Sirkus “Nazaruddin”

Kasus yang diduga kuat melibatkan Nazaruddin memasuki babak baru pasca ia diserahkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (13/8). Sejak pesawat khusus diterbangkan dari Cartagena, Kolumbia publik berharap kebenaran terungkap, praktek mafia terbongkar, kendati bukan tak mungkin, ia berada di kekuasaan tertinggi negeri ini. Dimanapun itu. Mungkinkah? Ataukah yang terjadi justru sebaliknya, sekedar sandiwara dan pertunjukan yang lebih mirip sirkus ketimbang sebuah proses penegakan hukum yang ideal?

Pertanyaan ini menjadi sangat serius karena di saat yang sama kita dihadapkan pada sejumlah kejanggalan, serpihan fakta, lelucon pejabat negara, dan sebuah rangkaian “jebakan” untuk penegak hukum, khususnya KPK. Untuk membacanya, kita perlu lebih hati-hati dan fokus pada substansi persoalan. Terutama karena begitu banyak “noise” dan gangguan yang terkesan sengaja diciptakan agar perhatian beralih, dan drama bisa berjalan dengan baik.

Enam Triliun
Menarik mencermati pernyataan Ketua KPK dini hari pasca Nazaruddin diserahkan ke institusi ini. Menurut catatan KPK, setidaknya ada Rp. 6,037 Triliun nilai proyek yang terkait dengan Nazaruddin dan diduga mengandung korupsi. Proyek ini tersebar di delapan kementrian dengan tiga klasifikasi. Pertama, suap wisma atlet dengan nilai proyek Rp. 200 miliar, Kedua di tiga kementrian dengan nilai Rp. 2,6 triliun, dan Ketiga, proyek di lima kementrian, tersebar pada 31 kasus dengan nilai sekitar Rp. 3,24 triliun. Sebuah jumlah yang sangat besar dengan penyebaran yang membuat kita terperangah. Betapa tidak, ternyata alokasi APBN untuk pembangunan dan pengadaan alat pelayanan publik dirampok oleh kekuasaan yang bersembunyi di partai penguasa. Dan, bukan tidak mungkin korupsi yang “dipelihara” karena kebutuhan dana politik.

Pernyataan beberapa saat setelah Nazaruddin diterima KPK secara fisik tersebut bernilai penting, karena ia sekaligus akan menjadi pegangan bagi publik sekaligus indikator apakah KPK serius, mampu dan berkomitmen menuntaskan skandal ini. Hal ini pun dapat dibaca secara implisit sebagai penegasan bahwa KPK sudah memegang sejumlah dokumen yang bernilai Rp. 6,037 triliun. Sebuah pekerjaan yang tidak bisa diselesaikan hanya semalam suntuk. KPK tentu sangat sadar, konferensi pers dini hari itu bisa jadi akan menggulung lembaga ini jika tidak serius menuntaskannya.

Namun, di sisi lain, kita tahu, tidak mungkin membiarkan KPK bekerja sendirian. Karena begitu masifnya penyebaran proyek-proyek bermasalah yang berpusat pada Nazaruddin, sekaligus akan menempatkan KPK sebagai sasaran tembak koruptor. Betapa tidak, dari aspek aktor saja, konsolidasi para mafia sangat mungkin terjadi, apalagi jika nanti “nyanyi Nazaruddin” terkuak bahwa proyek-proyek itu adalah untuk dana politik dan pemenangan kursi Ketua Partai Demokrat. Musuh KPK akan menjadi lebih kuat.

Pernyataannya, mungkinkah publik membiarkan KPK “berdarah-darah” sendirian? Sementara kita di satu sisi tidak pernah berhenti mendesak KPK agar bekerja menuntaskan skandal demi skandal korupsi tersebut? Tidak. KPK tidak boleh sendirian. Ia harus dibantu. Bagaimana caranya? Sederhana, KPK di dukung dengan pengawasan yang ketat, dan diproteksi dari kemungkinan serangan balik. Akan tetapi, juga harus dipastikn bersih dari “hama koruptor” di tubuhnya. Kuda troya, yang menghancurkan KPK dari dalam harus dibuang.

Bos Mafia
Kembali ke substansi kasus korupsi yang terkait dengan Nazaruddin, akal sehat kita mengatakan, pengungkapan skandal itu hanya akan efektif jika Nazaruddin bersedia dan tidak merasa tertekan dalam memberikan keterangan. Kesaksian tersangka KPK ini penting, meskipun ia harus diuji dan diverifikasi dengan bukti lainnya. Di titik inilah, satu hal krusial yang harus selesai sebelum proses menjadi benang kusut adalah memastikan adanya mekanisme proteksi terhadap Nazaruddin. Sebuah konsep perlindungan dalam artian, ia hanya diberikan sepanjang Nazaruddin bersedia memberi keterangan yang benar, dan informasi tersebut bernilai untuk membongkar dan menjerat “bos mafia” yang lebih besar. Jika tidak? Mungkin benar, semua yang dikatakan Nazaruddin tidak lebih sekedar jurus berkelit seperti lazimnya tersangka-tersangka korupsi yang kalap.

Setidaknya terdapat dua hal yang diharapkan bisa terbongkar dengan “pintu masuk” Nazaruddin. Pertama, praktek mafia anggaran dan turunannya sebagai bentuk perampokan uang negara yang sistemik, bermain dalam sistem dan regulasi yang sah, dan merampas hak-hak publik yang seharusnya mendapatkan pelayanan maksimal dari nilai yang dikorup tersebut. Mafia dalam wilayah ini tentu tidak satu warna, tidak satu partai. Ia adalah persekongkolan yang bersembunyi di institusi negara dalam lambang-lambang yang terhormat.

Kedua, dana haram partai politik. Biaya politik yang tinggi, akuntabilitas yang rendah, kekuasaan yang berlebihan dalam penempatan pejabat publik, dan penegakan hukum yang lemah, selama ini membuat partai sebagai kekuatan uang tak tersentuh proses hukum. Disebut tak tersentuh, karena memang dana politik selalu hanya menjadi wilayah abu-abu. Mekanisme pertanggungjawabannya pun hanya di saat dekat pemilu. Padahal proses pengumpulan dan perampokan dari sumber-sumber “sah” terjadi sepanjang masa kekuasaan. Uang dan Politik seperti kembar siam.

Undang-undang Pemberantasan Korupsi pun jika berdiri sendiri, sulit melewati pagar besi bernama parpol ini. Jika pun ada penegak hukum yang “coba-coba” memproses, ia akan kena batunya sendiri, apalagi itu adalah institusi yang berada di bawah lingkaran Eksekutif, seperti polisi dan jaksa. Bahkan dari aspek penegakan hukum pidana pajakpun, “percobaan” menjerat pengemplang pajak yang berkuasa secara politik, hampir selalu membentur dinding.

Dari aspek aktor, KPK adalah lembaga yang pernah mencoba menjerat politisi busuk tersebut. Berdasarkan catatan ICW, Nazaruddin adalah anggota DPR ke-43 yang berhasil dijerat KPK dalam kasus korupsi sejak institusi ini ada. Semuanya tersebar di sembilan kasus signifikan. Rekam jejak institusi ini seharusnya menjadi modal bagi kita untuk mendorong KPK menuntaskan skandal korupsi dengan bau anyir politik dalam kasus yang terkait dengan Nazaruddin tersebut. Dengan catatan, KPK pun tak boleh main-main, dan secara periodik memberikan pertanggungjawaban berupa laporan perkembangan penanganan perkara pada publik. Apalagi, soal pertanggungjawaban publik ini sudah diatur di UU No. 30 tahun 2002 tentang KPK.

Wisma Atlet
Fakta-fakta awal dalam kasus Wisma Atlet yang sudah memasuki masa persidangan kesekian adalah catatan paling kongkrit yang bisa dikawal. Kesaksian Yulianis misalnya. Mantan wakil direktur keuangan Permai Group, salah satu bawahan Nazaruddin mengakui, bahwa proyek Wisma Atlet “dibeli” seharga Rp. 16 miliar. Ada fee untuk sejumlah pihak, mulai dari tujuan untuk memastikan anggaran disetujui dan dicairkan di DPR, hingga fee untuk pemegang proyek, dan kepala daerah. Nilai fee pun tak tanggung-tanggung, 14% dari setiap termin pembayaran. Sedangkan dalam proyek tersebut ada empat termin pembayaran. Yulianis juga terang-terangan menyebut aliran dana ke Partai Demokrat.

Meskipun dikatakan juga, dana tersebut sudah dikembalikan, hal ini sudah cukup membuat kita yakin, bahwa hubungan antara kelompok bisnis-politik itu sangat kuat. Salah satu hasilnya adalah bisa diraihnya proyek senilai Rp. 6,037 triliun yang tersebar di berbagai departeman. Saksi ini juga menyebut nama yang santer sebelumnya, tidak hanya dari satu partai.

Dalam kasus lainnya, mulai terungkap modus yang relatif baru. Proses pengadaan barang dan jasa yang terbuka, tender dan bisa diawasi ternyata disiasati sedemikian cerdiknya. Menang dengan harga rendah dibanding perusahaan besar yang punya pengalaman panjang di suatu bidang ternyata bisa disiasati dengan cara mengubah kontrak, sehingga harga tetap menjadi lebih tinggi. Hal ini memang belum muncul ke persidangan. Akan tetapi, ia menjadi catatan dan pe-er bagi KPK untuk membuktikannya di Pengadilan Tipikor.

Dengan demikian, benang kusut persoalan Nazaruddin hari ini, dengan segala bumbu dan “noise” yang  agaknya didisain secara sengaja tidak boleh membuat publik terjebak. Mari simak, dan baca secara jernih. Mulai dari upaya sistematis merusak kepercayaan publik pada KPK pasca April 2011 ketika tiga orang tertangkap tangan oleh KPK, hingga upaya melokalisir bukti hukum hanya untuk orang-orang tertentu saja.

Ini sungguh penting. Agar skandal demi skandal yang melelahkan ini tidak hanya jadi kecap politik, dan sekedar jadi sirkus yang alih-alih menghibur, tapi justru mengusik rasa keadilan publik. Sementara, di sisi lain, para politisi memanfaatkannya sekedar saling sikut jabatan dan berebut kue anggaran berikutnya.
oleh: Febri Diansyah, Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW
Tulisan ini disalin dari Suara Pembaruan, 15 Agustus 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan