Revolusi Memberantas Korupsi [07/06/04]

Para pengidam pemerintahan yang bersih berharap bahwa 'Indonesia' dan 'korupsi' menjadi oxymoron: dua kata yang tak bisa saling berdampingan. Tetapi, nyatanya, keduanya seperti pasangan yang sulit berpisah.

Praktik korupsi sudah begitu luas dan mendalam. Maka, ketika beberapa calon presiden menjanjikan akan menembak mati koruptor, mereka yang sinis bisa menukas, Jangan! Jika koruptor ditembak mati, habislah penduduk Indonesia.

Tentu saja, tak seluruh penduduk Indonesia koruptor. Tetapi, penyakit korupsi sudah begitu akut dan membatin dalam masyarakat. Sejumlah survei internasional pun menempatkan Indonesia sebagai negara paling korup di Asia dan bahkan dunia.

Dalam pemilu presiden saat ini, sejumlah kandidat berjanji akan memberantas korupsi. Tapi, sejauh ini, belum ada yang menawarkan strategi dan taktik pemberantasan itu. Sejauh ini, yang kita dengar baru jargon-jargon besar semacam 'gantung atau hukum mati para koruptor'.

Memberantas korupsi dengan jargon adalah menulis di atas pasir pantai. Alih-alih jargon, yang dibutuhkan adalah rumusan strategi dan taktik. Hanya dengan strategi dan taktik tepatlah pemberantasan korupsi bisa menjadi agenda yang masuk akal, realistis. Tanpa itu, ia hanya menjadi pemanis pidato dan bumbu yel di jalanan.

Ada setidaknya enam aspek yang layak ditimbang dalam rumusan strategi dan taktik itu: aktor, aturan, lembaga, mekanisme, sokongan publik, dan sistem.

Aktor

Aktor adalah prasyarat awal pemberantasan korupsi. Diperlukan aktor-aktor yang bersih dari korupsi. Sebab para koruptor tak mungkin memberantas korupsi melainkan mengembangbiakkannya. Dibutuhkan para pemimpin --meminjam istilah Ronald Reagan-- yang tak saja baik (nice) tapi juga kuat (strong) dan benar (right).

Yang pertama dan terutama dibutuhkan adalah presiden dan wakil presiden (wapres) yang otentik, yang leluasa melakukan pemberantasan korupsi karena mereka sendiri bukan koruptor. Selain itu, dibutuhkan pula jaksa agung, menteri kehakiman, kepala kepolisian, menteri sekretaris negara yang juga otentik. Lalu, ketua mahkamah agung (MA) dan para hakim agung yang juga otentik. Untuk pos-pos strategis ini, yang kita perlukan bukanlah para pejabat yang berpengalaman, melainkan pemilik integritas tinggi dan kesungguhan untuk membangun pemerintahan yang bersih.

Para aktor itu kemudian memfasilitasi terjadinya sirkulasi elite politik, birokrasi, dan lembaga-lembaga khusus (semacam Komisi Pemberantasan Korupsi/KPK) secara luas, tahap demi tahap, hingga fondasi bagi bangunan pemerintahan yang bersih bisa mulai terbentuk. Merekalah yang menjadi tulang punggung pemberantasan korupsi. Tanpa peran keaktoran mereka, agenda ini akan berhenti sebagai sebuah rencana.

Aturan

Para aktor bertugas mengubah dan membuat aturan-aturan yang diperlukan untuk memberantas korupsi. Aturan yang kita miliki sekarang --dari UU hingga ke aturan operasional KPK-- masih jauh dari cukup.

SETIDAKNYA, aturan-aturan itu belum mampu membikin jera para koruptor dengan membikin hidup mereka susah. Aturan itu belum mampu membuat para koruptor sungguh-sungguh terancam untuk hidup sengsara.

Dalam kerja pemberantasan korupsi yang berjenjang, ketersediaan aktor memfasilitasi lahirnya aturan dan ketersediaan aturan membikin para aktor antikorupsi gelombang pertama bisa melahirkan aktor-aktor lain dalam gelombang-gelombang berikutnya. Aktor pemberantas korupsi pun dikembangbiakkan secara struktural: dilahirkan dari persekutuan aktor dan aturan.

Lembaga

Pemberantasan korupsi membutuhkan pelembagaan, institusionalisasi. Diperlukan proyek renovasi dan penguatan lembaga-lembaga yang ada serta pembentukan lembaga-lembaga baru. Proyek ini meliputi lembaga eksekutif (presiden, wapres, kejaksaan agung, kepolisian, kehakiman, sekretariat negara), legislatif (pejabat pos-pos penting DPR, DPD, DPRD, MPR serta sejumlah cukup signifikan anggota lembaga-lembaga itu) dan yudikatif (ketua dan para pejabat MA).

Agenda ini pun meliputi lembaga-lembaga resmi dan otonom yang bekerja khusus untuk pemberantasan korupsi, terutama KPK, serta lembaga-lembaga nonpemerintah.

Ketersediaan aktor dan aturan di tengah absennya lembaga-lembaga yang kuat-fungsional akan membikin kerja pemberantasan korupsi menjadi kendaraan tanpa roda.

Mekanisme

Ketersediaan aktor, aturan, dan lembaga memfasilitasi lahirnya 'mekanisme'. Inilah tahapan di mana kerja pemberantasan korupsi mulai menghasilkan pola penyidikan, penyelidikan, peradilan, pemberian hukuman, dan penerimaan umpan balik dari khalayak. Ketika pola-pola ini makin berkembang, agenda pemberantasan korupsi pun menjadi proyek yang membikin gentar para koruptor. Mekanisme akan terbentuk dan terkuatkan sejalan dengan makin efektifnya kerja aktor, aturan, dan lembaga.

Karena ketersediaan mekanisme semacam itulah, (mantan) Presiden Filipina Joseph Estrada, mesti merelakan dirinya jatuh dari kursi kekuasaan dan masuk bui. Mekanisme macam itu pula yang membikin dua mantan Presiden Korea Selatan (Chun Doo Hwan dan Roh Tae Woo) mesti duduk sebagai pesakitan dan terkena hukuman--sekalipun kemudian menerima pengampunan.

Sokongan publik

Kerja pemberantasan korupsi hanya akan efektif manakala menjadi agenda yang makin mempublik. Tanpa sokongan publik, kerja besar ini akan cepat kehabisan napas dan mengalami krisis energi. Jika koruptor kita umpamakan sebagai tikus yang mengganggu padi di sawah, kerja pemberantasan korupsi mesti menjadi pengepungan tikus oleh seluruh penduduk kampung.

Untuk itu, kerja pemberantasan korupsi membutuhkan sosialisasi dan komunikasi politik--yang selama reformasi, enam tahun terakhir ini, amat terabaikan. Masyarakat mesti dilibatkan dari tahap awal hingga akhir dalam setiap proyek pemberantasan ini. Pelibatan masyarakat ini selayaknya menargetkan tumbuhnya kesadaran tentang keberadaan dan bahaya korupsi, kemampuan mengorganisasi diri dan komunitas, serta kemampuan melakukan desakan-desakan (struktural) untuk memberantas korupsi.

Sistem

Manakala tersedia para aktor, aturan-aturan, lembaga-lembaga yang kuat-fungsional, mekanisme pemberantasan korupsi, dan sokongan publik yang makin membesar, maka sistem (ekonomi dan politik) bagi pemberantasan korupsi akan terbangun perlahan-lahan. Ketika sistem mulai terbangun, kerja ini pun mulai bersiap menyambut panen. Buah-buahnya mulai siap dipetik.

Saya ingin menyebut kerja menggunakan enam instrumen di atas sebagai memberantas korupsi menggunakan kesabaran revolusioner. Target dipatok secara revolusioner dan pencapaiannya dicapai melalui kerja-kerja yang tertata, bertahap, melangkah maju.

Dalam konteks kesabaran revolusioner itu, pemilu presiden 2004 menempati posisi strategis sebagai sarana penyeleksian aktor. Dalam kerangka ini, kita dituntut menjadi pemilih yang kalkulatif, rasional, dan bertanggung jawab dengan memilih presiden dan wapres yang paling potensial memberantas, bukan mengembangbiakkan, korupsi. Menjadi pemilih kalkulatif, rasional, dan bertanggung jawab adalah sumbangan besar kita dalam pemberantasan korupsi.(Eep Saefulloh Fatah, Pengamat politik)

Tulisan ini diambil dari Media Indonesia, 7 Juni 2004
Sumber naskah: http://www.mediaindo.co.id/cetak/berita.asp?id=2004060702330804

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan