Share :Facebook Twitter; ’’Fantasmogaria’’ Penegakan Hukum di Indonesia

"Panggung penegakan hukum tak ubahnya seperti pementasan fantasmagoria, sebuah dunia yang menampilkan pemunculan wujud-wujud imajiner dan penghilangan wujud-wujud hakiki yang diakibatkan dan dikendalikan oleh hasrat kekuasaan yang begitu kuat menyelimuti panggung penegakan hukum itu sendiri."

BABAK baru penegakan hukum kasus M Nazaruddin, mantan bendahara Partai Demokrat terus bergulir. Sosok yang satu ini menjadi tersangka dalam beberapa kasus hukum yang menghebohkan, termasuk di dalamnya kasus korupsi Wisma Atlet di Palembang dan beberapa kasus korupsi lainnya yang oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ditaksir jumlah kerugian negara sekitar 6,4 triliun rupiah.

Apa yang terbaca dari kasus ini? Meski proses hukum masih terus berlanjut, tetapi ruang pemberitaan publik lebih didominasi pada dimensi-dimensi yang tidak bersentuhan dengan hukum. Sebagaimana kita ketahui bersama, M Nazaruddin pernah menulis surat kepada Presiden yang berisikan permohonan ’’suaka’’ atas nasib keluarganya dengan jaminan tidak akan membongkar fakta-fakta keterlibatan Partai Demokrat. Selain itu, Nazaruddin juga meminta pemindahan ruang tahanan dari Mako Brimob ke ruang tahanan lain dengan alasan jaminan keselamatan yang terancam.

Kedua fenomena baru yang muncul belakangan ini dapat menjadi fakta tandingan dari kasus yang sesungguhnya tentang korupsi Nazaruddin. Arus pengamatan publik kemudian bergeser dari kasus hukum menjadi cerita-cerita kemanusiaan tentang kekeluargaan dan drama keselamatan. Terlihat jelas penegakan hukum tidak sepenuhnya menggambarkan kenyataan yang ideal.

Panggung penegakan hukum tak ubahnya seperti pementasan fantasmagoria, sebuah dunia yang menampilkan pemunculan wujud-wujud imajiner dan penghilangan wujud-wujud hakiki yang diakibatkan dan dikendalikan oleh hasrat kekuasaan yang begitu kuat menyelimuti panggung penegakan hukum itu sendiri.  Fantasmagoria ini menampilkan wujud-wujud terbalik yang memungkinkan terjadinya pembelokan kenyataan pada dimensi-dimensi artifisial.

Medan Pertarungan
Adalah Michel Foucault, seorang ilmuan Prancis telah melakukan riset secara massif tentang discourse, khususnya hukum sebagai diskursus. Ilmuan dari Prancis ini menemukan sebuah kenyataan bahwa setiap wacana hukum tidak bisa dilepaskan dari beroperasinya kekuasaan tertentu (power) dan pengetahuan (knowledge) dan relasi sosial di antara keduanya yang menghasilkan keputusan hukum dan kemudian dikenal dengan keadilan (justice) dan kebenaran (truth).

 Dalam Truth and Judicial Forms, sang ilmuan melakukan pelacakan terhadap arkeologi hukum dengan melakukan skematisasi corak dan karakter konsep penegakan hukum. Dia berkesimpulan bahwa produk keadilan dan kebenaran tidak dapat dipandang semata-mata sebagai proses objektifikasi secara alamiah terhadap realitas hukum, melainkan sebuah permainan strategi, aksi dan reaksi, pertanyaan dan jawaban, dominasi dan penyisihan serta perjuangan.

Sebagai medan pertempuran, kata Foucault, diskursus penegakan hukum di dalamnya disesaki oleh peperangan (kepentingan, bahasa, perlombaan, konflik) yang memberi kesempatan dan peluang serta resiko dan bergesek dengan kepentingan baru seperti politik, ekonomi, kedudukan dan kepentingan sosial lainnya. Jadi, negosiasi akan berperang melawan upaya stabilisasi kekuasaan dan pelanggengan kepentingan yang mengitarinya. Kepentingan-kepentingan ini menghadirkan kenyataan-kenyataan imajiner untuk mendeviasi kenyataan objektif sehingga menghadirkan fakta wacana hukum baru yang sesungguhnya berbeda sama sekali.

Celakanya, lanjut Foucault, kepentingan itu berpadu antara kekuatan politik kekuasaan, daya dukung kapital dan pencitraan media sehingga mengubah wujud pengetahuan, kebenaran dan keadilan menjadi sesuatu yang sangat kompleks dan tidak lagi steril secara ilmiah dari anasir-anasir luar. Kini, kebenaran itu menjadi standar tiga dimensi; kekuasaan, kapital dan media. Dengan demikian, keadilan hukum atau kebenaran hukum menjadi sangat sumir karena telah dikuasai oleh citra-citra baru yang merupakan titik balik dari kebenaran dan keadilan hukum itu sendiri.

Mencari Langkah Baru
Persoalannya adalah, selalu ada jarak (gap) antara realitas hakiki dengan realitas citraan yang ditampilkan dan disuguhkan kepada publik melalui kolaborasi tiga dimensi tersebut, sehingga produk hukum pun tidak akan pernah sampai menyentuh pada substansi keadilan dan kebenaran. Jadi, mengutip Jean Boudlirrad, dunia hukum tengah terkurung dalam ruang simulakra, sebuah tontotan kepura-puraan yang sempurna.

Dalam dunia simulakra, bukannya proses dan mekanisme penegakan hukum tidak berjalan; ada penyelidikan dan penyidikan, proses persidangan juga berlanjut, saksi dan terdakwa juga hadir. Tidak ada yang kurang secara prosedural. Tetapi semuanya pseudo (palsu) dan false (dusta) semata, misalnya terdakwa pura-pura sakit, pura-pura lupa atau sengaja lupa.

Jadi, untuk mengungkap kebenaran dan keadilan hukum, dibutuhkan  keberpihakan kepada nilai secara sistemik untuk membingkai sistem peradilan dan struktur penegakan hukum agar mata hukum dapat terlihat secara objektif. Di sini progresivitas menjadi sangat penting untuk mengurai kompleksitas perpaduan antara kekuasaan, kapital dan media yang tengah menghantui sistem peradilan dan sistem penegakan hukum kita. Progresivitas itu dimulai dari penguatan sistem peradilan yang bertumpu pada dua hal, yakni kontrol yang kuat, dan pembenahan personalia aparat penegak hukum yang mantap agar hukum dapat berjalan secara objektif dan adil.

Penguatan sistem peradilan dilakukan dengan memaksimalkan fungsi kontrol terhadap produk-produk atau keputusan hakim. Fungsi ini secara ad hoc dilakukan oleh lembaga independen seperti Komisi Yudisial atau lembaga sosial seperti LSM atau akademisi. Pentingnya daya kontrol, untuk menjaga objektivitas keputusan hakim dari  intervensi anasir luar terhadap aparat penegak hukum.

Sementara, pembenahan aparat penegak hukum menjadi sesuatu yang sangat penting sebab di tangan merekalah warna dan corak penegakan hukum. Sejatinya, aparat penegak  hukum merupakan pribadi-pribadi yang benar-benar independen secara moral dan memiliki integritas yang bisa dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, pembenahan aparat penegak hukum ini mestinya tidak mengikuti logika ke-PNS-an secara konvensional, baik dari sisi kepangkatan maupun honorariumnya. Tetapi harus diarahkan pada penguatan basis moral dan penajaman visi penegakan hukum yang didukung oleh kesejahteraan yang cukup, sehingga ke depan mereka benar-benar menjadi benteng kokoh penegakan hukum di Indonesia. (24)

Gunarto, Wakil Rektor II Unissula, dosen Magister Hukum (S2) FH Unissula.
Tulisan ini disalin dari Suara Merdeka, 3 September 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan