Reshuffle Pepesan Kosong

Reshuffle kali ini hendaknya tidak menjadi euforia politik semata yang hanya memperlihatkan pergiliran kekuasaan. Berganti orang namun dengan kepentingan yang sama dengan pendahulunya, yakni menjadi "mesin uang" bagi partai politik tertentu.

Isu perombakan kabinet (reshuffle) kembali menguat setelah ter ungkapnya kasus suap dan ko rupsi di jajaran Kabinet Indone sia Bersatu (KIB) II. Adapun kementerian yang terlibat adalah Kementerian Pemuda dan Olahraga, terkait dengan pembangunan wisma atlet SEA Games, serta Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dalam kasus dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah (PPID) bidang transmigrasi di 19 kabupaten tahun 2011 (Koran Tempo, 21 September).

Bahkan, ihwal Nazaruddin, tersangka kasus suap wisma atlet SEA Games ini oleh Komisi Pemberantasan Korupsi diperkirakan terlibat dalam beberapa kasus korupsi di sejumlah kementerian. Data sementara menunjukkan ada sekitar 5 kementerian dengan 31 kasus yang nilai proyeknya lebih dari Rp 6 triliun (KPK: 2011).

Isu kali ini agak berbeda dengan isu pergantian kabinet yang sebelumnya. Pada waktu itu, isu pergantian kabinet akan dilakukan terhadap mitra koalisi pemerintah yang tergabung dalam sekretariat gabungan (setgab),

apabila menyetujui penggunaan hak angket. Sebaliknya, jika ada fraksi yang berada di luar koalisi dan seirama untuk menolak hak angket akan masuk daftar mitra koalisi dan mendapatkan "jatah kursi"di kabinet.

Prerogatif `semu' Menteri pada prinsipnya adalah pembantu presiden, maka pengangkatan dan pemberhentian menterimenteri merupakan hak prerogatif presiden yang dijamin oleh konstitusi (Pasal 17 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945). Pasca-amendemen UUD 1945 yang dilakukan dalam kurun 1999-2002, telah terjadi penguatan terhadap penerapan sistem pemerintahan presidensial. Akibatnya, kekuasaan terpusat pada presiden, baik sebagai kepala pemerintahan (head of government) maupun sebagai kepala negara (head of state).

Dalam sistem pemerintahan presidensial (presidential system), salah satu prinsip pokok yang bersifat universal adalah menyangkut kewenangan yang melekat pada presiden untuk mengangkat dan memberhentikan menteri.
Sehingga pembentukan kementerian yang akan menjalankan pemerintahan sama sekali tidak bergantung pada proses politik di lembaga legislatif (Saldi Isra:2009).

Sementara itu, dalam sistem parlementer (parliamentary system), komposisi kabinet lebih mencerminkan kekuatan politik di lembaga legislatif (Miriam Budiardjo:2006). Maka, keberlangsungan kabinet akan sangat bergantung pada dukungan parlemen. Hal inilah yang membedakan antara sistem presidensial dan sistem parlementer.

Di Indonesia, konstitusi secara tegas mencirikan penerapan sistem presidensial dalam pengangkatan dan pemberhentian menteri. Namun dalam tataran implementasi terjadi penyimpangan yang dilakukan oleh presiden. Komposisi kabinet didasarkan pada komposisi dukungan parlemen kepada pemerintah yang dikoordinasi melalui setgab sebagai invisible hand koalisi. Kabinet yang terbentuk lebih mencerminkan kesan pembagian "jatah kursi"bagi koalisi. Pada akhirnya yang terjadi adalah kebuntuan politik dan perilaku korup yang berimplikasi pada buruknya kinerja pemerintahan (Koran Tempo,"Kabinet Pepesan Kosong", 27 Juli).

Dari segi jumlah, susunan KIB II ini terdiri atas 34 kementerian yang bisa dikategorikan sebagai kabinet yang sangat "gemuk". Jumlah ini sebetulnya adalah jumlah maksimal yang diperbolehkan oleh Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kemente rian Negara. Kabinet "tambun"ini tidak serta-merta menjadi kabinet yang efektif dalam menjalankan pe merintahan sesuai dengan tugas dan bidangnya masing-masing. Evaluasi yang dilakukan oleh Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) selama ini telah membuktikan rendahnya kinerja para menteri.

Setali tiga uang dengan evaluasi UKP4, kasus korupsi yang terjadi di beberapa kementerian dalam kaitan dengan proyek tertentu menjadi contoh yang paling konkret dari bobroknya kabinet yang dibentuk oleh presiden. Politik "basa-basi"yang biasa dilakukan selama ini dalam pergantian kabinet hendaknya tak perlu terulang.

Hak prerogatif presiden untuk menentukan pembantunya janganlah berubah menjadi hak prerogatif "semu" yang diboncengi oleh kepentingan politik kotor di belakangnya.

`Mesin uang' Reshuffle kali ini hendaknya tidak menjadi euforia politik semata yang hanya memperlihatkan pergiliran kekuasaan. Berganti orang namun dengan kepentingan yang sama dengan pendahulunya, yakni menjadi "mesin uang"bagi partai politik tertentu. Kasus korupsi yang terjadi di sejumlah kementerian memperlihatkan pola yang kurang-lebih sama, yakni terkait dengan proyek-proyek pengadaan yang dibiayai pemerintah. Hampir dalam semua kasus tersebut diduga terdapat aliran uang ke partai politik tertentu dalam jumlah sangat besar dan digunakan untuk membiayai kegiatan politik mereka. Bahkan tak dapat dimungkiri bahwa aliran dana tersebut juga mengalir ke partai politik pendukung pemerintah.

Presiden memang menjadi bagian dari partai politik tersebut, namun presiden juga punya kepentingan untuk mengamankan jalannya pemerintahan yang efektif hingga berakhirnya masa jabatan pada 2014. Pertaruhan kredibilitas kepemimpinan SBY selama dua periode ini akan sangat ditentukan oleh sejauh mana ia mampu keluar dari kepentingan "busuk"para politikus "korup"dalam sisa jabatannya. Maka, reshuffle kabinet kali ini hendaklah menjawab semua problem yang menghambat kinerja pemerintah ke arah yang lebih baik atau justru sekadar "pepesan kosong"belaka.

Reza Syawawi, Peneliti Hukum Dan Kebijakan Transparency International Indonesia
Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 26 September 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan