Salah Urus SMS 'Nazaruddin'

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono merasa dihina dan difitnah oleh sebuah pesan pendek (SMS) yang mengaku sebagai "Nazaruddin". Situasi politik hiruk-pikuk tak beraturan, hingga susul-menyusul muncullah blog, bahkan akun Twitter "Nazaruddin". Semua bercerita tentang perasaan "Nazar" yang dikorbankan oleh kolega separtai, dan memunculkan isu-isu sensitif soal pribadi Presiden SBY. Sebagian besar dari kita agaknya menyimak peristiwa ini. Ada yang jengkel, ada yang datar dan muak, namun mungkin juga ada yang bersimpati kepada posisi korban SBY. Tapi, bagi saya, bukan itu hal yang penting. Kalaupun isu SMS ini hendak dibahas, agaknya satu pernyataan krusial yang bisa diajukan adalah, apakah SBY bisa memilah posisinya sebagai pribadi atau individu, sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, dan sebagai presiden?

Menghina raja
Memilah posisi SBY sebagai presiden dan sebagai individu sangatlah penting. Sebab, sejarah hukum kita pun mencatat, sejak 2006 posisi seseorang sebagai presiden tidaklah lagi bisa menjadi subyek yang dihina. Tepatnya setelah Mahkamah Konstitusi memutuskan pasal-pasal "penghinaan presiden" sudah inkonstitusional dan tidak relevan lagi dengan alam demokrasi Indonesia.

Berbeda halnya dengan era sebelum 2006 hingga tahun 1881, ketika KUHP (Belanda atau WvS) mulai berlaku. Di sana terdapat aturan tentang "Beleediging den Koning of der Koningin", alias penghinaan terhadap raja atau ratu (Pasal 134 WvS). Pasal inilah yang menjadi dasar untuk mengkriminalkan kritik-kritik dan ekspresi publik terhadap kegagalan pemerintah presiden/wakil presiden. Sejarah pasal inilah yang menurut saya dilupakan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan beberapa pejabat di kalangan istana saat merespons secara berlebihan SMS dari nomor Singapura yang mengaku sebagai "Nazaruddin".

Seperti diketahui, Presiden SBY sampai merasa perlu melakukan konferensi pers di ruangan VIP Lapangan Udara Halim Perdanakusuma pada 30 Mei 2011. Sebuah tindakan yang sangat salah-kaprah, setidaknya dilihat dari dua argumentasi.

Pertama, secara hukum pidana, tidak ada lagi pasal penghinaan Presiden. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013-022/PUU-IV/2006 sudah membatalkan 3 pasal "penghinaan presiden", yaitu Pasal 134, 136 bis, dan 137 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Bahkan MK menyatakan secara tegas dalam putusannya bahwa, kalaupun Presiden merasa terhina, itu adalah dalam kapasitas sebagai personal atau warga negara biasa. Apalagi, kepentingan negara tidaklah bisa disamakan dengan kepentingan pribadi presiden. Kecuali negeri ini dipimpin seorang raja atau ratu yang mencampuradukkan posisinya sebagai pribadi, dan penyelenggara negara atau pejabat publik.

Sistem ketatanegaraan Indonesia tentu saja tidak mengenal perkataan "raja" atau "ratu" secara formal sebagai pengganti kata presiden. Karena itulah, dari sejumlah keterangan ahli yang disampaikan dalam pertimbangan MK saat itu, penghinaan (defamation) dalam konteks ini hanya bisa terjadi terhadap pribadi atau personal SBY, bukan dalam posisinya sebagai Presiden RI. Konsekuensi hukumnya, jalur yang bisa digunakan sama seperti warga negara lain yang merasa terhina atau difitnah oleh pihak lain. Silakan membuat pengaduan ke penegak hukum, dan aparat akan memprosesnya seperti halnya warga negara biasa. Di titik inilah proses pemeriksaan yang dilakukan kepolisian terhadap SMS tersebut, dan pemberdayaan kementerian serta lembaga tertentu dirasa berlebihan, bahkan tidak punya dasar hukum.

Kesalahan itu diperparah oleh pernyataan yang mengatakan bahwa persoalan penghinaan lewat SMS ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Benar bahwa Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 45 ayat (1) UU ITE memberi ancaman pidana terhadap tindakan mentransmisikan informasi elektronik yang mengandung penghinaan atau pencemaran nama baik. Tetapi ketentuan penghinaan di UU ITE tidaklah dapat dilepaskan dari Bab XVI KUHP tentang Penghinaan. Bahkan ketentuan hukum perdata yang memuat ihwal penghinaan pun mengacu pada bab KUHP tersebut. Sementara itu, klausul penghinaan di KUHP adalah delik aduan dan cenderung bersifat penghinaan secara personal, terutama Pasal 310 dan 311 KUHP. Maka, wajar jika ada yang melihat respons berlebihan pihak Istana dan penegak hukum bersifat janggal dan tidak pada tempatnya. Padahal belum pernah muncul sekali pun pernyataan resmi dari Presiden bahwa ia telah membuat pengaduan ke penegak hukum.

Kedua, penggunaan sarana kepresidenan untuk kepentingan personal dan partai. Jika SMS yang menghina tersebut adalah masalah personal, wajarkah pidato Presiden yang dilakukan sebagai bagian dari kunjungan kerja kepresidenan? Seperti diketahui, agenda Presiden saat itu adalah menghadiri puncak peringatan Bulan Bakti Gotong Royong Masyarakat (BBGRM) VIII dan Hari Kesatuan Gerak (HKG) PKK ke-39 tingkat nasional tahun 2011 di Pontianak, Kalimantan Barat (www.presidensby.info). Sepertinya ada yang janggal dan campur aduk antara ruang pribadi/personal SBY dan posisi ketatanegaraan Presiden RI.

Hal ini mengingatkan saya akan konferensi pers bersama Presiden dan Ketua MK Mahfud Md. yang dilakukan di kompleks Istana Kepresidenan (20 Mei). Jenis urusan negara seperti apa saat itu yang sedang diurus? Ternyata hanya soal pemberian uang dari salah seorang kader Partai Demokrat kepada Sekjen MK. Bukankah hal ini masuk dalam ruang lingkup masalah partai? Sepertinya ada pihak yang belum bisa membedakan kapan menjadi pejabat negara dan kapan menjadi bagian dari partai. Sebab, secara etik, posisi pejabat negara adalah mengabdi kepada bangsa dan rakyatnya, sedangkan posisi di partai jauh lebih sempit.

Pencampuradukan posisi ini bukan hal sepele. Misalnya: ada larangan kampanye untuk kepentingan partai dan pemilihan presiden, bupati, atau bahkan pemilihan kepala desa menggunakan fasilitas negara. Ini adalah prinsip soal larangan konflik kepentingan dan penyalahgunaan wewenang. Nah, bagaimana dengan isu SMS dan konferensi pers tentang Bendahara Demokrat? Catatan ini biarlah menjadi koreksi bagi Presiden SBY dan jajarannya. Jika SBY merasa keberatan dan terhina oleh isi pesan singkat dari orang yang mengaku sebagai "Nazaruddin", sesuai dengan hukum yang berlaku, ia dapat melaporkannya ke penegak hukum. Ingat, pasal penghinaan terhadap presiden/wakil presiden yang dulunya adalah klausul tentang penghinaan terhadap raja atau ratu (Belanda) sudah dinyatakan inkonstitusional oleh MK. Presiden tidak ada bedanya dengan warga negara biasa soal delik penghinaan ini.

Pengalihan isu
Tetapi masyarakat juga tidak boleh terlena oleh perdebatan politik soal isu SMS tersebut. Fokus kita pada penuntasan kasus suap Wisma Atlet, yang diduga melibatkan kader Partai Demokrat, harus tetap dijaga. Selain itu, kasus ini tidak boleh dipersonalkan menjadi hanya soal Nazaruddin semata. Sebab, kasus seperti ini seharusnya dilihat dalam kacamata kepentingan yang lebih besar, yaitu momentum untuk mengkaji ulang dan mencegah virus "dana haram" dalam politik. Kalaupun secara pribadi SMS tersebut dinilai menghina, SBY tetap diharapkan menyikapinya secara proporsional dan tidak salah urus seperti hari ini. Secara hukum, baik raja maupun presiden tidak bisa lagi merasa lebih "tinggi" dari rakyatnya, apalagi jika meminta privilege berlebihan soal "pasal penghinaan" ini.
Febri Diansyah, KOORDINATOR DIVISI HUKUM DAN MONITORING PERADILAN INDONESIA CORRUPTION WATCH
Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 9 Juni 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan