Setelah Status Nunun Diumumkan.

Akhirnya Nunun Nurbaeti ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dalam kasus dugaan penyuapan pemilihan Deputi Gubernur Senior BI, Miranda Gultom beberapa hari yang lalu. Jeda antara penetapan resmi Nunun sebagai tersangka, yakni bulan Februari hingga pengumuman resmi oleh KPK pada Mei ini memang relatif lama, yakni sekitar 3 bulan.

Pengumuman itupun terasa berbeda karena disampaikan dalam rapat dengar pendapat di Komisi III DPR RI, bukan di gedung KPK sendiri melalui konferensi pers, sebagaimana lumrah berlaku. Ada informasi yang bisa dipercaya bahwa sebenarnya belum ada keputusan bulat di internal KPK untuk mengumumkan status baru Nunun sebagai tersangka kepada publik.

Hal itu didasarkan pada alasan bahwa KPK sendiri masih terus berupaya mendeteksi kepastian di negara mana Nunun tinggal sebagai bagian dari ikhtiar untuk membawa Nunun pulang ke Indonesia. Kekhawatirannya, jika KPK sudah terlanjur mengumumkan status tersangka Nunun, yang bersangkutan akan segera mencari negara baru untuk ditinggali.

Antara mengumumkan atau tidak memang membawa dilema tersendiri bagi KPK. Kasus yang lebih dikenal dengan sebutan TC (travel cheuqe) ini memang telah lama menyita perhatian publik luas, terutama karena sikap KPK yang dirasa terlalu lamban dalam memproses beberapa pihak yang diduga terlibat. Demikian pula, tuntutan para terdakwa lain yang sudah terlebih dahulu menghadapi proses persidangan di pengadilan tipikor supaya KPK segera menetapkan Nunun sebagai tersangka terus disuarakan.

Pada sisi lain, jika KPK tidak bergerak maju, usaha untuk mengungkap kasus ini secara tuntas juga mengalami hambatan besar. Sulit bagi siapapun untuk menerima jika kasus TC sudah selesai secara hukum hanya pada sisi penerima suap, yakni para anggota DPR dan mantan anggota DPR. Sementara informasi yang dimiliki Nunun merupakan potongan informasi terakhir untuk memperjelas puzzle dari kasus TC ini.

Setidaknya, jika Nunun dapat dimintai keterangan oleh KPK dalam statusnya sebagai tersangka, diharapkan akan menggerakkan jarum penegakan hukum pada aktor lain yang belum disentuh sama sekali, termasuk didalamnya Miranda Gultom yang lebih banyak menjawab tidak tahu jika diperiksa oleh penyidik KPK. Pada akhirnya, informasi dari Nunun juga akan membuktikan, apakah Miranda Gultom selama ini memberikan keterangan bohong atau tidak.

Jangan Pengadilan In Absentia
Pekerjaan rumah paska penetapan Nunun sebagai tersangka adalah bagaimana caranya supaya yang bersangkutan bisa dibawa ke Indonesia. KPK tentu saja tidak bisa bekerja sendirian. Karena Nunun masih berada di luar negeri -kemungkinan besar di Thailand dan Singapura-. KPK membutuhkan peran yang lebih besar dari Kementrian Luar Negeri dan Departemen Hukum dan HAM untuk membangun kerjasama bilateral dalam skema penegakan hukum, baik dalam payung G to G maupun konvensi PBB antikorupsi (United Nation Convention Against Corruption). Kemenlu diharapkan dapat menggunakan channel diplomatiknya untuk mengupayakan dan mendesak pemerintah negara bersangkutan untuk membantu Indonesia dalam memulangkan Nunun. Sementara Depkumham, selaku central outhority dalam kerjasama internasional, atas permintaan Mutual Legal Assistance (MLA) maupun ekstradisi dari KPK, dapat mempercepat proses administrasinya.

KPK sendiri, sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya, yakni pasal 12 ayat 1 huruf h UU No 30 tahun 2002 tentang KPK, dapat meminta bantuan interpol Indonesia maupun instansi penegak hukum di negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan dan penyitaan barang bukti di luar negeri.

Ketentuan ini diperkuat dengan pasal 41 pada UU yang sama yang menyatakan bahwa KPK dapat melaksanakan kerjasama dalam penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi dengan lembaga penegak hukum negara lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku ataupun berdasarkan perjanjian internasional yang telah diakui oleh Pemerintah Indonesia.

Dengan berbagai macam pendekatan diatas, harapan mengembalikan Nunun ke Indonesia akan lebih besar. Oleh karena itu, KPK dan counterpartsnya juga harus bisa mencegah supaya Nunun tidak mendapatkan status kewarganegaraan di negara lain. Jangan sampai Nunun akhirnya diadili secara in absentia.

Jika pengadilan in absentia ditempuh, akan ada dua kerugian besar, pertama, publik akan kehilangan kesempatan untuk mendengarkan pengakuan Nunun mengenai kasus TC yang sejelas-jelasnya. Tanpa keterangan Nunun, sulit rasanya KPK dapat menetapkan aktor lainnya sebagai tersangka baru. Kedua, secara internasional, hasil pengadilan in absentia tidak banyak diakui sehingga akan menyulitkan langkah Indonesia dalam mendorong kerjasama penegakan hukum dengan negara lainnya.
Adnan Topan Husodo, Wakil Koordinator ICW
Tulisan ini disalin dari Kompas, 30 mei 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan