Sengsarakan Koruptor

Peringatan hari kemerdekaan senantiasa membawa kegembiraan bagi para penjahat melalui pemberian grasi dan amnesti oleh Presiden, tak terkecuali bagi para koruptor.

Tahun ini ada 58.400 orang napi, dan 341 di antaranya koruptor, diberi remisi. Beberapa di antaranya adalah mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia Aulia Pohan yang memperoleh diskon hukuman tiga bulan dan mantan Bupati Kutai Kartanegara Syaukani yang hukumannya dikurangi tiga tahun sehingga bisa langsung keluar dari penjara.

Secara normatif tidak ada yang keliru dengan tindakan diskresi pemerintah ini karena koruptor tidak termasuk yang dilarang menerima pengurangan hukuman. Tetapi, akal sehat kita agak terganggu, apakah ini tidak kontroversi dengan komitmen pemberantasan korupsi, yang disampaikan Presiden sehari menjelang hari kemerdekaan?

Semua orang percaya teori pemberian efek jera melalui hukum represif untuk menekan korupsi di Tanah Air, yang hingga kini masih jadi pemandangan sehari-hari di pemerintahan. Kita sudah susah payah merevisi UU untuk memperkeras sanksi pidana bagi para koruptor meskipun realitasnya putusan hakim di pengadilan umum untuk kasus korupsi rata-rata lebih dari separuhnya bebas, dan kalaupun dihukum, rata-rata cuma dua tahun penjara (ICW, 2009).

Dan hukuman itu pun hanya untuk koruptor kelas teri meski mulai ada dalam hitungan jari koruptor kelas kakap yang dipenjara sejak KPK berdiri. Kecuali kasus yang diadili di pengadilan khusus korupsi, semua dipenjarakan, tak ada yang bebas.

Risiko kecil
Sekarang ini, selain probabilitas risiko koruptor dipenjarakan kecil, mereka yang sial masuk bui dengan mudah juga bisa dapat pengurangan hukuman. Maka, jangan harap para koruptor ciut nyalinya. Padahal, belum lama ini Menhuk dan HAM Patrialis Akbar pernah mewacanakan penerapan hukuman mati bagi koruptor. Apakah ini hanya propaganda, seolah-olah pemerintah punya komitmen kuat dalam pemberantasan korupsi?

Sebenarnya kita sudah mengadopsi hukuman mati bagi koruptor untuk kasus atau situasi tertentu. Jika aparat hukum tidak bobrok, mestinya mereka bisa menjerat banyak kasus korupsi dalam situasi darurat bencana alam atau program kemanusiaan untuk rakyat miskin. Sama halnya bentuk hukuman akumulatif, penjamakan dari sejumlah perbuatan pidana, misalnya pidana pencucian uang, membuat hukuman semaksimal mungkin, hampir jarang ditemui dalam putusan pengadilan kita.

Keistimewaan bagi koruptor ini bisa diasosiasikan oleh publik dengan perilaku para pemimpin bangsa yang ragu-ragu terus untuk keluar dari ”republik maling”. Mereka seperti tidak ambil pusing dengan posisi negeri ini yang berada posisi paling korup dibandingkan negeri tetangga.

KPK dan pengadilan tipikor yang cukup berprestasi bukan diperkuat, tetapi justru terus diganggu terus dan kewenangannya yang besar diwacanakan untuk terus dipreteli. Di antaranya, dengan menghidupkan ajaran triaspolitika ortodoks dengan memperlakukan KPK di luar sistem dan bersifat sementara, lupa atau tidak tahu bahwa kita sudah meratifikasi Konvensi PBB Antikorupsi (UNCAC).

Sudah diketahui umum seperti dalam kasus Artalyta, para garong negara dengan dompet yang tebal hingga anak, istri, dan menantu bisa menyuap sipir untuk mendapatkan ruangan eksklusif di tengah sumpeknya penjara karena kelebihan penghuni. Bahkan, dengan izin dokter atau suap tak seberapa, mereka bisa menikmati malam-malam indah bersama kekasih gelap atau keluarga tercinta di hotel atau menyewa rumah mewah di sekitar lokasi penjara, dan pagi hari sudah kembali berada di penjara bergabung dengan napi lain.

Rampas hartanya
Ke depan, mungkin perlu revisi UU No 12/1995 tentang Remisi dan UU No 22/2000 tentang Grasi, agar koruptor tidak termasuk yang mendapat remisi dan grasi, sampai keadaan korupsi di Tanah Air bisa ditoleransi. Bahkan, selain membabat habis praktik mafia hukum lewat pembenahan institusi dan pembersihan aparat, perlu memikirkan juga bentuk hukuman kumulatif yang betul-betul menakutkan para bandit negara.

Korupsi adalah kejahatan kalkulatif, dilakukan dengan penuh perhitungan oleh mereka yang terpelajar. Umumnya, koruptor kakap tak pernah merasa bersalah dan ketika menghirup udara bebas disambut bak pahlawan oleh para pendukungnya. Sisa kekayaan yang sebagian besar tidak diambil alih negara bisa membiayai menduduki jabatan publik baru. Sejelek-jeleknya, bisa mendapat predikat ”maling budiman” di masyarakat dengan menggunakan sisa harta untuk berderma. Siapa takut jadi koruptor kalau begini sekalipun harus menginap dulu di penjara?

Kalau saja sistem hukum kita memungkinkan negara menyita seluruh kekayaan koruptor, bukan saja kekayaan hasil korupsi, melainkan juga kekayaan yang diperoleh dengan halal hingga melarat, barangkali siapa pun tidak berani coba-coba korupsi. Ruang hidup koruptor juga bisa dibatasi dengan pelarangan menduduki jabatan publik untuk waktu tertentu, misalnya 10 tahun seperti di Thailand, dan dilarang berbisnis untuk periode tertentu, seperti di industri perbankan negara maju. Mungkin dengan begitu, kita tidak perlu menerapkan hukuman mati, yang tidak populer di tengah penghargaan dunia yang tinggi terhadap HAM.

Pendekatan represif yang keras sesungguhnya sangat relevan dalam situasi korupsi yang menyebar dan berdiri sendiri satu sama lain di era demokrasi ini karena sekalipun pendekatan sistemis penting untuk menutup pintu-pintu penyimpangan dari sektor hulu, ini tak cukup untuk melawan korupsi yang terfragmentasi luas. Cuma, sejujurnya di antara kita sudah mulai kehilangan kepercayaan bahwa apa pun perangkat hukum yang dibuat dan dijalankan oleh para mafia akan bisa menyelamatkan bangsa ini. Betul bahwa pembuat kebijakan, legislator, dan aparat hukum di negeri ini tidak semuanya korup, tetapi masih banyak kandidat koruptor.

Teten Masduki Sekretaris Jenderal Transparansi Internasional Indonesia
Tulisan ini disalin dari Kompas, Selasa, 24 Agustus 2010 | 02:51 WIB

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan