"Rumah Aspirasi'' Versi DPR

SETELAH gagal dengan usul dana aspirasi yang menghebohkan publik beberapa waktu lalu, kini anggota DPR punya ide baru dengan mengajukann usul adanya "rumah aspirasi" bagi setiap anggota yang terhormat. Usul yang merupakan produk resmi BURT (Badan Urusan Rumah Tangga) DPR itu langsung saja menuai komentar pro dan kontra.

Ini agak mengherankan karena keanggotaan di BURT mewakili hampir seluruh fraksi. Jika usul tersebut merupakan produk resmi, berarti semua fraksi di BURT sudah setuju. Agak aneh kalau kemudian para petinggi partai beramai-ramai mempermasalahkannya. Ini menunjukkan tidak adanya koordinasi yang baik antara partai, fraksi, dan anggotanya yang duduk dalam BURT.

Terlepas apakah usul itu sudah bulat disetujui atau tidak, apa yang disebut "rumah aspirasi" itu terlalu mengada-ada. Dengan alasan bahwa usul itu hasil "studi banding" ke Eropa dan Amerika Serikat, DPR perlu memfasilitasi anggotanya dengan dana untuk membentuk "rumah aspirasi" yang diperkirakan memakan Rp 374 juta per orang. Jelas, ini usul yang tidak masuk akal. Dalam kalkulasi saya, anggota DPR adalah pejabat negara yang lebih dari cukup mendapatkan fasilitas, tetapi kinerjanya masih dianggap rendah.

Pengalaman saya selama sepuluh tahun (1999 sampai 2009) memberikan pelajaran bahwa fasilitas tidak berbanding lurus dengan kinerja. Artinya, gaji dan fasilitas yang tinggi tidak akan menjamin kinerja yang maksimal manakala kualitas dan kapasitas anggota tidak meningkat. Kesalahan utamanya tentulah proses rekrutmen yang dilakukan partai-partai politik ketika menjaring caleg menjelang pemilu. Banyak caleg dipilih karena popularitasnya, ada yang dicalonkan karena dekat dengan ketua partai, ada pula yang menjadi caleg karena banyak sumbangannya menjelang pemilu. Sedikit sekali yang direkrut karena kemampuan dan kualitas intelektualnya. Jadi, bisa dimengerti jika semakin hari kualitas DPR semakin merosot.

Ketika saya masuk DPR pada Oktober 1999, gaji saya hanya sekitar Rp 2 juta, jauh di bawah gaji saya sebagai wartawan Jawa Pos. Memang, ada beberapa tunjangan, tetapi take home pay hanya sekitar Rp 10 juta. Sekarang ini seorang anggota DPR memperoleh take home pay tidak kurang dari Rp 60 juta per bulan. Jumlah itu belum ditambah berbagai honorarium dan fasilitas lain. DPR juga sudah mengalokasikan anggaran agar anggotanya setiap saat bisa menengok konstituen. Jumlahnya pada 2009 sekitar Rp 220 juta per tahun. Jadi, tidak perlu lagi ada dana "rumah aspirasi" kalau memang anggota DPR mau berkomunikasi dengan konstituennya.

***

Jelas, usul dana "rumah aspirasi" hanya merupakan pemborosan dan membebani anggaran negara. Jika seorang anggota DPR mendapat jatah tambahan Rp 374 juta, diperlukan lagi dana sekitar Rp 209 miliar. Sebuah jumlah yang sangat besar, cukup untuk membangun seratus gedung sekolah, lengkap dengan fasilitasnya. Hampir dipastikan, dana sebesar itu sebagian besar hanya masuk kantong anggota. Sebab, selama ini sistem pertanggungjawaban keuangan tidak jelas. Contoh untuk dana konstituen yang Rp 220 juta tersebut, cukup anggota DPR meneken tanda terima per triwulan selesai. Tidak ada pertanyaan, baik dari pimpinan fraksi maupun DPR, apakah benar-benar digunakan untuk bertemu konstituennya.

Beberapa memang ada yang melaksanakannya sesuai dengan ketentuan, tapi lebih banyak yang mengantonginya saja. Jangankan untuk diberikan ke konstituen, saya tahu di Jatim masih ada anggota DPR yang dimintai sumbangan untuk musyawarah wilayah partainya saja tidak mau menyumbang.

Sebaiknya sebelum menambah fasilitas, pimpinan DPR melakukan kajian dan evaluasi terhadap berbagai macam tunjangan yang sudah diberikan selama ini. Banyak praktik menyimpang yang tidak pernah ditindak. Contoh, pengangkatan staf ahli yang mestinya berfungsi membantu kinerja anggota. Dalam praktiknya ada anak, istri, atau suami yang dimasukkan daftar gaji staf ahli atau sekretaris pribadi, tidak ada tindakan apa pun. Jika ketua DPR melakukan sidak ke kamar kerja anggota dewan, bisa dipastikan banyak ditemui penyimpangan ini.

Seharusnya dalam mengajukan usul BURT tidak hanya beralasan meniru DPR di Eropa atau Amerika, tetapi juga harus melihat konteks ekonomi negara. Jika anggota US Congress atau Senat mempunyai staf ahli sampai lima atau enam staf, ini wajar saja mengingat Amerika Serikat adalah superpower dan negara ekonomi terkuat di dunia. Pendapatan per kapita warganya pun sudah tinggi. Di Inggris, Belanda, Jerman, dan Prancis kondisinya tidak jauh berbeda. Mereka layak mendapatkan fasilitas dan dukungan yang memadai karena terkait dengan beban tugasnya.

Mungkin kita patut mencontoh Swiss yang presidennya bulan lalu mengunjungi Indonesia, termasuk ke Surabaya. Parlemen Swiss termasuk yang tidak memanjakan anggotanya. Mereka pun tidak pernah menuntut macam-macam fasilitas. Sebab, sejak awal pencalonan, caleg DPR Swiss sudah tahu bahwa mereka mengabdi kepada rakyat karena tidak digaji. Mereka hanya dapat fasilitas transpor (KA dan bus) dan uang akomodasi. Jika ditotal dalam setahun, fasilitas anggota DPR Swiss hanya senilai USD 100.000 atau sekitar tiga kali UMR Swiss yang kurang lebihnya mencapai USD 35.000 per tahun.

Karena itu, di Swiss anggota parlemen sangat dihormati dan tidak ada yang meremehkannya. Dalam masa sidang, semua anggota DPR berada di Bern. Jika reses, mereka kembali ke kampung halaman masing-masing. Mereka bekerja sebagai anggota masyarakat yang lain. Anggota DPR Swiss sangat dekat dengan konstituen karena umumnya tinggal di daerah asalnya. Mereka pun tidak pelit dengan konstituen. Jadi, kapan saja ada yang memerlukan bantuan, mereka siap memberikannya. Termasuk jika partainya sendiri memerlukan sumbangan dana untuk muswil. Kegiatan terakhir ini mereka keluarkan dari dana pribadi, bukan dari dana APBN. (*)

*) Djoko Susilo, mantan anggota DPR, Dubes RI di Swiss
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 4 Agustus 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan