Selamat Datang Kapolri Baru

Berbagai peristiwa yang mengguncang keamanan saat ini membuat orang menanti-nanti siapa gerangan yang dipilih menjadi Kapolri. Seolah-olah Kapolri baru akan membawa angin segar dan bisa menangani semua permasalahan kepolisian yang dihadapi.

Harapan yang terlalu berlebihan karena hampir tidak ada korelasi langsung antara kepemimpinan Kapolri dan kinerja Polri. Getaran kepemimpinan Kapolri biasanya dirasakan sekitar 100 hari menjabat, setelah itu kembali seperti biasa. Masyarakat pun tidak bisa berbuat apa-apa karena mekanisme proses seleksi yang dianut maupun akuntabilitas kepemimpinan kepala kepolisian tidak melibatkan publik.

Sekarang kita telah mendengar jawaban bahwa ternyata calon yang dipilih adalah Timur Pradopo. Pasal 11 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 menetapkan bahwa pengangkatan dan pemberhentian Kapolri dilakukan oleh Presiden atas persetujuan DPR. Dalam pelaksanaannya, Presiden memilih di antara calon yang diajukan oleh Kapolri atau institusi Polri.

Usulan Kapolri biasanya sudah mencantumkan ”jago” yang dikehendaki Presiden atau disepakati keduanya. Itulah yang kita saksikan mengapa promosi dan kenaikan pangkat Timur terjadi mendadak.

Lebih dari sekadar persetujuan DPR, mekanisme pemilihan Kapolri ternyata mengharuskan kesepakatan sejumlah pemangku kepentingan politik. Tujuannya agar proses persetujuan berjalan mulus. Jika ini yang terjadi, akan semakin memperkuat kenyataan bahwa proses pemilihan Kapolri semakin kental dengan pertimbangan politik.

Inilah keunggulan bangsa kita, mekanisme pengangkatan/pemberhentian Kapolri harus mendapat persetujuan lembaga politik yang justru tidak sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Mudah-mudahan mekanisme yang demikian tidak berdampak panjang pada pemilihan kepala kepolisian wilayah dan atau proses penegakan hukum.

Siapa yang tepat?
Siapa yang tepat menjadi Kapolri adalah pertanyaan yang acap dilontarkan. Jawaban saya: siapa saja, sepanjang itu anggota Polri berbintang tiga atau bintang dua yang dibintangtigakan. Sebutlah Imam Sudjarwo, Nanan Soekarna, atau Timur Pradopo. Demikian pula Jusuf, Ito Sumardi, atau Wahyono, bahkan Sutarman atau Oegroseno, misalnya.

Dengan integritas kepribadian dan gaya kepemimpinan masing-masing, mereka berpengalaman menjadi kapolda walau kelakuan dan harta kekayaan yang sebenarnya sukar diungkapkan. Hanya saja, nasib Imam dan Nanan tidak beruntung. Mereka sudah lebih dulu termakan oleh isu-isu yang di-”politisasi”. Timur menjadi kuda hitam, dengan dewi fortuna hinggap di pundaknya.

Apakah Timur pilihan tepat? Biarlah mekanisme politik yang menjawab. Tidak ada alasan dan belum pernah terjadi DPR menolak calon yang diajukan Presiden, kecuali dalam proses ada anggota Dewan yang memiliki kartu truf untuk menolak calon, dengan alasan prinsip seperti korupsi, HAM, kebohongan publik, dan atau cacat moral.

Yang jelas, Timur bukan dipromosi menjadi Kapolda ”RI”, melainkan ”Kepala Negara RI Urusan Kepolisian”. Dia dituntut bukan saja memiliki kepemimpinan yang visioner dan sikap negarawan, melainkan juga peka terhadap setiap masukan publik. Penilaian yang tepat adalah nanti setelah yang bersangkutan menduduki ”kursi” Tribrata Satu: bisa membawa kabar gembira, mengecewakan, atau biasa-biasa saja.

Sistem yang kita anut sekarang belum memungkinkan masyarakat—pemangku kepentingan—ikut berperan dalam proses seleksi kepemimpinan kepolisian. Walau masyarakat yang dilayani berteriak karena tindakan penyalahgunaan kekuasaan atau anak buah menggerutu karena tidak memperoleh dukungan bahan bakar atau biaya operasional yang layak, penilaian keberhasilan ditentukan oleh atasannya.

Tantangan Kapolri baru
Beban paling berat di pundak Timur adalah mempertahankan prestasi yang diletakkan Kapolri-Kapolri sebelumnya. Harus diakui, Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Danuri mempersembahkan sejumlah prestasi walau badai yang menerpa Polri juga berlangsung beruntun. Paling tidak, masyarakat menuntut Kapolri baru mampu menuntaskan kasus Bank Century dan rekening ”gendut”.

Tentu tuntutan bukan pada aspek korupsi dalam kasus Century yang menjadi porsi KPK, melainkan aspek pidana umum yang menjadi kewenangan Polri. Juga bukan aspek ”kegendutan” rekening, melainkan keberanian Timur untuk memastikan jajarannya bersih. Tentu saja Kapolri juga harus memastikan dirinya tidak memiliki harta yang tidak wajar atas nama sendiri atau orang lain.

Pendekatan kontemporer kepolisian menuntut Kapolri memastikan kemitraan yang setara antara polisi dan masyarakat guna mengatasi permasalahan sosial. Pendekatan itu disebut community policing atau perpolisian masyarakat (polmas) yang telah ditetapkan dalam sejumlah keputusan Kapolri sebagai kebijakan dan strategi Polri.

Program lima tahun pengembangan polmas (2005) menuntut setiap desa difasilitasi seorang petugas polmas yang dilengkapi peralatan transportasi dan komunikasi serta dukungan biaya operasional yang memadai. Kenyataannya, implementasi polmas berjalan tersendat dan ditafsirkan semau sendiri.

Jika dewasa ini kita sudah mengembangkan polmas di sekitar 70.000 desa, sebagian besar permasalahan keamanan, termasuk jaringan terorisme, konflik komunal, unjuk rasa yang anarki, dan lain-lain, sudah dapat diminimalkan. Kenyataannya, perumusan kebijakan selalu berganti sejalan dengan pergantian pimpinan pada setiap level.

Beban yang sangat penting yang harus dipikul Kapolri baru adalah strategi dan langkah-langkah menyikapi keluhan dan pengaduan warga tentang penyalahgunaan kekuasaan, keamanan, kepastian hukum, dan perlakuan yang adil (fair) oleh jajaran kepolisian.

Memang berat, tetapi bisa ringan apabila Timur membangun teamwork yang andal dengan kelompok pemikir (think tank) yang kritis. Karena itu, untuk mencapai Polri idaman, perlu reformasi Polri jilid kedua.

Akhirnya, mari kita tunggu gebrakan Timur, kita bantu dan kita lihat nilai rapornya. Jika merah, sudah saatnya warga, baik langsung kepada Presiden maupun melalui DPR atau DPD, memberikan masukan, apakah Jenderal Timur Pradopo dapat dipertahankan sebagai Kapolri.

Tak perlu menunggu masa jabatan selesai. Pasal 11 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 memberikan peluang kepada Presiden untuk dalam keadaan mendesak memberhentikan Kapolri dan menunjuk pelaksana tugas sementara.

Farouk Muhammad Guru Besar Sistem Peradilan Pidana pada Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian dan Universitas Indonesia
Tulisan ini disalin dari Kompas, 6 Oktober 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan