Serangan Senayan terhadap KPK

Pertemuan konsultasi pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),kepolisian,dan kejaksaan di Gedung DPR, Senayan, Jakarta (3/10/2011) lagi-lagi menyulut kontroversi di ruang publik.

Pimpinan Komisi III DPR lagi-lagi melakukan ”serangan” kepada KPK lantaran memeriksa empat pimpinan Badan Anggaran (Banggar) DPR sebagai saksi kasus dugaan suap di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans). Wakil Ketua Komisi III DPR Fahri Hamzah mengaku dirinya mewacanakan pembubaran KPK karena tidak percaya dengan lembaga superbodi dalam negara demokrasi dan biasanya tidak bisa diawasi.

Meski lontaran ini disayangkan oleh Ketua Dewan Syariah PKS Surahman Hidayat bahwa itu sikap pribadi, bukan pandangan PKS, rasa keadilan publik yang begitu benci perilaku korupsi sudah dicederai. Dalam negara demokrasi, hukum memang selalu ditempatkan sebagai panglima. Hal ini pun ditegaskan dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 bahwa negara Indonesia adalah negara hukum.

Kehadiran KPK yang didesain sebagai lembaga superbodi merupakan implementasi dari negara hukum dalam negara demokrasi. Sebab salah satu yang membuat demokrasi bobrok adalah lantaran dibumbui perilaku korup para pelakon demokrasi. Agar penanganan kasus korupsi bisa lebih efektif dan berefek jera sebagai kejahatan luar biasa (extra-ordinary crime), hal itu harus dilakukan secara luar biasa pula.

Makanya KPK diberi wewenang superbesar dibandingkan dengan yang diberikan kepada kepolisian dan kejaksaan. KPK harus tetap hidup dan kuat untuk membongkar jaringan mafia yang menggerogoti uang rakyat. Serangan sejumlah politisi Senayan terhadap KPK boleh jadi buah dari kegelisahan kalau tidak dapat dikatakan “ketakutan” lantaran KPK selama ini banyak memenjarakan anggota DPR atas kasus korupsi.

Survei terbaru Lingkaran Survei Indonesia yang dipublikasikan Minggu (2/10) memang tidak terlalu mengejutkan karena sebelumnya memang sudah diprediksi hasilnya, tetapi tetap membuat hati kita miris dan bersedih.Betapa tidak, dugaan keterlibatan anggota Banggar DPR dalam korupsi berjamaah atas sejumlah proyek negara telah memperburuk citra perpolitikan (baca: politisi) di Indonesia.

Masyarakat menilai keterpurukan citra politik di Indonesia karena politik terkesan hanya alat melakukan korupsi berjamaah untuk kepentingan individu atau partai. Hasil survei ini juga menunjukkan, Banggar DPR memegang posisi sentral dalam dugaan penyelewengan anggaran negara lintas sektor. Bahkan, disinyalir sebagai sasaran empuk para broker atau calo penyelewengan anggaran lintas partai politik.

Jaga Uang Rakyat
Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) di acara Jakarta Lawyer Club (JLC) bulan lalu menegaskan bahwa yang dikorupsi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah anggaran untuk belanja barang (BB) dan belanjamodal(BM) yangsangat minim dibandingkan dengan belanja pegawai dan belanja untuk membayar utang negara. Jika ini betul dan bisa dibuktikan KPK,tentu hal itu membuat rakyat semakin risau.

Dugaan adanya mafia anggaran yang ditandai permainan fee proyek yang diduga melibatkan oknum anggota DPR, broker atau calo, dan oknum kementerian negara harus dibuat terang oleh KPK agar bisa menjadi fakta hukum. Dana APBN harus dijaga ketat dan disterilkan dari tangan-tangan pencoleng sebagai sistem alokasi anggaran dan belanja negara yang sebagian besar diperoleh dari pajak dan devisa.

Korupsi pada sektor anggaran BB dan BM akan menyengsarakan rakyat lantaran roda pembangunan di semua sektor akan terhambat,terutama pada pendanaan hajat hidup orang banyak.Fenomena yang memprihatinkan ini semakin mengkhawatirkan, kepada siapa lagi rakyat berharap untuk mengefektifkan pemanfaatan dana APBN kalau bukan kepada wakilnya yang ada di Senayan?

Keinginan politisi untuk mengembalikan dana yang dikeluarkan saat pencalonan dalam proses pemilu legislatif, eksekutif,dan pengisian jabatan politik lainnya tentu sah-sah saja.Tapi mestinya hal itu tidak dikeruk dari dana APBN dan APBD dengan cara yang tidak halal. Sebab jika dihitung penghasilan yang diperoleh saat menduduki jabatan, dipastikan tidak akan cukup menutupi besar dana yang dikeluarkan sebelumnya.

Sudah menjadi rahasia umum, ongkos untuk menduduki jabatan politik begitu besar sehingga integritas moral menjadi penting untuk menutup niat, apalagi mewujudkan niatnya mengorupsi uang rakyat. Integritas moral politisi kita menjadi taruhan, jangan menggadai harapan rakyat di atas kepentingan sendiri dan golongan. Sudah waktunya rakyat melakukan ”aksi konkret” yang bisa membuat koruptor dan calon koruptor bergetar nyalinya.

Caranya harus lebih bermakna, bukan menduduki Gedung DPR atau aksi kekerasan seperti yang dilakukan teroris. Misalnya, tindakan positif Indonesia Parliamentary Center yang mengadukan tingkah laku anggota Banggar DPR ke Badan Kehormatan DPR. Cara yang lebih progresif dilakukan oleh Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Laode Ida bersama fungsionaris Partai Golkar Zainal Bintang.

Keduanya mendirikan Posko Pengaduan Praktik MafiaAnggaran DPR.Hasilnya justru mencengangkan, karena baru dua hari dibuka,puluhan pengaduan masuk, antara lain laporan yang menduga adanya keterlibatan 10 anggota DPR dalam persekongkolan pembahasan APBN. Cara lain bisa juga mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi terhadap undang-undang Susduk MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang mengatur hak dan kewajiban DPR.

Lebih konkret lagi, jangan bergaul dengan koruptor dan keluarganya sebagai ”sanksi sosial”,termasuk tidak memilih ”politisi busuk” dalam pemilu legislatif dan eksekutif mendatang. Bahkan, penerapan pembuktian terbalik dan pemiskinan harus diperkuat dalam revisi undangundang KPK dan undangundang korupsi.●

MARWAN MAS, Dosen Ilmu Hukum dan Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas 45, Makassar
Tulisan ini disalin dari Koran Sindo, 14 Oktober 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan