Indonesia. Sikap ini didukung Partai Demokrat, PKB, dan PAN. Pilihan sikap ini juga ditandai oleh langkah fenomenal Ny Lily Wahid (adik almarhum Gus Dur) untuk berbeda sikap dari PKB.

Kenyataan di atas menunjukkan, DPR berhasil menggunakan instrumen hak angket untuk mengawasi kebijakan pemerintah (pasal 20A UUD 1945) dalam menalangi Bank Century dari kebangkrutan (November 2008). Meski presiden tak lagi menyampaikan pertanggungjawaban kepada MPR, bukan berarti pemerintah terbebas dari pengawasan parlemen. Pasangan presiden dan wakil presiden memperoleh mandat langsung dari rakyat untuk memerintah. Para anggota DPR juga memperoleh mandat rakyat untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Begitulah checks and balances antarlembaga negara bersumber dari daulat rakyat.

Terkait dengan penggunaan uang negara, termasuk untuk menyelamatkan Bank Century setelah kalah/gagal kliring (13/11/2008), pengawasannya dilaksanakan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai lembaga konstitusional yang independen. BPK menjalankan peran pengawasan profesional (di bidang audit keuangan negara) bagi pengawasan politik DPR.

Bagaimana sikap DPR tentang kasus Bank Century itu akan ditindaklanjuti melalui mekanisme hukum yang ada? Apa implikasi penyebutan sejumlah nama petinggi eksekutif dan Bank Indonesia sebagai pihak yang bertanggung jawab, termasuk Wapres Boediono dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati? Apa peran DPR selanjutnya? Bagaimana hubungan fungsi pengawasan DPR dengan prosedur pemakzulan wakil presiden/presiden menurut UUD 1945?

Penegakan hukum
Apabila KPK atau polisi dan kejaksaan menemukan dugaan tindak pidana, khususnya tipikor pada permasalahan yang disikapi DPR di atas, terdapat implikasi yang berbeda-beda berdasarkan jabatan. Para pejabat BI yang terbukti bersalah akan terkena sanksi pidana menurut UU BI dan atau UU Tipikor. Para pejabat di Dewan Gubernur BI seharusnya menjaga independensi dan kerahasiaan perbankan (termasuk di BI) sehingga harus menolak segala campur tangan pelaksanaan tugas BI dari pihak mana pun (termasuk dari kalangan bisnis perbankan). Fungsi pengawasan BI terhadap Bank Century termasuk kategori ini. Dalam hal mereka menerima suap ketika bertugas, misalnya tugas mengawasi bank, tindakannya terancam sanksi dalam UU Tipikor.

Menkeu sebagai ketua KSSK dan gubernur BI sebagai anggota KSSK, waktu itu, juga terancam kedudukannya dari sudut tipikor. Misalnya, kalau terdapat dugaan suap Rp 1 miliar. Ini menjadi kompetensi KPK. Kalau ketua KSSK (Menkeu saat ini) ditetapkan sebagai terdakwa tipikor yang diancam sanksi lima tahun penjara, presiden memberhentikan menteri (UU Kementerian 2008).

Menuju Pemakzulan?
Apakah Wapres Boediono (gubernur BI 2008) terancam oleh implikasi hukum dan politik serupa? Gubernur BI dilarang tidak independen, dalam arti tidak boleh membiarkan pelaksanaan tugas-tugasnya dicampuri oleh kepentingan pihak mana pun (pasal 9 UU BI). Tetapi, kegagalan ini "hanya" diancam sanksi 2-5 tahun penjara dan denda Rp 2 miliar - Rp 5 miliar oleh UU BI. Apabila Wapres ditetapkan sebagai terdakwa pada kasus ini, presiden tentu tidak bisa memberhentikannya karena pasangan presiden-wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat. Presiden hanya dapat menekan wakil presiden untuk mengundurkan diri.

Namun, jika proses penyelidikan atau penyidikan menemukan bukti terjadinya tipikor oleh gubernur BI pada waktu itu, secara normatif terbuka dua proses peradilan pidana dan peradilan ketatanegaraan (constitutional adjudication). Peradilan pidana, misalnya, dimulai oleh KPK. Dalam hal ini tentu membutuhkan "bukti permulaan yang cukup" (minimum dua alat bukti) serta diperiksa dan diadili oleh Pengadilan (khusus) Tipikor. Perdebatan tak dapat dielakkan mengenai independensi dan kelancaran proses ini terhadap seorang wakil presiden, sekaligus terkait dengan stabilitas pemerintahan dan martabat kepresidenan.

Namun, konstitusi secara khusus mengatur kombinasi antara proses politik di DPR, pembuktian dan peradilan di Mahkamah Konstitusi, serta pemakzulan (pemberhentian) oleh MPR. UU Hak Angket 1954 tidak berlaku untuk masalah ini. UU Nomor 27 Tahun 2009 sudah menggantikan prosedur di parlemen dan UU MK 2003 juga mengatur prosedur pembuktiannya.

Jadi, pasal 7A-7B UUD 1945 menentukan bahwa DPR dapat menyatakan pendapat (cukup satu bukti permulaan?) bahwa wakil presiden melakukan tipikor; pengusulnya cukup 25 anggota DPR (pasal 182 UU No 27 Tahun 2009). Keputusan DPR cukup didukung oleh 2/3 anggota dari 2/3 anggota yang hadir dalam rapat paripurna. Dugaan itu disampaikan kepada MK untuk diperiksa dan diputus dalam waktu paling lama 90 hari. Jika MK memutuskan dugaan itu terbukti, DPR hanya meneruskan ke MPR agar menyelenggarakan sidang pemakzulan, paling lama dalam 30 hari. Setelah wakil presiden atau presiden diberi kesempatan membela diri, pemakzulan diputuskan oleh 3/4 dari 2/3 anggota MPR yang hadir.

Wewenang memakzulkan presiden atau wakil presiden tetap di tangan MPR, meski UUD 1945 sudah diubah. Tetapi, saat ini proses menuju pemakzulan itu masih merupakan tanda tanya. (kum)

(*) Mohammad Fajrul Falaakh dosen Fakultas Hukum UGM, Jogjakarta
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 8 Maret 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan