Salahnya Mau Jadi ATM Jaksa

TERUNGKAPNYA laporan 70 kepala daerah ke Komisi III DPR bahwa mereka menjadi korban pemerasan oknum jaksa penyidik di daerah sebetulnya bukan hal baru. Bila ditelusuri lebih jauh atau para kepala daerah mau jujur jumlah yang diperas terkait kasus korupsi lebih dari 200 orang. Pejabat korup lebih senang menyuap asalkan bisa bebas atau mendapat hukuman ringan. Mereka baru mengeluh bila sudah menyuap tapi hukumannya tetap berat, bahkan tidak jadi bebas. Hanya mereka tidak berani melapor karena takut kasusnya bekepanjangan.

Begitu muncul pemberitaan yang mengindikasikan ketidakberesan pembangunan jalan, gedung, pengadaan barang dan jasa ataupun lainnya, pasti langsung oknum jaksa mendatangi dinas atau SKPD tersebut. Kedatangan oknum itu untuk menegaskan dirinya akan menindaklanjuti kasus itu karena sudah dimuat atau ditayangkan media massa. Namun bisa saja kasusnya diolah tidak diteruskan asalkan bisa menyediakan sejumlah uang.

Seringnya muncul keluhan tersebut, sampai-sampai penulis berpikir jangan-jangan aktivis antikorupsi berpikir keras bagaimana mengurangi perilaku korupsi dengan bantuan corong media massa. Namun praktiknya malah menimbulkan korupsi baru karena ada pihak yang diuntungkan dengan berita itu. Ini yang barangkali disebut pemberantasan korupsi menimbulkan korupsi baru.

Penuturan anggota Komisi III DPR dari FPDIP Eva Kusuma Sundari, sedikitnya 70 kepala daerah mengaku dijadikan ATM berjalan oleh oknum jaksa penyidik di daerah melahirkan pertanyaan: mengapa mereka mau menjadi ATM-nya jaksa penyidik yang nakal itu? Mengapa mereka baru melapor sekarang dan tidak dari dulu?

Bila benar apa yang mereka sampaikan kepada Komisi III DPR, menurut kesimpulan aktivis antikorupsi pola itu bukan pemerasan melainkan bagi hasil. Ada kepala daerah senang mencuri uang rakyat dan setelah ketahuan oknum jaksa meminta bagiannya. Salahnya kepala daerah tersebut ya karena mencuri dan ketahuan. Kalau tidak ketahuan atau tidak mencuri maka selamatlah dia dan tidak perlu berbagi hasil (korupsi).

Hanya menurut ceritanya (maaf, lagi-lagi korban pemerasan mesti tidak mau melapor) dalam kerja sama saling berbagi ini sering kali kepala daerah yang dirugikan. Menurut ceritanya, ketika kepala daerah ketahuan terindikasi korupsi dan biasanya jumlahnya besar, selagi masih ada uang yang masuk untuk setoran, maka kasusnya menjadi aman. Paling banter jalan di tempat. Tetapi ketika setoran kurang atau masa kekuasaannya berakhir, kasus tersebut bisa diangkat kembali dan diproses sebagaimana mestinya.

Takut Diperiksa

Cerita ini bisa didukung dengan fakta di  lapangan ketika seorang kepala daerah terlibat korupsi pada saat masih berkuasa dan tentu saja setorannya lancar maka kasus itu selalu mandek. Berbagai alasan dikemukakan untuk membenarkan. Salah satunya adalah izin pemeriksaan dari presiden belum turun. Untuk mengurus izin pemeriksaan dari presiden saja bisa sampai bertahun-tahun dan sampai masa kekuasaan sang kepala daerah berakhir izin itu belum juga turun.

Jika demikian kenapa ada 70 kepala daerah yang melapor ke Komisi III DPR baru-baru ini bahwa mereka menjadi ATM oknum penyidik jaksa di daerah? Adakah mereka sudah berada di posisi yang dirugikan dalam ”kerja sama” tersebut karena sudah merasa keberatan dengan setoran yang harus diberikan kepada oknum jaksa penyidik di daerah?
Atau barangkali mereka tidak sempat memikirkan nasib rakyat karena harus memikirkan setoran ke oknum jaksa penyidik di daerah? Pertanyaan-pertanyaan tersebut perlu diperjelas sehingga tidak hanya menjadi isu politik. Mengapa Kejaksaan Agung menanggapi secara politis bukan dengan respons yang profesional.

Adalah Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Marwan Effendy mengomentari bahwa 70 kepala daerah itu memilih melapor ke Komisi III DPR karena takut bila diperiksa jaksa penyidik (SM, 18/05/11).

Menurut penulis, kalau memang benar apa yang disampaikan oleh kepala daerah itu, sebenarnya lebih tepat bila mereka  melapor ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar kasusnya ditindaklanjuti. Pertanyaannya, adakah kepala daerah yang berani lapor KPK? Penulis malah meragukan keberanian kepala daerah itu melapor ke KPK karena pada dasarnya mereka yang mau menjadi ATM bagi oknum jaksa itu adalah mereka yang tersangkut korupsi. (10)

Jabir Alfaruqi, Koordinator KP2KKN Jateng, Ketua PW GP Ansor Jawa Tengah
Tulisan ini disalin dari Suara Merdeka, 24 Mei 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan