Salah Muatan Surat SBY

TULISAN ini dibuat karena faktor ‘’kelatahan’’ yang sama terhadap kontroversi di ruang publik terkait ‘’surat-menyurat’’ antara M Nazaruddin dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dalam posisi itu, Nazar, panggilan akrabnya, adalah tersangka kasus suap proyek wisma Atlet SEA Games di Palembang, yang juga diduga kuat menyimpan informasi berharga mengenai beberapa kasus korupsi besar lain, yang berisiko menyeret sejumlah petinggi Partai Demokrat. Adapun SBY, dalam korespondensi itu berposisi sebagai presiden, yang membalas surat Nazar, kebetulan sama-sama dari Partai Demokrat.

Walaupun dipicu oleh kelatahan atas geger surat-menyurat Nazaruddin dengan SBY, tulisan ini mencoba memberikan perspektif yang berbeda, dengan tetap menjadikan surat keduanya sebagai titik berpijak. Jika dimaknai dengan lebih seksama, surat-menyurat antara Nazaruddin dan  SBY sebenarnya absurd. Dari sudut surat Nazar, apa yang diutarakan olehnya secara implisit bisa ditafsirkan sebagai penghinaan terhadap Presiden, sekaligus pelecehan nalar keadilan publik. Sayangnya, dijawab oleh SBY dengan balasan yang isinya terlalu normatif, sehingga mengesankan Presiden menghambarkan nuansa penghinaaan dan pelecehan atas dirinya lewat surat itu.
Mari, simaklah kembali kutipan surat Nazaruddin. ‘’Saya juga berjanji, saya tidak akan menceritakan apapun yang dapat merusak citra Partai Demokrat dan KPK demi kelangsungan bangsa ini.’’ Di mana letak penghinaan itu? Pada keinginannya untuk melakukan ‘’barter’’ dengan SBY. Barternya adalah aksi tutup mulut dengan pemenuhan tuntutan sekaligus pemberian perlindungan dari Presiden atas diri dan anak istri Nazaruddin.

Pada titik ini, dia jelas menghina Presiden karena telah memberanikan diri mentransaksikan sesuatu dengannya. Keberanian ini tentu saja mengundang spekulasi, apakah ia memang menganggap SBY presiden murahan yang mudah diajak melakukan politik transaksional terkait dengan skandal korupsi? Adapun aspek pelecehan terhadap nalar keadilan publik adalah pada ketidakacuhan Nazaruddin terhadap keinginan publik, yang telanjur berharap ia akan menggunakan informasi penting yang dimilikinya sebagai pintu masuk membongkar gurita jaringan korupsi.

Pelanggaran HAM
Publik, yang sejauh ini sudah dimanjakan dengan berbagai nyanyian Nazaruddin pada saat buron di luar negeri,  tentu saja akan merasa dipermainkan ketika Nazar malah menjadikan aksi tutup mulut sebagai alat tawar utama dalam ikhtiar barternya dengan SBY. Selain menghina Presiden dan melecehkan nalar keadilan publik, cedera lain yang dilakukan oleh Nazaruddin adalah ketidakpeduliannya (baca: ketidakhormatannya) pada proses hukum. Hal itu antara lain bisa dilihat dari kutipan suratnya,’’ Saya mohon kepada Bapak agar segera memberikan hukuman penjara kepada saya tanpa perlu lagi mengikuti proses persidangan untuk membela hak-hak saya.’’
Sepintas kalimat itu bernada positif, seperti ingin mengesankan sebagai kesatria yang siap bertanggung jawab atas segala perbuatannya, bahkan dengan risiko dihukum berat sekalipun.  Tetapi bisa pula dimaknai negatif, bersayap, juga bisa dibaca sebagai muslihatnya mencari jalan supaya kasus wisma atlet cukup berhenti pada dirinya. Absurditas surat Nazar  makin diperparah lagi oleh materi surat jawaban dari Presiden SBY yang begitu datar, dan mengesankan ketidaksensitifan dengan nuansa penghinaan, pelecehan, dan ketidakhormatan pada hukum yang telah dilakukan Nazaruddin.

Pernyataan Presiden tentang komitmen pada prinsip nirintervensi terhadap proses hukum, jaminan persamaan di depan hukum dan dorongan supaya aparat penegak hukum bekerja profesional dan independen, adalah ungkapan normatif dan klise SBY yang kembali di-copypaste-kan dalam surat balasan itu. Karena itu, isinya tidak memberikan aksentuasi apapun, terutama untuk menggambarkan betapa SBY mengekspresikan ketersinggungan dan kemarahannya atas surat dari Nazaruddin.

Terkait dengan salah muatan surat SBY, wajar jika publik bereaksi bahwa balasan itu tidak memberikan signifikansi apapun terhadap banyak hal. Bahkan publik menyindir, daripada menghabis waktu untuk merancang isi surat balasan, mendingan SBY mulai berkonsentrasi untuk menjawab 1.000 lebih surat dari korban pelanggaran HAM yang ditujukan kepada dirinya yang sampai sekarang tidak ditanggapi, sebagaimana diungkapkan oleh Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras). (10)

Hasrul Halili, dosen, Kadiv Korupsi dan Peradilan Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM
Tulisan ini disalin dari Suara Merdeka, 26 Agustus 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan