Serambi Korupsi

Selasa (3/7/2018) malam, suasana di Aceh kelam dan mencekam. Beredar kabar dari grup Whatsapp terkait penangkapan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf dan Bupati Bener Meriah, Ahmadi, oleh KPK di dua tempat berbeda.

Berita ini langsung memberikan keterkejutan yang dalam bagi publik Aceh. Bagaimana tidak, Irwandi dan Ahmadi adalah kepala daerah terpilih pada pilkada serentak 15 Februari 2017. Saat pelantikannya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) turut menghadirinya pada 5 Juli 2017. Jokowi khusus transit ke Banda Aceh hanya untuk memberikan ucapan selamat sebelum melanjutkan lawatan ke luar negeri.

Kemenangan saat itu disambut optimisme akan hadirnya mimpi “Aceh Hebat”, seperti 15 janji kampanyenya. Publik merasa pasangan ini dapat memutus mata-rantai involusi politik di Aceh, dari era damai pascakonflik menuju konsolidasi demokrasi dan pembangunan. Maklum, 10 tahun terakhir, Aceh masih berada pada situasi transisi damai yang belum menunjukkan perubahan yang melesat.
Padahal pelbagai insentif regulasi-politik-ekonomi didapatkan untuk membangun daerah yang juga terkenal dengan istilah Serambi Mekah ini.

Transisi berlanjut
Apa daya, tertangkapnya dua kepala daerah dari Aceh itu menjadi penanda terhambatnya konsolidasi demokrasi dan pembangunan dalam waktu dekat. Aceh sendiri sejak era konflik dan pascaperdamaian tak kunjung mampu melakukan upaya rekonsolidasi demokrasi lokal yang khas.

Pelbagai praktik predatoris kuasa politik-ekonomi mulai terjadi sejak perdamaian bergulir beberapa tahun. Arus filantropi global untuk tsunami dan pemulihan konflik di satu sisi, bertubrukan dengan politik demokratisasi lokal di sisi yang lain, menghasilkan anomali yang memacetkan hadirnya pemerintahan bersih, mandiri, dan demokratis (Tornquist, 2010; Crouch, 2010, Stoke 2009)

Yang paling nyata terlihat pada indeks korupsi Aceh yang terus berada pada angka lima besar. Sejak tiga tahun pasca-perdamaian, perilaku koruptif-manipulatif birokrasi-pemerintahan mulai tumbuh di Aceh.
Mulai dari pengelolaan anggaran rehabilitasi dan rekonstruksi, akuntabilitas pencairan dana reintegrasi, realisasi dan pemihakan program ABPD, politik anggaran otonomi khusus, izin pengelolaan lahan dan hutan, dana pendidikan, hingga hal-hal yang berhubungan dengan pembinaan Syariat Islam.

Di daerah basis konflik di Aceh, pola perbanditan politik (political banditry/Bandidos) – memakai konsep Richard W Slatta – cukup nyata, dilakukan oleh “tangan-tangan tidak terlihat” dalam wujud pajak nanggroe dan peng (uang) perjuangan. Di daerah dataran tinggi Gayo-Alas, praktik korupsi melibatkan kaum oligarkis dari struktur politik yang sudah mengakar sejak era Orde Baru.

Survei Transparency International Indonesia (TII) pada 2010 menempatkan Aceh sebagai provinsi terkorup di Indonesia. Dua tahun setelahnya, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Aceh hanya “naik kelas” menjadi nomor dua terkorup. Sayang, penindakan kasus korupsi cukup minim saat itu, sehingga tidak mengoreksi IPK.
Pada 2009, KPK hanya menangani satu kasus korupsi mantan bupati Aceh Tenggara. Pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono selama dua periode, hanya ada satu kasus mayor yang ditangani di Aceh sekaligus pekerjaan pertama KPK, yaitu menangkap gubernur Aceh saat itu, Abdullah Puteh (Teuku Kemal Fasya, Jangan Lepaskan Puteh, Kompas, 8/12/2004)

Tuba dana otsus
Demikian pula politik anggaran otonomi khusus (otsus). Sejak diluncurkan pada 2008, anggaran otsus Aceh tidak menjadi obat mujarab kesejahteraan sosial-kultural, malah menjadi tuba mematikan daya berpemerintahan yang transparan dan akuntabel. Dana otsus menjadi hidangan “makan siang bersama” (meuramin) di tingkat birokrasi, kekuatan politik lokal utama, dan kontraktor (Aspinall, Combatans to Contractors: The Political Economy of Peace in Aceh, SEAP Indonesia, April 2009).

Hingga 2017, Rp 56,67 triliun anggaran kompensasi perdamaian itu telah membasahi bumi Aceh, tapi tidak menyejukkan. Pada terminal terakhir 2027, Aceh akan diguyur dana otsus Rp 163 triliun.

Hasil riset penulis bekerja sama dengan Kementerian Dalam Negeri pada 2016 tentang evaluasi pengelolaan politik dana otsus Aceh menunjukkan kurva terbalik terhadap visi kesejahteraan dan politik emansipasi pembangunan.
Implementasi dana otsus menunjukkan lemahnya monitoring, program tidak tepat sasaran, pembangunan terlantar, praktik korupsi, tidak partisipatif, dan hanya dinikmati lingkaran eksklusif pemerintah lokal.

Hal ini akhirnya berdampak pada meluasnya perusakan lingkungan dan sumber agraria, kesenjangan dan kemiskinan semakin mendalam, pemborosan anggaran, merosotnya moral pengelolaan dana negara, dan kecemburuan sosial. Jika tidak diantisipasi, Aceh akan menghadapi gelombang konflik sosial dan politik lebih besar di masa datang (Teuku Kemal Fasya, Kiamat Aceh 2028, Kompas, 29/10/2016). Aroma sangit mulai terasa saat ini; Aceh menjadi provinsi termiskin di Sumatera dan keenam se-Indonesia (Institute for Development of Acehnese Society/IdeAS, 2017).

Kasus ini mengisyaratkan beberapa hal. Pertama, tidak ada orang yang bisa selamat dari perilaku koruptif, siapapun dan dari daerah manapun dia berasal. Cepat atau lambat, bangkai korupsi akan tercium juga.

Kedua, pengungkapan kasus ini akan memberikan terapi kejut sehingga bisa berdampak trauma politik. Tujuannya tentu agar politik anggaran ke depan lebih adil, partisipatif, dan menyejahterakan rakyat.

Ketiga, tertangkapnya Irwandi bisa menjadi pintu masuk bersih-bersih pemerintahan Aceh. Beberapa kasus besar seperti dana hibah eks kombatan Rp. 650 miliar, kasus perizinan bermasalah lahan gambut Rawa Tripa, kasus korupsi beasiswa yang menjerat beberapa anggota DPR Aceh saat ini, layak dibongkar hingga ke akar serabutnya. Tanpa usaha fundamental, Aceh akan diingat sebagai Serambi Korupsi, dibandingkan kisah kejayaannya di masa lalu.

Teuku Kemal Fasya, Dosen Antropologi FISIP Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh

Tulisan ini disalin dari Harian Kompas, 6 Juli 2018

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan