Risiko Fiskal Dana Aspirasi

SATU kejanggalan muncul berkaitan dengan penyusunan APBN 2011, yakni adanya tuntutan dana aspirasi untuk daerah pemilihan anggota DPR. Tuntutan ini konon sebagai imbal jasa atas kemampuan Komisi XI (Keuangan) DPR yang merasa berjasa meningkatkan estimasi penerimaan pajak, meminta jatah uang jasa Rp 2 triliun untuk dijadikan sangu bagi daerah pemilihannya (Jakartapress.com, 1 Juni 2010). Tuntutan ini awalnya diajukan Partai Golkar yang meminta anggaran Rp 15 miliar per daerah pemilihan (dapil). Bahkan, Partai Golkar sempat mengancam deadlock dalam pembahasan RAPBN 2011 apabila ada penolakan dari pemerintah.

Dalam perkembangannya, ternyata bukan sekadar ancaman deadlock yang akan terjadi dalam pembahasan RAPBN 2011. Wakil Bendahara Umum Partai Golkar Bambang Soesatyo bahkan menuding para penentang usul dana aspirasi Rp 15 miliar per anggota DPR adalah orang-orang yang dibekingi mafia anggaran. Menurut Bambang, sudah bukan rahasia umum lagi bahwa banyak mafia anggaran yang selama ini bermain di lingkungan lapangan Banteng. Banyak bupati, wali kota, dan pejabat daerah lain yang datang ke Jakarta hanya untuk melobi agar daerahnya mendapatkan dana tambahan.

Pertanyaan yang mendasar adalah apa sebenarnya tujuan di balik pengusulan dana aspirasi ini? Benarkah seperti yang dinyatakan Fraksi Golkar bahwa dana ini sebagai bentuk pertanggungjawaban anggota terpilih kepada daerah pemilihannya dan memeratakan anggaran pada wilayah yang sedikit atau tidak teralokasi oleh belanja negara? Mungkinkah ada skenario yang lebih besar di balik ini?

Tentu sulit menjawab berbagai pertanyaan ini. Penulis pun tidak berani melakukan analisis lebih jauh. Sebab, tidak tertutup kemungkinan hal ini mengarah ke ranah politik ekonomi.

Terlepas dari berbagai permasalahan di atas, yang jelas alokasi dana aspirasi berpotensi mengganggu kerja pemerintah dalam pengalokasian anggaran. Bahkan, LSM Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) menolak pemberian dana aspirasi dengan 10 alasan. Kesepuluh alasan tersebut adalah: Dana aspirasi akan menyuburkan calo anggaran, memperbesar jurang kemiskinan antardaerah, mengacaukan sistem perencanaan penganggaran dan perimbangan keuangan, tidak sesuai dengan pendekatan anggaran berbasis kinerja. Juga, bertentangan dengan asas dana perimbangan, menyebabkan anggaran tidak efisien, tidak memiliki landasan hukum, DPR tidak memiliki hak bujet, tidak memberikan insentif politik bagi DPR, dan melanggengkan status quo.

Potensi Risiko Fiskal
Terlepas pro dan kontra, alokasi dana aspirasi akan berpotensi menimbulkan risiko fiskal. Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa usul dana aspirasi didasarkan pada estimasi penerimaan pajak yang akan meningkat. Permasalahannya adalah bagaimana kalau ternyata estimasi peningkatan penerimaan pajak tidak tercapai, sementara alokasi dana aspirasi sudah dianggarkan. Apakah anggota DPR rela di-cut apabila ternyata peningkatan penerimaan perpajakan tidak tercapai? Kalau dipaksakan, jelas hal ini akan menambah defisit anggaran, yang ujung-ujungnya rakyat juga yang harus menanggung risikonya.

Masih terkait dengan estimasi penerimaan perpajakan, alangkah bijaknya apabila ternyata penerimaan pajak dapat tercapai, tambahan penerimaan ini digunakan untuk mempercepat pelunasan pembayaran atas utang-utang pemerintah, baik utang dalam negeri maupun utang luar negeri, untuk mengumpulkan cadangan fiskal yang bisa digunakan pada masa krisis dan untuk membiayai program sistem jaminan sosial sebagai peredam apabila terjadi fluktuasi ekonomi.

Berpijak dari kondisi di atas, penulis mengusulkan agar dana aspirasi bagi anggota DPR sebaiknya diakomodasi melalui anggaran pemerintah daerah atau kementerian/lembaga saja tanpa menambah anggaran baru. Mungkin mekanisme pengusulan kegiatannya yang harus dibenahi. Selama ini memang terkesan kegiatan-kegiatan yang dilakukan pemerintah daerah maupun kementerian/lembaga kurang menyentuh ke masyarakat. Akibatnya, dampak APBN terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat kurang signifikan.

DPR dapat mengusulkan kegiatan atau program sesuai dengan janji-janjinya waktu kampanye. Sepanjang janji-janji tersebut tidak berseberangan dengan program pemerintah daerah atau kementerian/lembaga, usul tersebut mungkin dapat diakomodasi. Toh ujung-ujungnya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Sepanjang ini hanya menyangkut masalah jenis kegiatan dan tidak menambah alokasi anggaran baru, usul ini mungkin dapat dipertimbangkan.

Jadi, intinya, program atau kegiatan yang diusulkan DPR dibawa ke dalam rapat koordinasi pembangunan (rakorbang) di daerah dan diusulkan untuk didanai. Selanjutnya, anggaran ini nanti dimasukkan ke dalam pos belanja kementerian/lembaga yang kemudian diperbantukan ke satuan kerja pemerintah daerah atau tidak tertutup kemungkinan dianggarkan juga melalui anggaran pemerintah daerah.

Dalam pelaksanaannya, sebaiknya DPR hanya berfungsi mengawasi jalannya kegiatan agar tidak menyimpang. Dengan demikian, ada semacam jaminan bahwa aspirasi yang dibawanya terlaksana. Pada akhir tahun DPR dapat mengevaluasi pelaksanaan program yang diusulkan. Sementara itu, seluruh tahap pelaksanaan program harus diaudit BPK. Dengan demikian, program tersebut akan dipertanggungjawabkan dalam bentuk LKPP (laporan pertanggungjawaban keuangan pusat) dan diaudit oleh BPK.

Dengan mekanisme di atas akan tercipta win-win solution. Pemerintah tidak akan kehilangan peran karena program-program yang diajukan DPR dilakukan melalui mekanisme rakorbang. Program ini pun tidak perlu menambah beban anggaran baru, karena program dari DPR ini nanti menyatu dengan program dari pemerintah.

Idealnya, pengusul program atau kegiatan dalam suatu anggaran memang harus datang dari masyarakat, yang dapat dijaring melalui DPR dan pemerintah. Dengan demikian, program-program yang dijalankan pemerintah tidak akan salah sasaran. (*)

Makmun, pengamat ekonomi
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 9 Juni 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan