Robohnya Bangunan Baru SMAN 96 Jakarta
Robohnya bangunan SMAN 96 Jakarta yang masih dalam tahap pembangunan mengundang curiga publik dan patut dipertanyakan. Insiden tersebut menunjukkan bangunan kurang berkualitas dan dalam jangka panjang membahayakan warga sekolah. Padahal, alokasi anggaran rehab total sekolah tersebut tidak sedikit. Kasus ini sekaligus menambah daftar panjang masalah buruknya pembangunan infrastruktur sekolah di tengah kebutuhan yang menumpuk.
Ditelusuri melalui LPSE DKI Jakarta, rehab total SMAN 96 dilakukan bersamaan dengan rehab total 5 sekolah lainnya. Dari opentender.net, website pemantauan Pengadaan Barang/ Jasa (PBJ) yang dikembangkan Indonesia Corruption Watch (ICW), diketahui nilai kontrak proyek tersebut senilai Rp 111,98 miliar. Tanggal awal pekerjaan proyek rehab total 66 sekolah tersebut dimenangkan oleh PT Adhi Karya dan tertera dimulai 1 Juni 2021 dan dijadwalkan selesai satu bulan setelahnya, yaitu 1 Juli 2021.
Sekilas tak ada yang janggal dari informasi PBJ tersebut selain nilai anggarannya yang fantastis. Namun, kondisi bangunan SMAN 96 Jakarta dalam situs “Sekolah Kita” yang dikelola oleh Kemendikbudristek disebut bukan rusak berat, melainkan rusak ringan. Ruangan yang rusak ringan berjumlah 21 ruang kelas, 1 laboratorium komputer, 1 perpustakaan, dan 4 ruang sanitasi.
Menjadi pertanyaan, mengapa SMAN 96 Jakarta direhabilitasi total jika menurut data sekolah yang baru diperbarui pada tahun ajaran 2021/2022 ini menyebut bahwa sekolah hanya rusak ringan? Tersedianya anggaran sektor pendidikan DKI Jakarta yang terbilang tinggi tentu tak dapat menjadi pembenar, mengingat masih banyak kebutuhan pelayanan pendidikan di DKI Jakarta yang juga butuh alokasi anggaran.
Bukan Satu-Satunya Kasus
Bangunan SMAN 96 Jakarta bukan satu-satunya bangunan sekolah yang roboh. Sebelumnya, sejumlah kasus sekolah atau atap sekolah roboh menambah panjang deret berita buruk dunia pendidikan, seperti di SDN Gentong di Pasuruan yang bahkan menelan korban nyawa dan di SMKN 24 Jakarta yang atapnya roboh pada Februari 2020. Padahal, SMKN 24 Jakarta baru direnovasi pada 2018.
Kejadian robohnya bangunan sekolah di Jakarta dan di daerah-daerah lain yang masih marak akhir-akhir ini menunjukkan kurang perhatiannya pemerintah terhadap proses pembangunan sekolah. Seakan dengan berhasilnya mengalokasikan anggaran pada sekolah-sekolah yang rusak sudah cukup menjadi solusi bagi penyediaan layanan pendidikan. Sementara proses pembangunannya cenderung tidak diawasi dengan serius. Padahal persoalan dalam proses pembangunan masih sering sekali terjadi dan menyebabkan robohnya bangunan sekolah yang bahkan menyebabkan adanya korban.
Selain pemerintah dan pemerintah daerah, DPR dan DPRD pun termasuk pihak yang abai terhadap hal ini. Rententan kejadian sekolah roboh sudah sangat sering terjadi dan bahkan hal tersebut terjadi di ibukota dan daerah dekat ibukota seperti di Kabupaten Bogor. Lembaga legislatif ini tidak peka bahkan ketika publik sudah banyak yang menyorot. Kelompok-kelompok masyarakat sipil seperti ICW, YAPPIKA, KOPEL Indonesia dan lembaga-lembaga lainnya sudah sering mendialogkan hal ini kepada anggota DPR dan DPRD di fraksi dan komisi.
Persoalan gedung bangunan sekolah kurang berkualitas perlu menjadi perhatian serius pemerintah. Langkah pembenahan harus segera diambil agar alokasi anggaran perbaikan sekolah rusak dari tahun ke tahun yang terus meningkat betul-betul bermanfaat bagi majunya pelayanan pendidikan. Sebagai contoh, alokasi DAK fisik pendidikan yang antara lain digunakan untuk membenahi ruang kelas rusak terus meningkat dari Rp 2,2 triliun di tahun 2016, menjadi Rp 18,9 T di tahun 2020. Namun, peningkatan alokasi anggaran ini tak juga mampu mengurangi jumlah sekolah rusak. Berdasarkan data tahun 2019, sebanyak 22,6% ruang kelas SD Negeri dalam kondisi rusak.
Kerentanan Korupsi Proyek Infrastruktur Pendidikan
Penindakan kasus korupsi sektor pendidikan menunjukkan korupsi banyak terjadi pada proses PBJ. 125 dari 240 kasus (51,7%) kasus korupsi sektor pendidikan yang ditindak aparat penegak hukum pada 2016 hingga September 2021 merupakan korupsi PBJ. Terdapat 61 pembangunan infrastruktur, seperti pembangunan unit sekolah baru, ruang kelas baru, rehabilitasi sekolah dan pembangunan fisik lainnya, yang berujung korupsi. Akibatnya hasil pembangunan tak sesuai rencana dan anggaran yang telah dialokasikan.
Korupsi pembangunan infrastruktur pendidikan terjadi mulai dari pembangunan PAUD hingga penambahan gedung perguruan tinggi. Modus umumnya yaitu proyek fiktif, laporan fiktif, dan mark up anggaran. Kerugian negara yang ditimbulkan korupsi infrastruktur pendidikan selama 6 tahun terakhir mencapai Rp 601,14 miliar. Anggaran ini setara dengan dana BOS untuk 667 ribu siswa SD selama 1 tahun.
Sama halnya dengan masalah proyek infrastruktur pada umumnya, masalah PBJ terletak pada perencanaan, pemilihan penyedia, pengawasan pembangunan, dan pemeriksaan hasil pekerjaan sebelum proses serah terima dan pembayaran. Dalam sejumlah kasus yang telah ditindak APH, masalah utama terjadi karena kurangnya pengawasan, baik oleh instansi teknis terkait maupun perusahaan penyedia jasa konsultansi terpilih.
Lemahnya pengawasan membuka celah untuk penyedia menurunkan spesifikasi dan jumlah material bangunan. Dalam skala yang lebih serius, yaitu di mana korupsi melibatkan pihak SKPD, sekolah, atau instansi berwenang terkait, proyek diserahterimakan dan dilakukan pembayaran meski tidak selesai sebagaimana mestinya. Banyaknya bangunan sekolah yang tak tahan lama dan mangkrak merupakan buah dari masalah ini.
Berangkat dari sejumlah temuan tersebut, Masyarakat Peduli Pelayanan Publik (MP3), yang merupakan koalisi dari sejumlah organisasi masyarakat sipil di Indonesia, merekomendasikan beberapa hal sebagai berikut:
Pertama, Gubernur Provinsi DKI Jakarta harus mengevaluasi proses perencanaan rehabilitasi gedung sekolah di Jakarta yang diduga tidak berbasis pada pemanfaatan data faktual, sebagaimana tertera dalam data sekolah di situs Sekolah Kita Kemendikbudristek.
Kedua, Dinas Pendidikan DKI Jakarta mengumumkan laporan realisasi rehabilitasi sekolah di DKI Jakarta beserta penggunaan anggarannya dalam bentuk media yang sederhana sebagai wujud akuntabilitas dan transparansi kepada publik, khususnya warga DKI Jakarta.
Ketiga, Inspektorat DKI Jakarta segera melakukan kewajibannya dalam mengaudit, memantau, dan mengevaluasi perencanaan, persiapan, pemilihan penyedia, dan pelaksanaan kontrak (kegiatan yang telah selesai) pembangunan rehabilitasi sekolah di Jakarta serta segera melaporkan temuan yang bersifat perbuatan melawan hukum kepada aparat penegak hukum.
Keempat, aparat penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK) segera mengusut adanya dugaan perbuatan melawan hukum, baik berupa kelalaian dalam PBJ maupun korupsi, dalam rehab total SMAN 96 Jakarta dan perlu mengantisipasi kasus serupa terjadi pada PBJ rehab sekolah lainnya.
Kelima, Kemendikbudristek melakukan evaluasi menyeluruh untuk melihat dampak dan manfaat anggaran pendidikan selama ini, khususnya untuk pembangunan infrastruktur pendidikan. Evaluasi tersebut perlu melihat penggunaan anggaran dan PBJ hingga tahap pemanfaatan oleh penerima manfaat, mengkaji celah kebocoran, dan merumuskan pembenahan kebijakan yang mencegah celah korupsinya.
Keenam, aparat penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK) semakin memfokuskan penindakan terhadap penyimpangan dalam pembangunan konstruksi bangunan sekolah di Indonesia.
Masyarakat Peduli Pelayanan Publik (MP3)
Narahubung:
- YAPPIKA-ActionAid: Hendrik Rosdinar (0811-1463-983)
- Indonesian Corruption Watch (ICW): Almas Sjafrina (0812-5901-4045)
- KOPEL Bogor: Anwar Razak (0812-4111-8020)