Seharusnya Dia Mundur
Etika hakim Mahkamah Konstitusi (MK) mengharuskan hakimnya menjaga kehormatan martabat pribadi dan jabatan. Kalau seorang hakim gagal melakukan itu, karena terbukti melakukan pelanggaran etik, dia sudah kehilangan kehormatan dan martabat sehingga tak pantas lagi mengemban jabatan tersebut.
Ketua MK Arief Hidayat, yang seharusnya menjadi teladan dan lokomotif perbaikan MK, justru dijatuhi sanksi etik oleh Dewan Etik MK karena terbukti melanggar etik dengan membuat surat sakti (katebelece) kepada salah seorang pimpinan Kejaksaan Agung agar memberikan perhatian khusus kepada kerabatnya pada 2016. Respons Arief setelah diberi sanksi tersebut kurang-lebih menyatakan bahwa dia menerima dan menjadikan sanksi itu sebagai pelajaran serta akan mengambil hikmahnya.
Kalaulah sanksi tersebut menimpa orang yang bukan hakim, respons semacam itu bagus-bagus saja. Tapi dia hakim dan bahkan Ketua MK, maka respons yang sepadan seharusnya mundur. Dia telah batal untuk memegang jabatan amanah rakyat dan negara. Etisnya, dia kembalikan jabatan itu kepada si pemberi amanat, yaitu negara untuk dan atas nama rakyat. Faktanya, dia masih menjadi hakim dan bahkan kembali terpilih menjadi Ketua MK. Ajaib.
Namun, belum pulih keterkejutan publik atas perbuatan dan sanksi pertama, Arief kembali diberi sanksi etik oleh Dewan Etik MK karena terbukti melakukan pertemuan dengan sejumlah anggota Komisi III DPR di Hotel Ayana Midplaza, Jakarta Pusat. Pertemuan itu terkait dengan rencana seleksi pemilihan hakim MK terhadap dirinya sendiri. Dewan Etik menilai perbuatan tersebut merupakan pelanggaran etik.
Dengan demikian, Arief Hidayat telah dua kali terkena sanksi etik. Dia terbukti tidak bisa berubah dan tidak bisa menjadi contoh yang baik. Karena itu, hampir tidak mungkin dia mampu mengangkat citra MK.
Namun agaknya kita tak bisa mengharapkan hakim pelanggar etik sadar diri lalu mundur. Dibutuhkan perubahan aturan dan sanksi etik untuk menciptakan sistem kontrol di MK agar lembaga penjaga konstitusi ini tidak makin terpuruk.
Untuk itu, kita perlu menengok pokok masalahnya. Pertama, dalam pengisian jabatan hakim MK, syarat integritas dan kompetensi sering kali diabaikan oleh lembaga pengusul, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Ketiga institusi negara tersebut belum memiliki standar seleksi yang seragam, sehingga menyeleksi sesuai dengan selera masing-masing.
Kedua, orang-orang yang mencalonkan diri tidak pula menakar diri. Apakah dirinya pantas serta memiliki integritas dan kompetensi untuk menjadi penjaga konstitusi? Sebagian calon, bahkan para pencari kerja, mendaftar pada semua jabatan negara, seperti Mahkamah Agung (MA), Komisi Yudisial (KY), dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Padahal, keempat lembaga negara tersebut memiliki kewenangan yang berbeda. Ketiga, putusan MK, yang menganulir kewenangan KY menjadi pengawas hakim MK, membuat MK rentan terhadap pengaruh dari dalam dan luar.
Ketiga masalah itu terbukti berdampak buruk bagi MK. Lembaga penjaga konstitusi ini telah berkali-kali didera penderitaan. Wibawanya tercemar akibat ulah hakim-hakim dan ketua-ketuanya yang tidak amanah. Peristiwa pertama, seorang hakim melibatkan keluarganya dalam urusan perkara yang berujung mundurnya hakim tersebut. Peristiwa kedua yang lebih meruntuhkan MK adalah tertangkap tangannya Akil Mochtar oleh KPK karena menerima suap dalam penanganan banyak perkara sengketa pemilihan kepala daerah. Penderitaan MK ketiga dibuat oleh Patrialis Akbar, yang tertangkap tangan KPK ketika menerima suap penanganan perkara uji materi undang-undang.
Dari tiga peristiwa tersebut, tentu wajar bila publik menginginkan hakim-hakim MK yang sezaman dengan Akil Mochtar, Patrialis Akbar, termasuk yang baru masuk setelah tiga kasus memalukan itu, belajar dan mengambil hikmah dengan menjadi hakim yang amanah, menjaga dan menegakkan etika profesi, serta menunjukkan integritas dan kompetensinya. Istikamah dalam "diam" dan "kesunyian".
Untuk itu, MK harus berubah. Perubahan itu dapat dilakukan dengan beberapa hal. Pertama, peraturan perundang-undangan tentang pengisian jabatan hakim MK harus ditegaskan sebagai seleksi terbuka, obyektif, dan akuntabel oleh tim seleksi tepercaya. Kedua, cabang kekuasaan membuka kesempatan pada setiap orang yang memiliki integritas dan kompetensi untuk ikut seleksi.
Ketiga, kontrol kewenangan hakim MK patut diberikan kepada institusi eksternal atau minimal dibentuk oleh institusi eksternal, bukan dibentuk oleh MK dan berkantor di MK. Keempat, pengaturan kualifikasi sanksi etik yang lebih tegas dan konkret dengan menakar kedudukan dan perbuatannya. Kalau seseorang, misalnya, sudah dua kali terkena sanksi dalam jabatan ketua, dia pantas diberhentikan.
Suparman Marzuki, Mantan Ketua Komisi Yudisial
--------------------------
Versi cetak artikel ini terbit di harian Tempo edisi 1 Februari 2018, dengan judul "Seharusnya Dia Mundur"