Serangan Balik Anggodo kepada Bibit-Chandra

IBARAT olahraga tinju, sejak pemutaran rekaman pembicaraan upaya rekayasa terhadap Bibit S. Rianto dan Chandra M. Hamzah di Mahkamah Konstitusi, Anggodo Widjojo berupaya memasang double cover di pojok ring. Meski dihujani pukulan bertubi-tubi, Anggodo mampu bertahan sehingga pertandingan tidak berakhir knockout (KO).

Bagaimanapun, jika seorang petinju bertahan lebih lama, kesempatan untuk memukul balik tetap terbuka. Karena itu, tidak jarang seorang petinju yang tersudut sejak awal akhirnya menemukan napas baru (second wind) pada ronde-rode terakhir sehingga justru mampu memukul jatuh lawannya.

Napas baru itu, rupanya, didapat Anggodo ketika permohonan gugatan praperadilan yang diajukannya dikabulkan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan (19/4). Meski hanya sebagian permohonan Anggodo yang dikabulkan, perintah hakim Nugroho Setyadi supaya kejaksaan melimpahkan berkas perkara Bibit-Chandra ke pengadilan memberikan tenaga berlipat bagi Anggodo. Dengan kondisi tersebut, bukan mustahil Bibit-Chandra akan menyudahi pertandingan dengan kekalahan KO. Sekiranya itu terjadi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan terpenjara dalam waktu yang cukup lama.

Tanda-tanda kekalahan KO yang akan diderita dua pimpinan KPK tersebut dapat dibaca dari putusan praperadilan PN Jakarta Selatan yang secara tegas menyatakan bahwa penerbitan surat keterangan penghentian penuntutan (SKPP) merupakan perbuatan melawan hukum. Hakim Nugroho Setyadi mengambil kesimpulan itu karena alasan memenuhi asas equality before the law sebagai salah satu prinsip penting dalam negara hukum (rechtsstaat). Dalam pandangan hakim Nugroho Setyadi, penghentian penututan hanya dapat dilakukan dengan alasan: nebis in idem, terdakwa meninggal dunia, atau perkara lewat waktu atau kedaluwarsa.

SKPP Tidak Tepat
Jika ditelusuri jauh ke belakang, sebelum kejaksaan menerbitkan SKPP, Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyatakan bahwa cukup kuat indikasi rekayasa atas kasus Bibit-Chandra. Bukan hanya itu, fakta yang ditemukan Tim Delapan juga memperkuat pendapat MK. Artinya, praktik rekayasa di pusaran skandal Bibit-Chandra sulit dibantah.

Karena pendapat itu, kejaksaan menjadi kehilangan argumentasi untuk tetap melimpahkan kasus Bibit-Chandra. Tidak hanya itu, desakan publik menjadi semakin kuat untuk tidak melimpahkan kasus Bibit-Chandra ke pengadilan. Dengan fakta itu, penutupan kasus Bibit-Chandra tidak terhindarkan.

Tetapi, yang agak panjang diperdebatkan adalah pilihan instrumen hukum yang akan digunakan untuk menutup kasus Bibit-Chandra. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), instrumen yang dapat digunakan untuk menutup sebuah perkara adalah (1) surat perintah penghentian penyidikan (SP3); (2) SKPP; dan (3) mengabaikan proses pidana (deponeering).

Seharusnya, kejaksaan mempertimbangkan secara seksama ketiga pilihan tersebut, terutama menghindari kemungkinan adanya perlawanan. Di antara ketiga pilihan itu, menurut pandangan pakar hukum pidana dari Universitas Gadjah Mada, Eddy OS Hiariej (2009), secara hukum alasan menerbitkan SKPP sama dengan alasan menerbitkan SP3. Yaitu, (1) tidak terdapat cukup bukti, (2) sebuah peristiwa bukan merupakan tindak pidana, atau (3) dihentikan demi hukum.

Khusus untuk alasan ''dihentikan demi hukum'', Hiariej merujuk pada KUHP dan doktrin. Dihentikan demi hukum dapat diberikan terkait larangan menuntut seseorang lebih dari satu kali dalam perkara yang sama, kedaluwarsa, atau terdakwa meninggal dunia.

Merujuk pendapat Hiariej itu, dalam kasus Bibit-Chandra, alasan menggunakan instrumen SP3 dan SKPP dapat dikatakan tak relevan. Sebab, kejaksaan pernah mengemukakan dalam beberapa kesempatan bahwa mereka mempunyai alat bukti yang kuat dalam indikasi tindak pidana yang dilakukan Bibit-Chandra. Karena itu, menjadi sulit untuk dimengerti dan dipahami mengapa kejaksaan tetap bersikukuh menutup kasus Bibit-Chandra dengan menggunakan instrumen SKPP.

Sebetulnya, jika ditelusuri lebih jauh, kejaksaan agak ragu menerbitkan SKPP sehingga menggunakan ''alasan tambahan'' berupa alasan sosiologis untuk menutup kasus Bibit-Chandra. Alasan sosiologis yang digunakan, yaitu (1) adanya suasana kebatinan yang berkembang saat itu sehingga membuat perkara Bibit-Chandra tak layak dilimpahkan ke pengadilan karena lebih banyak mudarat daripada manfaatnya; (2) menjaga keterpaduan/harmonisasi lembaga penegak hukum (kejaksaan, polisi, dan KPK) dalam menjalankan tugas agenda pemberantasan korupsi sebagai alasan doktrinal yang dinamis dalam hukum pidana; (3) masyarakat memandang perbuatan Bibit-Chandra tidak layak dipertanggungjawabkan karena perbuatan mereka dalam rangka melaksanakan tugas dan wewenang memberantas korupsi yang membutuhkan terobosan.

Merujuk putusan praperadilan PN Jakarta Selatan, sebetulnya hakim Nugroho Setyadi tidak menolak penggunaan alasan sosiologis. Tapi, dengan mengutip pandangan M. Yahya Harahap, hakim Hugrono Setyadi berpendirian bahwa alasan sosiologis hanya dapat digunakan bila kejaksaan memilih instrumen berupa pengabaian proses pidana (deponeering). Dasar hukumnya, pasal 35 huruf c UU No 16/2004 tentang Kejaksaan yang menegaskan bahwa jaksa agung berwenang untuk mengesampingkan perkara demi kepentingan umum. Selain bernilai yuridis, penggunaan deponeering demi kepentingan umum menjadi alasan sosiologis yang tak terbantahkan.

Corong Undang-Undang
Ketidaktepatan memilih instrumen hukum dalam menghentikan kasus Bibit-Chandra tidak begitu saja membenarkan putusan praperadilan PN Jakarta Selatan. Bagaimanapun, menolak alasan sosiologis menjadi bukti bahwa hakim tidak bisa keluar dari perangkap corong undang-undang. Biasanya, hakim yang menempatkan dirinya sebagai corong undang-undang lebih menekankan pada salah satu aspek dari tujuan hukum, yaitu aspek kepastian hukum. Padahal, putusan hakim juga harus mampu memenuhi aspek kemanfaatan dan rasa keadilan.

Sulit dibantah bahwa putusan praperadilan yang mengabulkan gugatan Anggodo tidak memperhatikan kemanfaatan dari penerbitan SKPP. Dalam hal ini, SKPP bagi Bibit-Chandra jelas memberikan manfaat besar bagi masa depan agenda pemberantasan korupsi. Manfaat itu menjadi keniscayaan dengan pendapat MK dan Tim Delapan yang membenarkan adanya rekayasa kasus Bibit-Chandra yang berdampak secara langsung kepada kinerja KPK dalam melanjutkan agenda pemberantasan korupsi. Publik mengetahui, selama rekayasa terhadap kasus Bibit-Chandra, KPK kehilangan fokus dalam menangani skandal korupsi. Jika mau jujur, dampak rekayasa tersebut masih belum sepenuhnya berlalu di lingkungan KPK.

Begitu pula halnya dengan pemenuhan rasa keadilan. Putusan praperadilan dapat dikatakan mencabik-cabik rasa keadilan masyarakat. Bagaimanapun, putusan praperadilan PN Jakarta Selatan tersebut menguatkan pandangan yang beredar selama ini: super-Anggodo.

Khusus bagi kelompok masyarakat yang dulu berada di belakang Bibit-Chandra, ketukan palu hakim praperadilan, bisa jadi, merupakan tamparan hebat. Celakanya, rasa keadilan yang sempat dicicipi setelah kejaksaan menerbitkan SKPP tiba-tiba direnggut palu hakim yang tidak mampu membebaskan diri sebagai corong undang-undang.

Tamparan yang membunuh rasa keadilan itu terasa makin menyakitkan karena hakim memberikan tafsir lebih luas guna membenarkan Anggodo memiliki legal standing (kedudukan hukum) untuk mengajukan praperadilan terhadap SKPP Bibit-Chandra. Menurut pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia (UI) Rudi Satrio, Anggodo tak mempunyai legal standing untuk mengajukan permohonan praperadilan SKPP Bibit-Chandra. Berdasar pasal 80 KUHAP, tambah Rudi Satrio, Anggodo tak termasuk kualifikasi sebagai pihak ketiga yang berkepentingan (Republika, 25/4).

Pertanyaan mendasarnya, dalam urusan legal standing Anggodo, mengapa hakim tidak keberatan menggunakan tafsir lebih longgar? Sementara itu, untuk alasan sosiologis yang digunakan kejaksaan, mengapa hakim menjadi begitu legalistik dan hanya menjadi corong undang-undang?

Mematikan KPK
Dalam konteks lebih luas, napas baru yang digapai Anggodo tidak hanya akan memukul KO Bibit-Chandra, melainkan juga menjadi serangan mematikan bagi KPK. Meskipun menegaskan akan mengajukan banding atas putusan PN Jakarta Selatan, pilihan itu potensial menjadi kesalahan kedua pihak kejaksaan.

Kesalahan itu dapat terjadi jika jaksa gagal (lagi) menjelaskan alasan sosiologis penerbitan SKPP. Tidak hanya itu, upaya memperkuat alasan sosiologis tetap akan gagal sekiranya hakim tingkat banding tidak mampu keluar dari jebakan corong undang-undang.

Rasanya, peluang agak lebih besar yang seharusnya dioptimalkan kejaksaan ialah menggugat kembali argumentasi hakim yang membenarkan legal standing Anggodo. Merujuk pasal 80 KUHAP, mempersoalkan keabsahan legal standing Anggodo punya peluang lebih besar untuk diterima hakim jika dibandingkan dengan alasan sosiologis. Setidaknya merujuk pendapat Rudi Satrio di atas, Anggodo tidak masuk kualifikasi pihak ketiga yang berkepentingan lantaran bukan saksi atau korban dari kasus yang dialami Bibit-Chandra.

Namun, pilihan untuk mengajukan banding dapat dikatakan sebagai ''perjudian besar''. Jika banding nanti dikabulkan, tentunya tidak akan ada persoalan. Yang perlu diperhitungkan secara seksama, sekiranya di tingkat banding argumentasi kejaksaan tetap ditolak hakim, beban yang ditimbulkan akan menjadi lebih berat. Dampaknya tak hanya terhadap Bibit-Chandra, tetapi juga akan memberikan guncangan hebat bagi KPK. Sekiranya itu terjadi, KPK akan mati dini.

Agar kematian tersebut tidak benar-benar terjadi, bakal jauh lebih baik bagi kejaksaan memilih alternatif menerbitkan deponeering. Ibarat pepatah, ''tersesat di ujung jalan, kembali ke pangkal jalan''. Agar serangan balik Anggodo tidak membunuh KPK, jauh lebih baik bagi kejaksaan kembali ke pangkal jalan, yaitu mengabaikan proses pidana dengan menggunakan hak deponeering.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Andalas (Unand), Padang
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 26 April 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan