Rintisan Sekolah Banyak Iuran

Desakan agar Kementerian Pendidikan Nasional segera menghentikan program (Rintisan) Sekolah Berstandar Internasional makin kuat. Sebab, selain rawan korupsi, program tersebut malah mendorong “pengkastaan” dan membuat sekolah-sekolah publik makin komersial.

Program (R)SBI digulirkan sejak 2006 dengan tujuan antara lain menghasilkan lulusan yang memiliki kompetensi sesuai dengan standar kompetensi lulusan dan diperkaya dengan standar kompetensi pada salah satu sekolah terakreditasi di negara anggota OECD atau negara maju lainnya. Berdasarkan presentasi dari Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah hingga 2010, ada 1.255 sekolah yang menjadi percontohan (R)SBI, masing-masing 203 pada tingkat SD, 298 tingkat SMP, 321 tingkat SMA, dan 433 tingkat SMK.

Ada dua masalah besar dalam program (R)SBI. Pertama, soal konsep. Kedua, pada tataran implementasi. Tapi selama ini Kementerian Pendidikan berkukuh bahwa masalah dalam (R)SBI hanya pada tataran implementasi. Padahal, berdasarkan kajian Koalisi Pendidikan, persoalan utama justru berada pada tataran konseptual.

Berkaitan dengan konsep, jika merujuk pada Pasal 2 Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 78 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah, nilai utama yang menjadi dasar di sekolah (R)SBI adalah persaingan atau etos kompetisi. Kementerian Pendidikan menganggap kompetisi sebagai “resep” untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Penekanan kompetisi dalam pendidikan dikhawatirkan hanya akan melahirkan manusia muda yang individualistis dan tidak mempunyai kemampuan kerja sama.

Selain itu, nilai lain yang ditekankan dalam program (R)SBI adalah kemampuan berbahasa Inggris. Memang tidak dapat dimungkiri bahwa bahasa Inggris sangat berguna untuk mengembangkan pengetahuan peserta didik. Tapi, jika kemampuan bahasa Inggris menjadi ukuran untuk mutu pendidikan, akibatnya adalah apa yang disebut oleh linguis terapan kritis sebagai linguisisme dan imperialisme linguistik (Canaragajah, 2000). Linguisisme adalah bentuk diskriminasi atau inequality berdasarkan bahasa.

Karena itu, penekanan bahasa Inggris pada sekolah (R)SBI akan melahirkan diskriminasi berbasis bahasa dan pembagian kelas dalam sistem pendidikan. Murid-murid yang memiliki kemampuan bahasa Inggris akan menjadi murid “kelas satu”, sedangkan murid-murid yang tidak mampu akan menjadi murid “kelas dua”. Program (R)SBI pun akan melahirkan kembali pengkastaan sekolah seperti pada era penjajahan Belanda. Pengkastaan sekolah pada era penjajahan tidak hanya berbasis ras dan bangsawan, tetapi juga berbasis status sosial-ekonomi. Pada akhirnya program (R)SBI akan memandulkan sekolah sebagai tempat menyemai nilai-nilai demokrasi bagi siswa.

Apalagi pada saat bersamaan Kementerian Pendidikan pun menggulirkan program Sekolah Berstandar Nasional. Sama seperti pada era penjajah, saat ini banyak “kasta” sekolah di Indonesia, seperti sekolah regular, sekolah percontohan, sekolah berstandar nasional, dan (Rintisan) Sekolah Berstandar Internasional.

Dari sisi implementasi, Kementerian Pendidikan memberikan block grant bagi sekolah yang mengajukan diri dan memenuhi syarat menjadi (R)SBI. Jumlahnya bervariasi bergantung pada level sekolah. Selain itu, pemerintah daerah wajib menyediakan dana pendamping. Rata-rata total anggaran yang diterima oleh sekolah berlabel (R)SBI dari pemerintah dan pemerintah daerah lebih dari Rp 1 miliar.

Pada sisi lain, sekolah berlabel (R)SBI memiliki izin “khusus” untuk menarik uang dari (calon) orang tua murid, termasuk pada tingkat sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP) atau sederajat yang sangat tegas diharamkan oleh Undang-Undang Dasar 1945. Penyelenggara sekolah memanfaatkan dengan baik izin dari Kementerian Pendidikan untuk menggali lebih dalam kantong (calon) orang tua murid.

Sebagian besar sekolah berlabel (R)SBI mematok biaya hingga puluhan juta rupiah bagi siapa pun yang berminat masuk sekolah. Mulai untuk membeli formulir pendaftaran, membayar tes masuk--contoh di Tangerang, biaya tes mencapai Rp 450 ribu--bersedia memberikan dana sumbangan pembangunan, uang seragam, sampai membayar iuran rutin. Tidak mengherankan jika (R)SBI kerap dipelesetkan menjadi “Rintisan Sekolah Bertarif Internasional” atau “Rintisan Sekolah Banyak Iuran”.

Label resmi (rintisan) berstandar internasional dari Kementerian Pendidikan sangat membantu upaya sekolah mengumpulkan uang. Walau jumlah dan jenis biaya yang dipatok sangat banyak dan mahal, itu tidak membuat sekolah sepi peminat. Justru sebaliknya, sekolah berlabel (R)SBI banyak diburu (calon) orang tua murid.

Masalahnya, walau memberikan block grant dan keleluasaan untuk mengambil uang dari (calon) orang tua murid, Kementerian Pendidikan tidak berupaya memastikan anggaran yang berlimpah di sekolah berlabel (R)SBI aman dari praktek korupsi. Struktur pengelola maupun tata kelola sekolah, termasuk dalam pengelolaan anggaran, tidak banyak berubah. Kementerian Pendidikan sepertinya mengasumsikan bahwa manajemen dan pengelolaan keuangan sekolah selama ini sudah berstandar internasional, sehingga tidak perlu ada perbaikan.

Pengelolaan keuangan sekolah berlabel (R)SBI pun tidak berbeda dengan sekolah lain. Penyusunan anggaran masih dilakukan sepihak oleh penyelenggara sekolah, terutama kepala sekolah. Asal-usul jenis dan jumlah biaya yang dibebankan kepada (calon) orang tua bukan karena ada kebutuhan dan program, melainkan berdasarkan hasil rekaan kepala sekolah. Dalam kasus di beberapa sekolah berlabel (R)SBI, guru tidak dilibatkan dalam perencanaan anggaran. Bahkan di SMAN 1 Purwakarta, 12 guru yang menanyakan penggunaan anggaran pendapatan dan belanja sekolah (APBS) oleh kepala sekolah malah diintimidasi dan dimutasikan massal.

Modus korupsi sekolah berlabel (R)SBI hampir sama dengan sekolah pada umumnya. Kombinasi antara penggelapan, markup, double budget, dan pemberian upeti kepada atasan (dinas pendidikan). Bedanya, jumlah uang yang berpotensi dikorupsi. Tambahan anggaran dan izin melakukan pungutan membuat sekolah lebih memiliki banyak sumber dan leluasa melakukan korupsi.

Karena itu, program (R)SBI yang elitis harus segera dihentikan. Sekolah harus menjadi tempat belajar dan perjuangan. Tapi tidak cukup sekolah dihentikan, Kementerian Pendidikan pun harus dimintai pertanggungjawaban soal digulirkannya program (R)SBI, terutama dalam penggunaan anggaran. Sebab, anggaran yang dihabiskan oleh Kementerian Pendidikan maupun sekolah untuk menjalankan program (R)SBI sangat banyak.
 
Ade Irawan, ANGGOTA BADAN PEKERJA INDONESIA CORRUPTION WATCH, PENULIS BUKU SEKOLAH HARAPAN, SEKOLAH BEBAS KORUPSI
Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 25 Maret 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan