Semua Capres Dituding Lakukan Politik Uang; Sebagian Besar Berkedok Sumbangan Amal [30/06/04]

Indonesia Corruption Watch dan Transparency International Indonesia kemarin kembali merilis temuan terbaru mereka soal politik uang dan dana kampanye para calon presiden. Dari hasil survei kedua lembaga selama tiga pekan pertama kampanye, kelima pasangan calon presiden yang akan berlaga 5 Juli mendatang sudah menebar lebih dari Rp 1 miliar untuk menarik simpati masyarakat. Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch, Lucky Djani, mengatakan bahwa sebagian besar dana politik uang ini berkedok sumbangan amal ke berbagai lembaga maupun perorangan. Karena dilakukan di masa kampanye, patut diduga sumbangan ini bermotif politik, katanya.

Dari temuan kedua lembaga pendorong gerakan anti-korupsi itu, pasangan calon presiden dari Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla, terindikasi menebar politik uang paling banyak selama masa kampanye ini dengan nilai Rp 496 juta dalam 10 kasus. Namun, yang paling sering diduga melakukan politik uang justru pasangan calon presiden Partai Golkar Wiranto-Salahuddin Wahid yang mencatatkan 17 kasus dengan nilai total Rp 87 juta.

Menurut Lucky, perbedaan nilai dan jumlah kasus politik uang kedua kandidat presiden ini mengindikasikan ada modus berbeda dalam kampanye Yudhoyono dan Wiranto. Dari survei, katanya, model politik uang pasangan Yudhoyono-Kalla lebih ditujukan pada tokoh-tokoh masyarakat yang dinilai memiliki pengaruh luas di lingkungannya. Jadi jumlah kasusnya sedikit, namun total dana yang dibagikan paling besar, katanya. Ini berbeda dengan tim Wiranto, yang seringkali tertangkap tangan melakukan pembagian politik uang, namun dalam jumlah jauh lebih kecil. Yang dilakukan tim Wiranto, lebih sering untuk mobilisasi massa, misalnya, pembagian uang transpor, ujarnya.

Koordinator Pemantau Dana Kampanye Transparency Intenational Indonesia, Ahsan Jamet Hamidi, di tempat yang sama membeberkan temuan lembaganya soal modus sumbangan amal bermotif politik ini. Ada istri kandidat yang menyumbang Rp 50 juta untuk sebuah panti di Padangpanjang, katanya. Sebuah pesantren di Padangpariaman dan sebuah pasar di Pekanbaru, Riau, juga kebagian masing-masing Rp 25 juta. Kami punya semua datanya, hasil pantauan aktivis kami langsung di lapangan, tuturnya.

Semua sumbangan yang diatasnamakan aksi amal itu, menurut Ahsan, rawan dimanipulasi menjadi politik uang. Untuk menghindari kecurigaan semacam itu, ia menyarankan UU Pemilu Presiden disempurnakan meniru peraturan pemilu di Filipina yang melarang segala bentuk sumbangan di masa kampanye. Di sana, tiga bulan sebelum hari pemilihan sampai tiga bulan setelahnya, semua kandidat dilarang menyumbang sana sini, membangun infrastruktur dan lain-lain, katanya.

Selain temuan politik uang, Transparency Intenational Indonesia dan Indonesia Corruption Watch juga menemukan sejumlah pelanggaran berupa penggunaan fasilitas negara dalam kampanye. Pasangan calon presiden dan wakil presiden dari PDIP, Megawati-Hasyim Muzadi, dan kandidat Partai Persatuan Pembangunan, Hamzah Haz-Agum Gumelar, dituding melakukan pelanggaran. Yang tercatat antara lain: penggunaan helikopter TNI untuk mengunjungi daerah kampanye, penjemputan dengan mobil dinas di tingkat kabupaten dan provinsi, penggunaan mobil dinas kebakaran untuk menyiram peserta kampanye, dan penggunaan mobil dinas kepolisian untuk bagi-bagi makanan selama mobilisasi massa. Penyimpangan ini menunjukkan belum adanya kesadaran pejabat untuk tidak menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan nonpublik, kata Ahsan.

Dihubungi terpisah, Koordinator Bidang Pengawasan Panwaslu Didik Supriyanto mengaku masih belum berani memastikan keseluruhan laporan itu masuk kategori pelanggaran atau tidak. Dia mencontohkan, pemberian barang seperti sembako, uang transpor dan sejenisnya, baru bisa diindikasikan sebagai politik uang jika dilakukan dengan tujuan agar yang menerimanya memilih kandidat presiden tertentu. Pemberian barang seperti bendera, kaos, atau souvenir, menurut Didik, malah sama sekali tidak bisa digolongkan politik uang.

Sementara itu, ketua seksi kampanye tim sukses Yudhoyono-Kalla, Umar Said, saat dimintai konfirmasi kemarin, menolak tuduhan telah melakukan politik uang. Lihat saja kampanye kami: bendera saja kecil-kecil, poster juga kecil. Kok dituduh begitu? katanya sambil tertawa.

Namun, Umar tak memungkiri kemungkinan ada simpatisan pasangan Yudhoyono-Kalla yang melakukan praktik politik uang seperti dituduhkan Indonesia Corruption Watch dan Transparency Indonesia. Yang jelas, katanya, tindakan itu dilakukan bukan atas perintah tim kampanye pusat. Itu spontan di lapangan. Terus terang, kami tidak bisa mengontrol mereka yang menyediakan bis atau truk untuk mengangkut massa, katanya. Tak hanya itu, ia menilai, pemberian uang dalam bentuk sumbangan atau amal, dan pembagian uang transpor, adalah sesuatu yang wajar. Itu ya tidak melanggar karena diberikan secara sukarela. Ya, jelas halal dong, katanya.

Sampai saat ini, Umar menegaskan, tim kampanye SBY-Kalla sudah mengalokasikan dana kampanye sebesar Rp 100 miliar untuk operasional kampanye. Namun, sampai pekan terakhir masa kampanye, ia mengaku pengeluaran operasional tim kampanyenya tidak sampai sebesar itu.

Di luar kedua lembaga itu, kemarin Lembaga Studi dan Pengembangan Etika Usaha juga merilis hasil survei mereka tentang integritas moral para calon presiden. Dari jajak pendapat yang dilakukan 8-24 Juni lalu terhadap 1.600 orang di 32 provinsi ditemukan bahwa mayoritas responden menilai pasangan calon presiden dari Partai Amanat Nasional, Amien Rais dan Siswono Yudohusodo, adalah kandidat paling jujur dan adil. Pasangan Wiranto-Salahuddin Wahid dipilih paling sedikit responden. wahyu dhyatmika/deddy sinaga/eduardus karel/angelus tito

Sumber: Koran Tempo, 30 Juni 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan