Siapa Menggantung Busyro?

Setelah ditunggu sekian lama, Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya bersabda melalui Putusan No 5/PUU-IX/2011 perihal uji materi UU Komisi Pemberantasan Korupsi.

Isinya secara jelas mengatakan bahwa penafsiran yang benar sebagai maksud dari UU KPK tentang masa jabatan dalam kepemimpinan KPK adalah empat tahun. Hal yang berarti, penafsiran DPR adalah keliru secara hukum, Busyro Muqoddas seharusnya memimpin KPK selama empat tahun dan tidak ada lagi penafsiran lain selain hal yang digariskan MK.

Herannya, beberapa anggota DPR kelihatan masih saja ingin mengatakan hal lain dengan berbagai alasan. Salah satunya adalah dengan menggunakan logika putusan MK seharusnya berlaku ke depan (prospectively).

Dengan berlaku ke depan, maka putusan MK sama sekali tidak berguna untuk Busyro Muqoddas dan hanya akan berfungsi untuk pemilihan KPK berikutnya.

Sesat Pikir
Inilah cara sesat berpikir yang kemudian seakan-akan keluar menjadi cara pandang DPR. Karena,selamainiDPRmemang kelihatan banyak membenci KPK.Tidak banyak peran dan dorongan DPR terhadap KPK. Lebih banyak sinisme dan cara pandang yang sangat berbeda.

Dengan mengajukan logika prospektif ini,DPR seakan-akan mengacuhkan poin (3.26) pertimbangan hukum di Putusan MK soal UU KPK yang menyebutkan, “Meskipun menurut Pasal47UUMKmengatakanputusan MK berlaku sejak ditetapkan (prospektif), namun demi asas kemanfaatan yang merupakan tujuan universal hukum, maka untuk kasus-kasus tertentu MK dapat memberlakukan secara retroaktif

.” Apalagi,MK kemudian mencontohkan salah satu putusan MK yang bersifat retroaktif yakni yang berkenaan dengan perhitungan Tahap III penetapan anggota DPR, yang pada akhirnya MK memutuskannya untuk diberlakukan secara retroaktif dalam hal penetapan anggota DPR pada Pemilu 2009.

Logika inilah yang kemudian dikatakan dalam putusan MK sebagai dasar untuk mengatakan, “Oleh karena itu, untuk menghindari ketidakpastian hukum dalam masa transisi sebagai akibat dari putusan ini, maka putusan ini berlaku bagi pimpinan KPK yang sudah terpilih dan menduduki pimpinan KPK sekarang untuk masa jabatan selama empat tahun sejak terpilih.”

Artinya, jika DPR memang kekeuh dengan prospektifnya putusan MK, maka seharusnya bukan hanya logika putusan bagi Busyro Muqoddas yang ditolak, tetapi juga pada perhitungan penetapan kursi anggota DPR tahap III yang dicontohkanMK. Tetapi seperti biasa, itulah keanehan cara berpikir anggota DPR ini.

Mereka sering hanya akan menerima logika yang menguntungkan anggota DPR tetapi akan menolak logika hukum jika itu merugikan. Ketidakkonsistenan berpikir inilah yang menjadi pertanda akutnya sesat berpikir yang dilakukan oleh beberapa anggota DPR yang menolak pemberlakuan putusan MK untuk Busyro Muqoddas.

Final dan Mengikat
Secara teoritik,putusan MK memang tidak dilaksanakan sendiri oleh MK dalam artian MK tidak bisa berperan mengeksekusi sendiri putusannya. Tetapi, dari konsep putusan MK bisa menciptakan kewajiban hukum bagi pejabat publik untuk segera mewujudkan apa yang di perintahkan MK karena sifat putusan MK yang final dan binding.

Vonis MK seharusnya dapat dimaknai sebagai kewajiban bagi pembentuk kebijakan untuk segera melakukan apa yang dimaknai dalam putusan MK. Dalam hal ini, Presiden seharusnya segera mengeluarkan keputusan presiden (keppres) untuk merevisi keppres pelantikan Busyro Muqoddas yang setahun menjadi empat tahun.

Bahwa mengeluarkan keppres merupakan kewenangan presiden dalam melaksanakan kebijakan yang diperintahkan oleh UU, adalah hal yang mustahil ditolak.Tetapi, pada saat yang sama vonis MK telah menambahkan sifat imperatif dan kewajiban di dalam kewenangan Presiden dalam mengeluarkan keppres.

Hal yang berarti, Presiden menjadi harus untuk mengeluarkan keppres yang merevisi ketentuan masa jabatan yang secara keliru telah tercantum di keppres yang lama. Bayangkan jika ada putusan MK yang kemudian diterjemahkan menjadi hal yang bisa dipikirkan kemudian oleh pelaksana kebijakan untuk menyesuaikannya.

Bayangkan, jika dulu KPU berpikir ulang soal putusan MK yang mengubah logika pemilihan menjadi pilih orang dalam Pemilu 2009 dan KPU kemudian menolaknya dengan alasan hal tersebut bisa dilakukan pada pemilu berikutnya atau menjadi pilihan bagi KPU untuk melaksanakan kebijakan yang diminta tersebut.

Maka dengan seketika, akan tercipta kekacauan hukum baru dengan cara berpikir tersebut. Tidak bisa ada alasan dari Presiden untuk menolaknya, apalagi Presiden sudah pernah mencontohkannya melalui pencopotan Hendarman Supandji sebagai jaksa agung dengan keppres penunjukan pelaksana jabatan sementara pascaputusan MK yang memutus soal keabsahan jaksa agung.

Jika pada konteks jaksa agung Presiden melaksanakan putusan MK, kenapa tidak pada konteks pimpinan KPK? Persoalannya sesungguhnya bisa menjadi simpel andaikata ada kesadaran pemerintah dan DPR untuk segera merealisasikan apa yang dikehendaki melalui Putusan MK.

Apalagi secara kemanfaatan,DPR dan pemerintah sendirilah yang menyeleksi Busyro Muqoddas dan meloloskannya menjadi KPK dengan menghabiskan miliaran uang. Bagaimana bisa dalam setahun, kemampuan, kapabilitas, ke-fit-an dan ke-properannya tiba-tiba menjadi hilang dan seakan tidak layak dilanjutkan menjadi empat tahun?

Pun jika DPR menolak,maka wilayah ini bukan lagi menjadi milik DPR tetapi sudah berada pada wilayah Presiden SBY. Tentu semuanya akan menjadi lebih mudah jika Presiden SBY segera mengeluarkan keppres perbaharuan keppres lama atas diri pimpinan KPK.

Jika Presiden SBY menolak, maka mudah untuk paham bahwa siapa sesungguhnya yang “menggantung”nasib Busyro Muqoddas. Dan, tentu saja bukan Busyro semata, tetapi punya implikasi terhadap KPK dan pemberantasan korupsi itu sendiri.
ZAINAL ARIFIN MOCHTAR Dosen Ilmu Hukum Fakultas Hukum UGM Yogyakarta, Direktur PuKAT Korupsi FH UGM Yogyakarta
Tulisan ini disalin dari Koran Sindo, 22 Juni 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan