Rezim Tak Menarik, Masih Ada Mafia Lagi

BANYAK pihak di tanah air yang marah dan malu saat mendengar laporan terbaru Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang berbasis di Hongkong pada 8 Maret 2010. Menurut pendapat pelaku bisnis, kata PERC, Indonesia adalah negara terkorup di antara 16 negara tujuan investasi di kawasan Asia Pasifik. Posisi Indonesia lebih buruk daripada Kamboja yang tahun lalu terkorup.

Kenyataan itu memang menyakitkan. Sebab, Indonesia sudah berusaha membangun institusi untuk memberantas KKN, kelihatan hebat karena di berbagai media kita lihat usaha-usaha untuk memberantas KKN, sehingga kita percaya bahwa KKN makin menghilang dari bumi tercinta ini. Karena itu, dapat dimengerti jika banyak yang sanksi terhadap laporan PERC tersebut. Namun, mencuatnya berbagai kasus makelar kasus (markus) dan mafia pajak akhir-akhir ini membuat kita sulit untuk membantah laporan PERC itu.

Sedih rasanya melihat KKN masih saja membelenggu kita, sepertinya tidak ada kemajuan yang berarti. Padahal, masa depan bangsa banyak bergantung pada keberhasilan memberantas KKN. Bagaimana mungkin membangun ekonomi di era globalisasi yang sangat kompetitif jika masalah KKN masih saja hidup subur.

Pada era pasar bebas ini, persaingan antarnegara untuk meningkatkan daya saing internasional semakin ketat. Lihat saja barang-barang dari Tiongkok yang berhasil menyerbu pasar global, didukung habis-habisan oleh pemerintahnya di semua lini. Mulai berbagai pelayanan publik yang murah sampai dengan mata uangnya yang dibuat rendah sehingga memicu "kemarahan" banyak negara maju. Terutama AS dan Eropa Barat.

Memang, berbagai kemudahan/fasilitas yang diberikan kepada dunia usaha telah menjadi area pertempuran sengit banyak negara akhir-akhir ini. Hampir semua negara yang ingin menarik investor global berusaha mempercantik diri dengan memberikan pelayanan kepada dunia usaha sebaik-baiknya.

Dengan demikian, diharapkan investasi akan tumbuh dan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi serta menyediakan lapangan kerja. Apalagi, hampir semua negara sedang berjuang untuk mengatasi great recession pada saat ini. Maka, persaingan menarik investor -baik domestik maupun asing- jelas semakin ketat. Indonesia mestinya juga kerja keras untuk mempermudah dunia usaha berbisnis di Indonesia. Jangan mempersulitnya. Apalagi kualitas pertumbuhan ekonomi kita semakin rendah.

Data yang dikeluarkan oleh BPS menunjukkan bahwa ekonomi Indonesia tahun lalu tumbuh 4,5 persen (hanya di bawah Tiongkok, India, dan Vietnam). Namun, angka itu banyak didukung oleh pertumbuhan sektor yang tidak dapat diperdagangkan, seperti sektor pengangkutan dan komunikasi yang tumbuh 15,5 persen serta sektor listrik, gas, dan air minum yang tumbuh 13,8 persen. Sementara itu, sektor industri pengolahan yang mestinya menjadi motor penggerak ekonomi hanya tumbuh 2,1 persen. Demikian juga, jika dilihat dari sisi pengeluaran, pendorong terbesar pertumbuhan ekonomi adalah pengeluaran pemerintah (15,7 persen) dan konsumsi rumah tangga 4,9 persen.

Sedangkan, pembentukan modal tetap bruto/investasi hanya tumbuh 3,3 persen pada tahun yang sama, meskipun banyak dana luar negeri yang masuk ke Indonesia. Sayangnya, dana dari luar sampai sekarang masih didominasi oleh hot money yang berjangka pendek sehingga menimbulkan potensi kerentanan yang tinggi pada stabilitas ekonomi makro kita. Pola pertumbuhan ekonomi seperti itu tidak dapat diandalkan akan berkelanjutan.

Sampai sekarang, motor penggerak ekonomi, seperti industri pengolahan dan investasi, masih terpukul alias mengikuti pola yang sama seperti pada masa sebelum great recession. Itu juga berarti bahwa masalah struktural dunia usaha tampaknya masih belum banyak mengalami kemajuan.

Masih tingginya KKN dan masalah pajak yang serius bisa membuat hambatan yang dihadapi dunia usaha semakin berat. Apalagi, membayar pajak masih dianggap sebagai masalah oleh pengusaha di Indonesia.

Peringkat Indonesia dalam Ease of Doing Business (EDB) dari International Finance Corporation (IFC) pada 2010 berada pada posisi 122 di antara 183 negara yang disurvei, sudah lebih baik daripada tahun sebelumnya. Namun peringkat dalam membayar pajak adalah 127, lebih rendah daripada peringkat EDB Indonesia. Itu berarti dari berbagai masalah investasi di Indonesia yang masih banyak, salah satu kontribusi besarnya justru dalam membayar pajak.

Indonesia banyak ketinggalan dari negara tetangga. Lihat saja, Malaysia berada pada peringkat 23 untuk peringkat EDB dan 24 dalam membayar pajak. Sementara itu, Thailand berada pada posisi 12 dan 88 pada periode yang sama. Bahkan, Papua Nugini pada peringkat 102 dan 98 serta Etiopia berada pada posisi 107 dan 42. Jawaranya adalah Singapura yang berada pada peringkat 1 dan 5.

Apalagi, tax rate yang menunjukkan besarnya beban pajak di Indonesia tidak termasuk kompetitif. Pajak korporasi mulai tahun ini 25 persen flat, pajak pendapatan pribadi 5-30 persen mulai 2009, dan pajak nilai tambah 10 persen. Di Malaysia masing-masing 26 persen, 0-26 persen, dan 5 persen (GST). Sedangkan, di Singapura untuk pajak yang sama, masing-masing adalah 17 persen mulai 2010, 3,5-20 persen, dan 7 persen (GST), Thailand 30 persen, 5-37 persen, dan 7 persen, serta Filipina 35 persen, 5-32 persen, serta 0, 7, dan 12 persen (Wikipedia).

Jika pajak masih menjadi masalah, sulit berharap dunia usaha berkembang dan investasi yang berjangka panjang masuk ke Indonesia. Apalagi, jika mafia pajak dan KKN masih hidup subur di tanah air. Bisa dibayangkan, betapa pajak masih akan menjadi masalah besar dunia usaha. Apalagi, tanpa itu pun, rezim pajak kita juga kalah menarik jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga kita. Karena itu, mafia pajak harus diberantas hingga tuntas. Jika tidak, jangan berharap industri dan investasi akan tumbuh tinggi lagi.

Selain itu, peran pajak dalam APBN semakin penting. Sekitar 3/4 penerimaan negara berasal dari pajak. Karena itu, berbagai pelayanan publik dan pelaksanaan program ataupun proyek untuk membangun Indonesia sangat tergantung pada penerimaan pajak.

Kasus mafia pajak jika tidak segera dituntaskan bisa membuat masyarakat yang sudah mulai timbul kesadaran membayar pajak akan segan untuk patuh dan memenuhi kewajibannya. Demikian pula, jika ekonomi tidak tumbuh, penerimaan pajak akan sulit ditingkatkan sehingga negara bisa kesulitan mendanai berbagai pelayanan publik yang diperlukan oleh masyarat. Jika pemerintah tak serius, pada akhirnya kita semua yang dirugikan. Jadi, tidak ada pilihan lain: berantas KKN dan mafia pajak. (el)

Dr Sri Adiningsih, pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis UGM Yogyakarta

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan