Sertifikat Antipenyuapan
Friday, 07 July 2017 - 00:00
Operasi tangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap oknum Badan Pemeriksa Keuangan seyogianya dijadikan momentum bagi BPK untuk berbenah diri. Pada saat bersamaan, kita perlu memberi peluang bagi implementasi SNI ISO 37001 Sistem Manajemen Antipenyuapan sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2016.
Inpres No 10/2016 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi antara lain telah menginstruksikan kepada Badan Standardisasi Nasional (BSN) agar membangun infrastruktur sampai terbitnya sertifikat ISO 37001 Sistem Manajemen Antipenyuapan. Instruksi itu berasal dari keprihatinan Presiden Joko Widodo terhadap anjloknya peringkat daya saing Indonesia yang dikeluarkan Forum Ekonomi Dunia tahun lalu yang menurun drastis dari posisi ke-37 ke posisi ke-41.
Dari 16 faktor yang menyebabkan penurunan indeks, korupsi menduduki urutan teratas, diikuti inefisiensi birokrasi pemerintah, sedangkan kejahatan dan pencurian di urutan ke-14. Hal ini membuktikan korupsi menjadi ancaman terbesar kekalahan daya saing Indonesia di mata dunia.
Penurunan peringkat juga terjadi di bidang tata kelola perusahaan (corporate governance) yang dikeluarkan Asian Corporate Governance Association tahun 2016. Indonesia berada di urutan buncit dari 11 negara, di bawah Filipina, sementara Malaysia di urutan keenam. Musabab utama karena tata kelola (governance) hanya dipandang sebagai nilai etik belaka dan tak ada sanksi atas pelanggaran kaidah governance.Karena itu, risiko suap yang seharusnya bisa dicegah lewat kaidah governance menjadi terabaikan. Klimaks penurunan peringkat terjadi pada Indeks Persepsi Korupsi olehTransparansi Internasional yang menurun dari peringkat ke-88 menjadi peringkat ke-90.
Perlu terobosan
Berdasarkan ketiga fakta di atas, rasanya sulit mengharapkan tiga pilar negara, yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif, untuk secara serius memberantas korupsi. Mereka bahkan terkesan merawat pertumbuhan korupsi apabila dilihat dari terus bertambahnya jumlah pesakitan yang berasal dari ketiga pilar tersebut. Diperlukan terobosan di luar sistem pemerintahan, yaitu dengan mengadopsi standar internasional yang selama ini digunakan dunia swasta dalam menata persaingan bisnis yang dikenal dengan standar ISO (International Organization for Standardization).
Indonesia telah menjadi anggota organisasi ISO di bawah PBB sejak 1954 dan telah mengadopsi ratusan standar dari 20.000 standar yang diterbitkan ISO. Penerapan standar ISO bersifat mandatori atau sukarela sesuai kebutuhan di setiap negara. Pola standardisasi tidak jarang digunakan untuk membatasi masuknya produk asing agar tidak membanjiri pasar dalam negeri (entry barrier), seperti Amerika Serikat (AS) sudah mensyaratkan ISO 37001 bagi produk ritel untuk masuk pasar AS. Adapun Malaysia telah menerapkannya untuk industri berisiko tinggi, seperti konstruksi.
ISO 37001 yang telah diadopsi BSN menjadi SNI ISO 37001 dapat digunakan untuk mengakses sistem manajemen antipenyuapan di instansi pemerintah, swasta, dan lembaga nonprofit. ISO 37001 semula digagas Inggris yang telah memiliki standar sendiri tentang antipenyuapan, yakni BS 10500. British Standard sering kali menjadi rujukan di kalangan negara persemakmuran sehingga tidak jarang sering menjadi rujukan dalam pembuatan standar oleh ISO.
Gagasan Inggris itu dilatarbelakangi keprihatinan atas masih banyaknya penyuapan di dunia kendati telah banyak yang dihukum berdasarkan UU Antisuap dan Korupsi (Anti-Bribery and Corruption Act). Kasus terakhir menyeret Rolls-Royce yang telah menyuap direktur utama Garuda Indonesia ketika itu. Gagasan Inggris tersebut mendapat dukungan kuat dari AS setelah menimbang kurang efektifnya Foreign Corrupt Practices Act dalam memberantas penyuapan di dunia meski telah banyak perusahaan multinasional yang diganjar denda jutaan dollar AS, seperti Alstom karena terbukti menyuap antara lain dalam pengadaan proyek listrik tenaga uap Tarahan di Indonesia.
Di tengah usaha berbagai negara yang bahu-membahu mencegah korupsi, sangat ironis oknum lembaga tinggi negara BPK malah tertangkap tangan menerima suap oleh KPK. Peristiwa tersebut seolah membenarkan sinyalemen publik selama ini bahwa opini wajar tanpa pengecualian (WTP) oleh BPK dapat diperjualbelikan. Akibatnya, kepercayaan publik terhadap opini BPK menjadi pudar. Bisa jadi, opini WTP oleh BPK terhadap suatu instansi tak menjamin bebas korupsi. Atau sebaliknya, opini wajar dengan pengecualian oleh BPK belum tentu ada unsur korupsinya.
Opini hasil audit BPK seyogianya sama kuatnya dengan putusan Mahkamah Agung meski bukan produk yang diproses secara berjenjang, seperti putusan pengadilan. Akan tetapi, karena opini tersebut produk lembaga tinggi negara, seyogianya menjadi harga mati seperti NKRI. Oleh karena itu, harus ada tindakan korektif yang konkret oleh BPK. DPR semestinya bisa melakukan tindakan korektif apabila BPK enggan.
Bahkan, sebenarnya jauh-jauh hari OTT tak akan terjadi jika DPR menggunakan haknya untuk mendesak BPK agar mematuhi rekomendasi hasil review BPK Belanda, Algemene Rekenkamer, pada 2009 dan review BPK Polandia, Najwyzsza Izba Kontroli,pada 2014. Kedua review telah secara jelas menunjuk secara spesifik kelemahan kinerja BPK. Mungkin ada baiknya DPR merekomendasikan moratorium secara terbatas kepada BPK untuk berbenah diri. Selanjutnya meminta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk menggantikan BPK sementara waktu. Hal itu akan membuka peluang bagi asesor yang terakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional turut mengkaji ulang Sistem Management Antipenyuapan di instansi pemerintah berdasarkan SNI ISO 37001.
Berikut beberapa hal yang perlu menjadi pertimbangan dalam membangun infrastruktur agar sertifikasi SNI ISO 37001 tak mengalami nasib sama seperti opini BPK. Pertama, harus dibangun pemahaman prima di kalangan asesor bahwa sertifikat SNI ISO 37001 tidak sama dengan sertifikat SNI ISO lain. Ia memiliki nilai strategis untuk memperbaiki bangsa dari keterpurukan. Mungkin setara dengan rekomendasi KPK pada fungsi pencegahan.
Kedua, integritas asesor harus menjadi standar utama penilaian (assessment) yang sebisa mungkin mendekati integritas penyidik KPK. Bilamana perlu, akreditasi asesor SNI ISO 37001 diberikan secara sangat selektif. Ketiga, sekali sertifikat SNI ISO 37001 dikeluarkan oleh asesor, harus bisa dipastikan tak akan ada kasus penyuapan. Dalam bahasa KPK, keputusan KPK menetapkan seseorang sebagai tersangka tidak akan pernah dicabut kembali. Karena itu, peranan Asosiasi Profesi Asesor menjadi sangat strategis dalam menjamin tegaknya etika profesi.
Standar etika yang sama harus juga diterapkan dalam menerbitkan sertifikasi SNI ISO 37001 terhadap perusahaan swasta karena sertifikat itu memiliki fungsi strategis dapat menjadi tameng bagi perusahaan swasta untuk lepas dari jerat UU Tipikor berdasarkan Pasal 4 Ayat (2) Peraturan MA No 13/2016. "Dalam menjatuhkan pidana terhadap korporasi, hakim dapat menilai kesalahan korporasi . (bila) korporasi tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk melakukan pencegahan, mencegah dampak yang lebih besar dan memastikan kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang berlaku guna menghindari terjadinya tindak pidana."
Dalam dinamika sertifikasi selalu timbul dilema bagi pihak yang diases, apakah keterbukaannya tak akan menimbulkan risiko hukum terjerat UU Tipikor, mengingat peraturan MA tak mungkin mengeliminasi UU Tipikor. Untuk menghindari keraguan itu, kiranya perlu dibuat kebijakan transisi berupa pemutihan, seperti amnesti pajak. Kebijakan pemutihan yang saat ini sedang populer di dunia untuk menghindari Foreign Corrupt Practices Act dikenal dengan disgorgement. Pengakuan menyuap dengan risiko membayar denda setengah dari kewajiban denda yang jumlahnya 2 (dua) kali keuntungan atau 2 (dua) kali kerugian yang dialami perusahaan yang melakukan suap. Itu sebabnya mengapa denda kepada Alstom sangat besar, yakni 772 juta dollar AS.
Selanjutnya, mengingat perbandingan skala organisasi antara instansi pemerintah berbeda jauh dengan skala organisasi perusahaan swasta, apalagi dengan lembaga nonprofit, kiranya perlu dibuat peringkat sertifikat sesuai besaran organisasi yang diases. Hak itu sangat dimungkinkan sesuai kebutuhan masing-masing negara karena pada dasarnya hukum di masing-masing negara yang akan mengikat dalam menerapkan ISO. Mengingat kompleksitas yang begitu tinggi dalam penerapan ISO 37001, masa penerapannya di Tiongkok membutuhkan waktu persiapan tiga tahun.
Standardisasi tata kelola
Salah satu pembahasan yang cukup intens pada pertemuan internasional tentang ISO 37001 yang dihadiri oleh instansi setingkat BSN di negara-negara anggota ISO yang baru-baru ini dilaksanakan di Quebec, Kanada, akhir Mei lalu, adalah tentang rancangan standardisasi tata kelola (governance). Diperkirakan terdapat lebih dari 500 kaidah governance di seluruh dunia dengan pendekatan yang berbeda sesuai kebutuhan sektoral.
Industri perbankan di dunia menggunakan standar Basel, sementara negara-negara maju menggunakan kaidah Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), dan seterusnya. Oleh karena itu, dirasa perlu membuat standar ISO tentang governance yang bersifat umum yang diperkirakan akan rampung dalam waktu tiga tahun mendatang.
Beberapa kesimpulan dari pertemuan internasional ISO tersebut yang membedakan governance dengan management adalah: (1) governance bukan management. Masing-masing merupakan disiplin yang berdiri sendiri, (2) management lebih berorientasi pada target yang telah dirumuskan oleh direksi (doing the things right), misalnya mencari keuntungan sebanyak-banyaknya. Adapun governance berorientasi pada kebenaran proses dalam mencapai target (doing the right things).
Selanjutnya, (3) management lebih fokus pada kepentingan pemangku kepentingan (shareholder) yang tak jarang mengabaikan kepentingan masyarakat sekitar daerah industri, sementara governance lebih fokus pada kepentingan stakeholder,(4) kebijakan governance harus memiliki pijakan legal dan moral.
Di Indonesia, pedoman governance dikeluarkan oleh Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) yang telah dibentuk sejak 1999 di bawah Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Pedoman tersebut baru mengikat setelah diturunkan pada tingkat kementerian, misalnya Peraturan Menteri BUMN No Per-01/MBU/2011 tentang PenerapanGCG pada BUMN, tetapi belum dirasakan manfaatnya karena hampir tak ada sangsi atas kekurangpatuhan terhadap peraturan tersebut.
Di samping itu, ada aturan dalam UU Investasi No 25/2007 Pasal 15 yang mewajibkan setiap penanaman modal menerapkan governance dengan berbagai peringkat sanksi, mulai dari peringatan tertulis sampai pencabutan fasilitas penanaman modal. Namun, belum pernah diterapkan karena ketiadaan aturan yang mengikat yang dikeluarkan kepala BKPM. Mungkin kedua contoh di atas dapat menjawab mengapa peringkat Indonesia paling rendah di antara negara-negara Asia berdasarkan survei Asian Corporate Governance Association. Hal itu pada gilirannya berdampak signifikan terhadap menurunnya daya saing kita yang menjadi keprihatinan Presiden sehingga mengeluarkan Inpres No 10/2016.
ADNAN PANDU PRAJA, Anggota KNKG, Mantan Komisioner KPK dan Kompolnas
-----------------------
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 7 Juli 2017, di halaman 6 dengan judul "Sertifikat Antipenyuapan".