Sindiran SBY Penuh Makna

Pernyataan Susilo Bambang Yudhoyono (Yudhoyono) soal kolusi bisnis-politik dapat bermakna banyak dan mengarah ke mana-mana.

Meski jelas, sindiran itu lebih sebagai reaksi sekaligus tekanan politik bagi petinggi partai politik (parpol) yang mangkir pajak.

Pernyataan itu bisa meru pakan kritikan bagi siapa saja: petugas pajak untuk kinerja perpajakan, bisnis pejabat, dan praktik kolutif di ranah kebijakan publik.

Pernyataan Yudhoyono dalam konteks sempit memang mudah dimaknai sebagai tekanan politik atas fraksi-fraksi di DPR RI terkait rekomendasi Hak Angket Century, terutama Partai Golkar.

Jika hanya dimaknai dalam konteks ini, kampanye Yudhoyono kolusi bisnis dan politik justru menjadi sangat lemah.

Dengan kapasitasnya sebagai presiden yang memiliki rentang kekuasaan politik dan administratif, sikap Yudhoyono justru dapat dimaknai sebagai penyanderaan politik.

Kondisi ketika Yudhoyono merasa menguasai entitas politik dengan berbagai data penyimpangan para lawan politik terkait urusan kewajibannya terhadap negara.

Mungkin tidak hanya pajak, berbagai konsesi pengelolaan sumber daya, proyek pemerintah, dan banyak lagi kemudahan pemerintah terhadap politisi dapat dijadikan kartu truf bagi Yudhoyono untuk menghajar politisi yang dipandang mbalelo.

Sebenarnya, terdapat makna lain yang tersirat dari pernyataan Yudhoyono yang mungkin lebih penting untuk memperbaiki kehidupan kenegaraan kita.

Daripada hanya berakhir pada debat sempit antara Yudhoyono dan petinggi parpol, sebutlah Ical (Aburizal Bakri-red) yang memang memiliki tunggakan pajak senilai 2,1 triliun rupiah dari tiga anak perusahaan PT Bumi Resources Tbk, sebaiknya Yudhoyono mulai memikirkan langkah yang lebih strategis untuk membenahi beberapa persoalan mendasar yang terkait dengan pernyataannya.

Yang sudah ada di depan mata adalah membenahi institusi perpajakan untuk mendorong peningkatan rasio pajak.

Kedua, membenahi praktik pejabat-berbisnis yang hingga saat ini pengaturannya belum tegas. Pembenahan Perpajakan Rasio pajak terhadap pendapatan domestik bruto (PDB) Indonesia hingga saat ini masih terlalu kecil bila dibandingan dengan negara lain.

Rasio pajak (tax ratio) Indonesia dalam APBN 2009 baru mencapai 12 persen dan 12,1 persen di dalam RAPBN 2010.

Angka itu masih terpaut jauh dengan negara tetangga seperti Malaysia yang pada periode yang sama mencapai 25 persen.

Dan sangat jauh di bawah negara-negara maju seperti Uni Eropa (EU27) yang mencapai urutan 145 di tahun 2009 dan Indeks Persepsi Korupsi 2009 yang berada di urutan 111 dengan skor 2,8 bersama sembilan negara lain dengan skor yang sama.

Kecenderungan itu adalah untuk membaca sebagai faktor indikatif terhadap adanya hubungan antara tingkat kepatuhan pembayar pajak di satu sisi dan kinerja pemungut pajak di sisi yang lain.

Melihat di Indonesia pajak adalah sektor andalan dalam fiskal (mencapai 76,55 persen dalam APBN 2009), reformasi di sektor perpajakan juga harus menjadi agenda prioritas pemerintahan Yudhoyono–Boediono.

Artinya, mempermasalahkan ketidakpatuhan pajak seseorang atau korporasi tertentu seharusnya juga dibarengi dengan progresivitas pengumpulan pajak serta pemberantasan manipulasi pajak dan penunggak pajak. Praktik kolutif penguasa-pengusaha seperti yang dikhawatirkan Yudhoyono memang bukan pepesan kosong.

Beberapa kasus korupsi yang muncul dan mendapatkan perhatian publik memang menggambarkan kuatnya kuasa ekonomi memengaruhi ranah pengambilan keputusan publik.

Persekongkolan terjadi ketika konsesi, proyek, dan fasilitas kebijakan begitu mudah mengalir tah yang khas” untuk mempertahankan sumber keuntungan bisnis dari sumber daya publik.

Fakta itu yang menjadi penyebab utama tender-tender proyek pemerintah tidak berjalan efisien dan kompetitif, melainkan sering menjadi sumber pemborosan anggaran dan korupsi.

Yang mungkin harus lebih dikhawatirkan Yudhoyono adalah pengaruh langsung bisnis di ranah kebijakan. Penguasaan partai politik besar oleh pebisnis tentu pantas dianggap sebagai ancaman serius. Beking politik memang sudah terbukti ampuh.

Dalam konteks penegakan hukum korupsi, isu proteksi politik kerap melatari berhentinya pemprosesan tuntas kasus korupsi, terutama ketika mulai menyentuh jantung kekuatan politik. Rangkap jabatan bisnis dan jabatan negara juga memberikan akses langsung pelaku bisnis terhadap keputusan publik.

Beberapa kasus korupsi di parlemen membuktikan posisi dalam mengesahkan anggaran digunakan untuk memuluskan daftar proyek pesanan dan diarahkan untuk keuntungan bisnis sendiri atau kroni.

Terbuka lebarnya ruang perekrutan politik untuk dimasuki kepentingan bisnis ditengarai menjadi pintu masuk bagi penumpukan kepentingan bisnis dan politik.

Meski ada kalangan yang menganggap fenomena itu sebagai hal positif dalam konteks profesionalisme lembaga politik, tanpa adanya pengaturan yang jelas terkait konflik kepentingan bisnis-politik, hal itu justru akan menjadi ancaman, tidak hanya bagi pengambilan kebijakan publik, tetapi juga bagi demokrasi.

Kini, terdapat pertanyaan besar bagi pemerintahan Yudhoyono- Boediono. Jika kolusi bisnis-politik memang dipandang ancaman serius, langkah kebijakan yang fundamental harus segera diambil.

Pejabat di ranah politik harus mundur dari jabatan bisnis. Juga tidak boleh terlibat mengelola proyek dari anggaran negara.

Mendorong kebijakan fundamental terkait konfl ik kepentingan memang tidaklah mudah. Namun tak disangkal, sumber daya politik terbesar sedang dikantongi Yudhoyono.

Aturan konflik kepentingan penting untuk solusi atas ekses buruk demokrasi kerap dilatari sistem ekonomi kapitalistik.

Berangkat dari kekhawatiran besar Yudhoyono atas sekongkol bisnis dan politik, harus mulai disadari bahwa persoalan itu bukanlah untuk dimaknai sempit sebagai alat tekanan politik.

Mata pedang dari pernyataan Yudhoyono sebenarnya tidak hanya tertuju pada lawan politiknya, akan tetapi bermata dua yang juga mengarah pada Yudhoyono sendiri sebagai pemangku kebijakan.

Ibrahim Fahmy Badoh, Penulis adalah Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW

Tulisan ini disalin dari Koran Jakarta, 20 Februari 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan