Rombongan Koruptor Mengajukan Peninjauan Kembali

Foto: Dok.ICW
Foto: Dok.ICW

ROMBONGAN KORUPTOR MENGAJUKAN PENINJAUAN KEMBALI
-MA HARUS TOLAK SEMUA PERMOHONAN PK KORUPTOR!-

Hingga hari ini terhitung sebanyak dua puluh enam narapidana korupsi sedang mengajukan upaya hukum luar biasa, yakni Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung. Hampir keseluruhan narapidana yang mengajukan PK tersebut justru mendaftarkan permohonannya sesaat setelah Hakim Artidjo purna tugas per Mei 2018 lalu. Tentu ini menjadi sinyal bahwa persidangan di tingkat MA harus mendapat perhatian khusus, agar nantinya para Hakim dapat memutuskan secara objektif tanpa adanya intervensi dari pihak manapun juga.

Artidjo sendiri dikenal sebagai seorang Hakim Agung sekaligus Ketua Kamar Pidana yang kerap memberikan vonis berat pada pelaku korupsi. Terhitung sejak bertugas di MA, Artidjo telah menyidangkan 842 pelaku korupsi dengan mayoritas putusan tergolong sangat berat. Sebut saja mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar, saat itu permohonan kasasinya ditolak sehingga ia tetap dihukum seumur hidup. Selain itu, Luthfi Hasan Ishaaq (LHI), mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera, pun menerima hal serupa. Sebelumnya LHI divonis 16 tahun, akan tetapi MA memperberat vonisnya menjadi 18 tahun dan menambah hukuman tambahan berupa pencabutan hak politik.

Terkait dengan PK, rekam jejak Artidjo pun patut untuk diapresiasi. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat sejak 2009 sampai ia pensiun ada sepuluh narapidana korupsi yang ditolak permohonan PK nya. Atas dasar itu maka menjadi mudah membangun teori kausalitas atas tindakan narapidana yang sedang mengajukan PK saat ini.

PK sejatinya memang merupakan hak dari narapidana yang dijamin oleh undang-undang. Akan tetapi tak jarang PK justru dimanfaatkan oleh pelaku korupsi sebagai “jalan pintas” agar terbebas dari jerat hukum. Data ICW menyebutkan bahwa sejak tahun 2007 sampai tahun 2018 ada 101 narapidana yang dibebaskan, 5 putusan lepas, dan 14 dihukum lebih ringan daripada tingkat pengadilan pada fase peninjauan kembali. 

Pasal 263 ayat (2) KUHAP telah tegas mengatur mengenai syarat jika seseorang ingin mengajukan PK, yakni: 1) Apabila terdapat keadaan/novum baru; 2) putusan yang keliru; 3) kekhilafan dari hakim saat menjatuhkan putusan. Namun dalam beberapa kesempatan syarat itu kerap diabaikan, sehingga putusan yang dihasilkan dinilai jauh dari rasa keadilan bagi masyarakat.

Hal lain juga yang cukup penting adalah terpilihnya Suhadi menjadi Ketua Kamar Pidana MA. Yang mana diketahui bahwa ia mempunyai rekam jejak buruk ketika menyidangkan pelaku korupsi. Tahun 2013 lalu, ia membebaskan terpidana korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, Sudjiono Timan. Padahal saat mengajukan PK Sudjiono Timan berstatus buron pasca divonis 15 tahun penjara dan berkewajiban membayar uang pengganti sebesar Rp 369 miliar di tingkat kasasi. 

Dengan kondisi seperti ini maka menjadi wajar publik khawatir dengan maraknya terpidana korupsi yang mengajukan PK. Maka dari itu ICW menuntut agar:

  1. Mahkamah Agung menolak setiap permohonan PK yang diajukan oleh terpidana korupsi;
  2. KPK mengawasi jalannya persidangan serta Hakim yang memeriksa PK terpidana korupsi;
  3. Komisi Yudisial turun langsung untuk mengawasi perilaku hakim yang menyidangkan PK.

13 Maret 2019

Indonesia Corruption Watch

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan

 

Tags