Satgas Tanpa Gas

Keberadaan mafia peradilan menggurita di lini kehidupan dan perilaku hukum republik ini. Hasil sadapan KPK atas Anggodo Widjojo yang diputar di Mahkamah Konstitusi (3/11/2009) memberikan deskripsi yang sungguh jelas bagaimana seseorang di luar hukum mampu menyetir laju sistem dan proses hukum, memengaruhi penegak hukum dan anggota lembaga independen negara. Bangunan hukum telah tercabik-cabik tak berarti di hadapan gerombolan mafia hukum.

Rekaman Anggodo juga mengundang gemuruh gerakan rakyat untuk menyuarakan pemberantasan mafia peradilan. Masyarakat menyindir pemerintah karena pembiaran yang dilakukannya sehingga para mafioso hukum bisa berjalan santai, bahkan bertolak pinggang di kantor para penegak hukum. Kemungkinan besar, atas dasar ”sindiran” rakyat ini, pemerintah memasukkan program pemberantasan mafia hukum sebagai target 100 hari kerja.

Salah satu langkah cepat yang diambil adalah membentuk tim pemberantasan mafia peradilan. Pada 30 Desember 2009 Presiden SBY menerbitkan Keppres Nomor 37 Tahun 2009 tentang Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum (Satgas). Anggota Satgas diambil dari internal istana, Kejaksaan Agung, kepolisian, ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), serta kalangan sipil.

Bukan hal baru
Tak lama, Satgas mulai bekerja. Aktivitas perdananya adalah melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke Lembaga Pemasyarakatan (LP) Pondok Bambu, Jakarta, Minggu (10/1). Seperti diketahui, di rumah tahanan ini ada beberapa terpidana kasus korupsi hasil penindakan KPK yang dititipkan.

Saat sidak, disiarkan melalui media elektronik, jutaan pasang mata pemirsa terbelalak, nyaris tak percaya, ketika Satgas menemukan ruang tahanan Arthalyta Suryani alias Ayin, terpidana kasus suap bekas jaksa Urip Tri Gunawan, yang ditangani KPK.

Dengan mengernyitkan dahi, kita menyaksikan ruang tahanan Ayin begitu mewah. Ruang itu pun sebenarnya bukan asli ruang tahanan, tetapi merupakan produk modifikasi ruang kerja rutan berukuran 8 x 8 meter yang disulap menjadi kamar pribadi—lengkap dengan AC, televisi layar datar, kulkas, tempat bermain anak, dan kamar mandi yang bersih. Pendek kata, ada istana di dalam penjara.

Kalau boleh jujur, fasilitas yang diperoleh Ayin itu bukan hal baru. Seorang tua di pojok warung, misalnya, mengatakan, mereka akan dapatkan kondisi yang sama di LP yang lain. Gumaman itu setidaknya sebagai tanda, sejak dahulu LP tidak dapat menjadi kamar penjara bagi koruptor kelas kakap. Malah kritik pembaca Kompas (11/1) menyebut singkatan LP dengan long pleasure, atau hanya liburan panjang bagi koruptor.

Yang menjadi pertanyaan adalah, setelah temuan ini, lalu Satgas mau apa?

Tancap gas
Jika disimak, Keppres Nomor 37 Tahun 2009 hanya memberikan wewenang kepada Satgas untuk menelaah, meneliti, dan tindakan lain untuk mendapatkan informasi (butir Keempat huruf b) serta bekerja sama dengan lembaga lainnya dalam memberantas mafia peradilan (butir Keempat huruf a). Selain itu, Satgas diberi tugas berkoordinasi, evaluasi, koreksi, dan pemantauan agar pemberantasan mafia hukum berjalan efektif (butir Ketiga). Perlu digarisbawahi, Satgas tidak dilengkapi dengan unsur penindakan, rekomendasi pun tidak.

Keberadaan Satgas tampaknya serupa dengan forum koordinasi yang dahulu pernah dibentuk untuk melacak, memproses, dan menindak mafia hukum. Tengok saja, forum Mahkamah Agung, Kementerian Kehakiman, Kejaksaan, dan Kepolisian (Mahkejapol), forum Pengadilan, Kejaksaan, dan Kepolisian (Diljapol), dan Forum Penegakan Hukum (Forgakum).

Sejarah mencatat, forum ko- ordinasi penegakan hukum itu bernasib ”mati angin” atau tak berdaya. Selain melenceng dari tujuan pembentukannya, forum- forum ini juga ternyata cuma menjadi wadah kolusi pejabat.

Mahkejapol, misalnya, adalah forum koordinasi antarpenegak hukum. Tujuannya sederhana, penegakan hukum semakin efektif, efisien, dan masif. Akan tetapi, Mahkejapol pun ”mati”. Forum ini dipakai untuk memupuk praktik perkoncoan, menciptakan kolusi yang disemaikan antaranggota, serta mengundang cukong masuk ke dalamnya. Oleh karena itu, desakan publik guna membubarkan Mahkejapol mengalir deras (Kompas, 24/2/ 2000).

Satgas mungkin tidak akan keluar dari jalur filosofis pendiri- annya. Begitu pula dengan tiga perempat kepastian, kita tetap percaya anggota Satgas tetap berintegritas, memegang sumpah pengangkatannya. Akan tetapi, proyeksi akan menguat pada poin: Satgas tak berdaya, Satgas tanpa gas. Apalagi dengan wewenang yang hanya menelaah, meneliti, bekerja sama, tanpa penindakan. Satgas yang adhoc ini juga ditengarai tidak berdaya melakukan sidak ke LP yang dihuni oleh lingkaran dekat istana.

Untuk mematahkan proyeksi tersebut, mau tidak mau, Satgas harus tancap gas. Pertama, sidak ke LP yang dihuni oleh koruptor big fish, khususnya yang dekat dengan lingkaran istana. Kedua, Presiden wajib bertindak tegas terhadap bawahannya yang terbukti menjadi pelaku atau bagian dari mafia hukum. Bila demikian, Satgas pemberantasan mafia hukum tidak akan menjadi Satgas tanpa gas.

Hifdzil Alim Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM

Tulisan ini disalin dari Kompas, 14 Januari 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan