Sampai di Mana Reformasi Birokrasi?

Menteri Keuangan Agus Martowardojo mengatakan anggaran reformasi birokrasi tahun 2010 sebesar Rp 14 triliun belum terserap sama sekali. Anggaran itu berpotensi ”menganggur” dan menjadi sisa lebih pembiayaan anggaran hingga akhir tahun.

Menkeu Agus mengungkapkan hal itu di Gedung DPR, Kamis (Detik Finance, 14/10/2010). Hal ini mengindikasikan terjadinya keterlambatan dalam pelaksanaan program reformasi birokrasi di tubuh eksekutif.

Banyak yang berharap aparat keamanan dan penegak hukum, seperti kepolisian, kejaksaan, dan Kementerian Hukum dan HAM, akan menuntaskan reformasi birokrasi tahun 2010 mengikuti jejak Kementerian Keuangan dan BPK. Investor beberapa tahun ini menempatkan lemahnya pelayanan birokrasi, khususnya penegak hukum dan keamanan, sebagai salah satu faktor penghambat utama minat investasi di Indonesia.

Sungguh sayang dalam satu tahun pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II, pemerintah telah kehilangan momentum untuk melaksanakan perbaikan ekonomi dengan anggaran dan sumber daya yang tersedia.

Dari mana mulai?
Tiga tahun lalu pemerintah mencanangkan reformasi pejabat negara yang berujung pada standar remunerasi. Rencananya dimulai serentak di lingkungan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Dimulai dari pemimpin negara (Presiden) dan pemimpin lembaga-lembaga tinggi (MPR, DPR, DPD, BPK, MA, KPK, dan seterusnya). Namun, reformasi pejabat negara tidak kunjung mendapatkan titik temu dan kandas di tengah jalan.

Akibatnya, reformasi birokrasi lanjutan di tingkat operasional pemerintahan terhambat, belum serasi, dan belum terkoordinasi. Adakalanya setiap organisasi dan lembaga pemerintahan menggunakan basis UU sektor mereka sebagai dalih melakukan reformasi birokrasi, tetapi tidak direncanakan penganggarannya dalam rencana kerja pemerintah (RKP) dan anggaran (APBN). Proses penganggaran yang disiplin melalui mekanisme APBN tidak diperuntukkan bagi kebutuhan anggaran yang beragam dan mendadak. Belum lagi pembentukan komite-komite dan badan-badan sebagai konsekuensi dari UU atau peraturan lainnya yang sering tidak mempertimbangkan berbagai konsekuensi anggaran, akan berpotensi tumpang tindih dan mengacaukan peta reformasi birokrasi.

Umumnya reformasi birokrasi pemerintah dipimpin langsung oleh presiden dengan program, kinerja, target, dan penganggaran yang jelas serta berdurasi jangka menengah (minimal lima tahun). Reformasi birokrasi juga harus diikuti dengan reformasi di bidang anggaran untuk menghilangkan tumpang tindih dan meningkatkan kemampuan mengelola beban anggaran multitahun maupun beban masa depan (pensiun) dan benefit lainnya.

Terkait dengan itu, sebenarnya pemerintah KIB I sudah mencanangkan program tiga tahun reformasi birokrasi, mulai dari bidang keuangan (2009- 2010)-Kemenkeu, BPK, MA, Setneg, Menko; bidang keamanan dan penegakan hukum (2010) meliputi Polri, TNI, Kejaksaan, Kementerian Hukum dan HAM, PAN-RB, dan bidang lainnya (2011-2012). Pelaksanaannya ternyata terhambat urusan kepemimpinan.

Reformasi kedudukan pemerintah sebagai pemegang saham di BUMN atau di badan layanan umum (BLU) belum jelas diatur. Banyak aparat birokrasi struktural yang menjabat sebagai komisaris di BUMN dan BLU sehingga menimbulkan potensi benturan kepentingan, keterbatasan waktu kedinasan, dan kecemburuan.

Pengaturan hubungan antara eksekutif, legislatif (DPR), dan yudikatif (termasuk aparat pengawas) belum tegas diatur sehingga sering menimbulkan masalah ”tata kelola” dan juga benturan kepentingan serta ketidakseimbangan hubungan kerja.

Reformasi dan penataan organisasi, demikian pula SDM, sangat bergantung pada kepemimpinan operasional Menteri PAN dan Reformasi Birokrasi. Misalnya dalam rekrutmen, penghentian, whistle blower, kepangkatan, hak dan kewajiban, dan sebagainya. Presiden, wapres, dan anggota kabinet yang tidak begitu jelas kedudukannya dalam skema reformasi birokrasi telah menimbulkan rasa ewuh pekewuh di kalangan birokrat eselon I ke bawah.

Reformasi birokrasi di Kemkeu
Reformasi birokrasi di Departemen Keuangan (waktu itu) telah mulai sejak 2003 pada masa kepemimpinan Menkeu Boediono. Reformasi

terkonsentrasi pada reformasi keuangan negara. Sayangnya, reformasi birokrasi di Depkeu waktu itu tidak dibangun dari bawah dengan kajian intensif. Reformasi dilanjutkan Menkeu Jusuf Anwar dengan menata organisasi di Bapepam dan di tempat lain secara sporadis.

Tahun 2006-2009, reformasi birokrasi bergulir secara agresif, tepat, serta tegas. Kepemimpinan Menkeu Sri Mulyani adalah kunci dalam membangun reformasi birokrasi dari bawah dengan konsultan hanya sebagai fasilitator. Sri Mulyani memulai kepemimpinannya dari reformasi struktural di tubuh Pajak (DJP) dan Bea Cukai (DJBC) serta instansi pelayanan lain, seperti Perbendaharaan (DJPb) dan Kekayaan Negara (DJKN). Dibarengi dengan pembentukan badan kebijakan fiskal (BKF) sebagai unit yang memformulasikan kebijakan, pembentukan unit pengelola utang, DJPU, dan perimbangan keuangan, DJPK.

Telah disusun peta jalan (blue print) reformasi birokrasi oleh tim khusus reformasi birokrasi dengan gagasan seperti penyusunan indikator kinerja utama, IKU, rekrutmen pegawai dan lowongan pejabat dengan tender terbuka (open bid), serta penyusunan remunerasi dengan job grading. Evaluasi pelaksanaan reformasi birokrasi dilakukan secara obyektif langsung oleh Menkeu dibantu tim reformasi birokrasi. Waktu itu eselon I struktural dilarang merangkap jabatan termasuk pada jabatan komisaris BUMN. Bermain golf dengan mitra dilarang. Kontrak kinerja ditandatangani dan diumumkan kepada publik secara luas melalui media massa.

Menkeu Agus Marto mulai fokus pada reformasi birokrasi di Kemkeu. Seperti Sri Mulyani, dia tetap fokus pada kinerja DJP dan DJBC. Dia melihat bahwa fungsi kebijakan, regulasi dengan implementasi perpajakan harus dipisahkan, maka Kemkeu melakukan reformasi birokrasi pemisahan DJP, DJBC, dengan BKF secara tegas-tegas. Sayangnya hal itu sebenarnya bukan prioritas pembenahan masalah perpajakan. Anwar Supriyadi, ketua komite pengawas perpajakan, juga tidak setuju adanya pemisahan kebijakan perpajakan. Yang lebih penting sebenarnya adalah masalah perbaikan prosedur keberatan, banding, percepatan restitusi dan reformasi di pengadilan pajak.

Perubahan ”mindset”

Reformasi birokrasi pada hakikatnya adalah perubahan mindset (cara berpikir) dalam bekerja di lingkungan birokrasi. Tugas birokrat adalah memberikan pelayanan prima kepada pemangku kepentingan dan tidak mementingkan diri sendiri. Tak ada pejabat yang menjadi penentu sendiri tanpa kerja sama pihak lain.

Anggapan sebuah instansi masih sebagai institusi ”penentu” kebijakan dan penganggaran menandakan perubahan cara pikir belum terjadi. Banyak keputusan operasional dibuat untuk melindungi kepentingan organisasi dan melestarikan ketergantung- an pada seseorang atau instansi tertentu, yang berarti mengkhianati reformasi birokrasi.

Yang sering mengganggu juga adalah adanya budaya ewuh pekewuh dan comfort zone. Ini menyebabkan SDM yang berani mengambil keputusan dan visioner tersingkir atau dimutasi.

Trauma masa lalu (BLBI, krisis) dan agresivitas pengawas seperti KPK, BPK, dan kejaksaan mengakibatkan kelambatan pengambilan keputusan. Menkeu Sri Mulyani sampai-sampai minta 4-5 paraf pejabat eselon I dan pendapat ahli hukum sebelum mengambil keputusan.

Reformasi birokrasi yang berada di bawah kepemimpinan yang jujur, tegas, dan visioner merupakan syarat sangat penting dalam mengubah cara pikir birokrat. Dia harus mampu memimpin tanpa kenal lelah, menghilangkan benturan kepentingan dan mengajak birokrat fokus pada tupoksi. Pemimpin itu juga harus menghilangkan anggaran-anggaran (panitia, tim-tim) yang tidak perlu pascaremunerasi birokrasi.

Ia juga harus menghilangkan anggaran-anggaran teknologi informasi dan gedung yang tumpang tindih, memberikan perlindungan hukum yang memadai bagi pengambil kebijakan. Dia juga harus mampu membangun suasana kerja internal yang harmonis dengan lembaga lain, khususnya dengan DPR, aparat hukum dan pengawas eksternal. Pemimpin juga tidak boleh melupakan tugas jangka panjang pada SDM untuk kepemimpinan masa depan, tidak mengandalkan konsultan dan advisor, khususnya asing untuk pekerjaan yang bisa dilakukan sendiri oleh staf.

Kita belum melihat reformasi birokrasi sejati dalam satu tahun perjalanan KIB II. Namun belum terlambat, ke depan pasti akan muncul jiwa pemimpin dan aparat birokrat yang memiliki komitmen tinggi dalam reformasi birokrasi. Reformasi birokrasi adalah faktor penting pemberantasan korupsi dan perbaikan iklim investasi.

Anggito Abimanyu Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM, Yogyakarta
Tulisan ini disalin dari Kompas, 20 Oktober 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan